Puasa di dalam bahasa Arab disebut al-shiyam. Kata ini memiliki asal-usul dari kata shama, yashumu, shawman dan shiyaman. Pada awalnya, shiyam artinya meninggalkan atau berpantang dari sesuatu. Pada perkembangan selanjutnya, sebagaimana yang didefenisikan di dalam kitab al-Raghib, kata shiyam berarti meninggalkan sesuatu yang berhubungan dengan makanan (tentu saja minuman juga termasuk), pembicaraan, dan perjalanan. Dengan demikian, salah satu makna puasa adalah meninggalkan pembicaraan. Apakah dalam pengertian ini kita tidak diperbolehkan untuk berbicara ketika kita sedang berpuasa?
Berbicara ketika berpuasa tentu tidak dilarang. Bukankah kita harus berbicara ketika sedang membaca ayat-ayat Allah? Di bulan puasa, kita juga sangat dianjurkan untuk memperbanyak zikir memuji Allah dan memperbanyak dialog dengan Allah dalam bentuk munajat. Selain itu, saling menasehati dalam kebaikan bukan hanya dianjurkan selama bulan ramadhan, tetapi juga di luar bulan ramadhan.
Puasa bicara setidaknya memiliki dua tahapan. Yang pertama adalah menjaga lisan dari mengucapkan kata-kata kotor, menggunjing orang lain, memfitnah, ghibah, dan lain-lain. Puasa tahap pertama ini diringkas oleh pesan Rasulullah Saw, “tidak tergolong mukmin orang yang suka melaknat orang lain, suka menyakiti orang lain dan mengucapkan kata-kata kotor.” Ketika seorang perempuan tetangganya mencaci maki pembantunya padahal dia sedang berpuasa, Rasulullah Saw menyuruhnya berbuka, “Bagaimana mungkin kamu berpuasa sedangkan kamu mencaci maki hamba Allah?”
Setelah menghindari kata-kata kotor, puasa bicara dilanjutkan dengan menghindari perkataan yang tidak perlu dan tidak membawa manfaat. Pembicaraan yang memberikan manfaat adalah pembicaraan yang mendekatkan kita kepada Allah. Hindarilah perkataan yang biasa-biasa saja, gantilah obrolan dengan zikir dan saling menasehati tentang kebenaran. Perbanyaklah belajar firman Allah dan pesan-pesan Rasulullah Saw. Ketimbang membicarakan hal-hal yang tidak penting, lebih maslahat membaca kitab dan menelaah ilmu agama.
Rasulullah Saw pernah berpesan kepada sahabat Abu Dzar. Kata beliau Saw, “empat perkara yang tidak akan dilakukan kecuali oleh orang mukmin. (Salah satunya) adalah diam (sedikit berbicara), ia adalah awal ibadah.” (Makarim al-Akhlaq, juz 2, hal. 377). Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw pernah mengatakan, “diam adalah ciri kecerdasan dan buah dari akal” (Ghurar al-Hikam, no. 1343). Beliau juga mengatakan “konsistenlah dalam sedikit berbicara, niscaya kalian akan mendapatkan manfaat darinya, minimal adalah keselamatan” (Ghurar al-Hikam, no. 2314). Seorang ulama salaf, Bisyr bin Al-Harits ra pernah berkata “Dua perkara yang akan mengeraskan hati: Banyak bicara, dan banyak makan”. (Lihat Al-Hilyah (4/22) oleh Abu Nu'aim).
Puasa bicara mengajarkan untuk menakar pembicaraan dan mendahulukan pembicaraan yang bermanfaat. Kita mungkin terlalu banyak mendengarkan suara mulut sendiri sehingga kita jarang mendengarkan jeritan dari kaum miskin yang menderita di sekitar kita. Sayyid Haydar Amuli mengatakan, jika terlalu sering mendengarkan suara sendiri, kita tidak akan mampu mendengarkan kata-kata dari hati. Sebelum Rasulullah Saw menerima wahyu di gua Hira, beliau menghabiskan waktu yang panjang untuk ber-khalwat, puasa bicara, dan mempertajam hati. Nabi Zakaria as, ketika akan dikaruniai anak di usianya yang sudah sangat tua dan istrinya dalam keadaan mandul, disuruh berpuasa bicara selama tiga hari agar harapannya terkabul. Setelah Maryam melahirkan Isa al-Masih as dan mendapatkan banyak gunjingan, beliau melakukan puasa bicara dan akhirnya Isa as yang masih bayi itulah yang menjawab semua gunjingan orang. Dan demikianlah, puasa bicara telah membawa mujizat dan keajaiban. Seharusnya, kita juga berpuasa bicara di bulan yang mulia ini, juga setelahnya.
8 Ramadhan 1430H
Puasa bicara setidaknya memiliki dua tahapan. Yang pertama adalah menjaga lisan dari mengucapkan kata-kata kotor, menggunjing orang lain, memfitnah, ghibah, dan lain-lain. Puasa tahap pertama ini diringkas oleh pesan Rasulullah Saw, “tidak tergolong mukmin orang yang suka melaknat orang lain, suka menyakiti orang lain dan mengucapkan kata-kata kotor.” Ketika seorang perempuan tetangganya mencaci maki pembantunya padahal dia sedang berpuasa, Rasulullah Saw menyuruhnya berbuka, “Bagaimana mungkin kamu berpuasa sedangkan kamu mencaci maki hamba Allah?”
Setelah menghindari kata-kata kotor, puasa bicara dilanjutkan dengan menghindari perkataan yang tidak perlu dan tidak membawa manfaat. Pembicaraan yang memberikan manfaat adalah pembicaraan yang mendekatkan kita kepada Allah. Hindarilah perkataan yang biasa-biasa saja, gantilah obrolan dengan zikir dan saling menasehati tentang kebenaran. Perbanyaklah belajar firman Allah dan pesan-pesan Rasulullah Saw. Ketimbang membicarakan hal-hal yang tidak penting, lebih maslahat membaca kitab dan menelaah ilmu agama.
Rasulullah Saw pernah berpesan kepada sahabat Abu Dzar. Kata beliau Saw, “empat perkara yang tidak akan dilakukan kecuali oleh orang mukmin. (Salah satunya) adalah diam (sedikit berbicara), ia adalah awal ibadah.” (Makarim al-Akhlaq, juz 2, hal. 377). Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw pernah mengatakan, “diam adalah ciri kecerdasan dan buah dari akal” (Ghurar al-Hikam, no. 1343). Beliau juga mengatakan “konsistenlah dalam sedikit berbicara, niscaya kalian akan mendapatkan manfaat darinya, minimal adalah keselamatan” (Ghurar al-Hikam, no. 2314). Seorang ulama salaf, Bisyr bin Al-Harits ra pernah berkata “Dua perkara yang akan mengeraskan hati: Banyak bicara, dan banyak makan”. (Lihat Al-Hilyah (4/22) oleh Abu Nu'aim).
Puasa bicara mengajarkan untuk menakar pembicaraan dan mendahulukan pembicaraan yang bermanfaat. Kita mungkin terlalu banyak mendengarkan suara mulut sendiri sehingga kita jarang mendengarkan jeritan dari kaum miskin yang menderita di sekitar kita. Sayyid Haydar Amuli mengatakan, jika terlalu sering mendengarkan suara sendiri, kita tidak akan mampu mendengarkan kata-kata dari hati. Sebelum Rasulullah Saw menerima wahyu di gua Hira, beliau menghabiskan waktu yang panjang untuk ber-khalwat, puasa bicara, dan mempertajam hati. Nabi Zakaria as, ketika akan dikaruniai anak di usianya yang sudah sangat tua dan istrinya dalam keadaan mandul, disuruh berpuasa bicara selama tiga hari agar harapannya terkabul. Setelah Maryam melahirkan Isa al-Masih as dan mendapatkan banyak gunjingan, beliau melakukan puasa bicara dan akhirnya Isa as yang masih bayi itulah yang menjawab semua gunjingan orang. Dan demikianlah, puasa bicara telah membawa mujizat dan keajaiban. Seharusnya, kita juga berpuasa bicara di bulan yang mulia ini, juga setelahnya.
8 Ramadhan 1430H