Seorang murid, yang sudah sekian tahun menuntut ilmu tasawwuf, bertanya kepada gurunya, “Guru, anak-anak yang belajar kepada Guru Anu, baru setahun saja, mereka sudah bisa berjalan di atas air. Kami ini bagaimana Guru?” Dengan tenang Sang Guru menjawab, “Anakku, jika kamu pikir bahwa kemuliaan ditunjukkan dengan kemampuan berjalan di atas air, maka dari dulu katak bisa berjalan di atas air.”
Di bulan puasa, ada malam yang dikenal sebagai laylatul qadr. Jatuhnya di malam ke berapa, ada banyak pendapat para ulama. Malam tersebut adalah malam kemuliaan. Seperti yang difirmankan oleh Allah, “Sesungguhnya kami menurunkan (Alquran) pada malam laylatul qadr. Dan tahukah kamu malam laylatul qadr itu? Laylatul qadr itu lebih baik daripada seribu bulan.” Puasa di dalam bahasa Arab disebut al-shiyam. Kata ini memiliki asal-usul dari kata shama, yashumu, shawman dan shiyaman. Pada awalnya, shiyam artinya meninggalkan atau berpantang dari sesuatu. Pada perkembangan selanjutnya, sebagaimana yang didefenisikan di dalam kitab al-Raghib, kata shiyam berarti meninggalkan sesuatu yang berhubungan dengan makanan (tentu saja minuman juga termasuk), pembicaraan, dan perjalanan. Dengan demikian, salah satu makna puasa adalah meninggalkan pembicaraan. Apakah dalam pengertian ini kita tidak diperbolehkan untuk berbicara ketika kita sedang berpuasa? Para sufi membagi puasa menjadi puasa lahir dan puasa batin. Dalam defenisi yang lebih detail, puasa meliputi tiga tingkatan: puasa syari’at, puasa tarikat, dan puasa hakikat. Puasa yang dijelaskan oleh Rasulullah Saw dalam berbagai hadits kita sebut puasa syari’at, defenisinya sangat fiqhiyyah, lebih menekankan ke aspek legalitas. Ketika kita mengikuti Rasulullah dalam caranya melakukan puasa: dari sahur, buka puasa, kegiatan ramadhan; maka kita mengikuti puasa tarikat. Dan jika kita bisa menyingkap rahasia puasa sebagaimana yang disingkapkan kepada Rasulullah, kita sampai kepada puasa hakikat.
Kita sangat akrab dengan defenisi puasa yang paling sederhana: menahan makan, minum, hubungan suami istri, dan segala yang membatalkannya dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Bahkan, kadang kita mengurangi defenisinya lagi menjadi hanya “menahan makan dan minum saja.” Adapun pengertian dari “segala yang membatalkannya,” kita tidak terlalu perduli. Lalu kita melakukan apa saja di siang hari seperti biasa, bedanya hanyalah bahwa kita sedang puasa. Puasa disederhanakan hanya begitu saja. Ramadhan sebentar lagi, mari persiapkan diri. Untuk itu, kita renungi kembali pesan Rasulullah Saw dalam menyambut bulan suci ini. Syeikh Shaduq ra meriwayatkan dari Imam Ridha dengan sanad terpercaya, dari kakek-kakek beliau, bahwa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kw berkata, Rasulullah SAW pada suatu hari berkhotbah di hadapan kami (menjelang bulan suci Ramadhan): Ramadan menjelang. Saya titip kembali tulisan ini. Saya ingat sekali, tahun 80-an ketika masih anak-anak, saya pernah protes kepada seorang ustadz yang berceramah di kampung. Saat itu, beliau mengajarkan bahwa umat Islam yang paling mulia disisi Allah adalah tiga generasi yang pertama; seberapa maksimalpun kita berbuat kebaikan, kita tidak ada apa-apanya. Mereka tidak bisa dilampaui. Membaca tulisan saudara Ilham Kadir (IK), “Proporsional dalam Memuliakan Al-Husein” yang dimuat Tribun Timur Jumat 7 Desember 2012 yang lalu, hemat penulis, memberikan satu perspektif baru dalam pola hubungan mazhab-mazhab Islam. Tulisan ini tidak bermaksud menanggapi tulisan tersebut seperti posisi diametral. Tidak pula menjadi penyempurna, atau penerang. Tapi, meminjam dan memodifikasi istilah saudara IK sendiri, tulisan ini bermaksud “mengalihkan para pembaca ke hal-hal yang lebih rasional dan lebih luhur”. |
Organisasi Islam
Taqrib Bainal Mazahib Nahdlatul Ulama Muhammadiyah IJABI Majulah-IJABI ABI Ahmadiyah Literatur Islam Alfeker Al-Islam Muslim Philosophy Kitab Klasik Sunnah Theosophy Filsafat Islam Al-Munawwarah Ulama AGH Quraish Shihab Din Syamsuddin Imam Ali Khamenei Sayyid Husain Fadhlullah Sayyid Ali Sistani Nasir Makarim Shirazi Kategori
All
|