Kita sangat akrab dengan defenisi puasa yang paling sederhana: menahan makan, minum, hubungan suami istri, dan segala yang membatalkannya dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Bahkan, kadang kita mengurangi defenisinya lagi menjadi hanya “menahan makan dan minum saja.” Adapun pengertian dari “segala yang membatalkannya,” kita tidak terlalu perduli. Lalu kita melakukan apa saja di siang hari seperti biasa, bedanya hanyalah bahwa kita sedang puasa. Puasa disederhanakan hanya begitu saja.
Mulla Shadra, seorang teosof Islam abad 16, membagi wujud manusia berdasarkan tingkatan alam dari yang paling bawah sampai yang paling sempurna: indrawi (al-hiss), imajinasi (al-khayal), dan akal (al-‘aql). Sederhananya begini, manusia yang memiliki aspek lahir dan batin itu berada di tiga alam, mirip dengan rumah yang berlantai tiga, yang paling bawah adalah alam indra dan yang tertinggi adalah alam akal. Manusia akan semakin sempurna wujudnya, atau semakin sempurna kualitas kemanusiaannya jika dia bisa mendaki dari bawah di alam indra sampai ke tingkat tertinggi di alam akal. Dan manusia yang bisa masuk surga dan “bertemu” Tuhan adalah manusia yang berada di tingkat tertinggi itu.
Apa hubungannya dengan puasa? Manusia seperti kita, yang memiliki kecenderungan terhadap materi, paling gampang diidentifikasi melalui makanan, minuman, dan semua kebutuhan jasad kita, berada di alam paling bawah itu. Selama kita tidak bisa “terlepas” (tajarrud) dari materi, maka selama itu juga kita masih akan berada di tingkat bawah dan tidak akan bisa menyempurnakan wujud kemanusiaan kita. Tanpa sadar, kita hanya berputar-putar di lantai paling bawah. Dengan kondisi itu, wujud kita tidak akan pernah menyempurna dan tak akan bisa “bertemu” dengan Sang Maha Sempurna yang “berada” di alam tertinggi. Karena itulah “keterlepasan” dari materi hakikinya adalah kerinduan fitrawi manusia.
Karena itulah puasa disyariatkan, bukan hanya untuk orang Islam, “tetapi juga orang-orang sebelum kamu” kata Alquran. Puasa dimaksudkan sebagai latihan untuk melepaskan diri dari belenggu materi. Menurut Seyyed Hossein Nasr, perjuangan yang paling berat bagi seseorang yang berpuasa adalah menundukkan the carnal soul, al-nafs al-ammarah, jiwa hewan yang menjadi ciri khas alam materi. Nafs al-ammarah-lah yang menjerumuskan manusia, yang menjadikannya seperti hewan dan menggodanya untuk melakukan apa saja yang akan mengantarkannya ke tempat terendah, asfala saafiliin.
Menggunakan defenisi Mulla Shadra, manusia yang berpuasa adalah manusia yang sedang berupaya menyempurnakan wujud lahir dan batinnya untuk mencapai tempat atau maqam tertinggi. Puasa dalam pengertian inilah yang disebut puasa yang sebenar-benarnya, latihan melepaskan diri dari materi. Belajar tetapi tidak disiplin tidak akan mencerdaskan, dan puasa yang juga tidak disiplin tidak akan menghasilkan apa-apa. Karena itulah Rasulullah pernah mengatakan banyak orang yang berpuasa tetapi hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja. Jika puasa yang kita lakukan hanya memindahkan jadwal makan tanpa mengurangi kuantitas, bahkan menambah kuantitas dan kualitasnya di saat berbuka dan makan sahur, itu berarti keterikatan kita kepada materi masih berada pada level yang sama, bahkan mungkin malah lebih buruk. Dan tentu, kita tidak bisa berharap dari puasa yang seperti ini.
Selamat menunaikan ibadah puasa. Semoga puasa kita adalah benar-benar puasa.
Ya Allah, berikan kami kekuatan untuk melakukan puasa yang menyempurnakan wujud kami, dan puasa yang mendekatkan kami kepadaMu.
Mustamin al-Mandary, 1 Ramadhan 1428H. Dulu ditulis untuk "kultum" di mailing list Panyingkul. Didaur ulang untuk Ramadhan 1435H.
Apa hubungannya dengan puasa? Manusia seperti kita, yang memiliki kecenderungan terhadap materi, paling gampang diidentifikasi melalui makanan, minuman, dan semua kebutuhan jasad kita, berada di alam paling bawah itu. Selama kita tidak bisa “terlepas” (tajarrud) dari materi, maka selama itu juga kita masih akan berada di tingkat bawah dan tidak akan bisa menyempurnakan wujud kemanusiaan kita. Tanpa sadar, kita hanya berputar-putar di lantai paling bawah. Dengan kondisi itu, wujud kita tidak akan pernah menyempurna dan tak akan bisa “bertemu” dengan Sang Maha Sempurna yang “berada” di alam tertinggi. Karena itulah “keterlepasan” dari materi hakikinya adalah kerinduan fitrawi manusia.
Karena itulah puasa disyariatkan, bukan hanya untuk orang Islam, “tetapi juga orang-orang sebelum kamu” kata Alquran. Puasa dimaksudkan sebagai latihan untuk melepaskan diri dari belenggu materi. Menurut Seyyed Hossein Nasr, perjuangan yang paling berat bagi seseorang yang berpuasa adalah menundukkan the carnal soul, al-nafs al-ammarah, jiwa hewan yang menjadi ciri khas alam materi. Nafs al-ammarah-lah yang menjerumuskan manusia, yang menjadikannya seperti hewan dan menggodanya untuk melakukan apa saja yang akan mengantarkannya ke tempat terendah, asfala saafiliin.
Menggunakan defenisi Mulla Shadra, manusia yang berpuasa adalah manusia yang sedang berupaya menyempurnakan wujud lahir dan batinnya untuk mencapai tempat atau maqam tertinggi. Puasa dalam pengertian inilah yang disebut puasa yang sebenar-benarnya, latihan melepaskan diri dari materi. Belajar tetapi tidak disiplin tidak akan mencerdaskan, dan puasa yang juga tidak disiplin tidak akan menghasilkan apa-apa. Karena itulah Rasulullah pernah mengatakan banyak orang yang berpuasa tetapi hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja. Jika puasa yang kita lakukan hanya memindahkan jadwal makan tanpa mengurangi kuantitas, bahkan menambah kuantitas dan kualitasnya di saat berbuka dan makan sahur, itu berarti keterikatan kita kepada materi masih berada pada level yang sama, bahkan mungkin malah lebih buruk. Dan tentu, kita tidak bisa berharap dari puasa yang seperti ini.
Selamat menunaikan ibadah puasa. Semoga puasa kita adalah benar-benar puasa.
Ya Allah, berikan kami kekuatan untuk melakukan puasa yang menyempurnakan wujud kami, dan puasa yang mendekatkan kami kepadaMu.
Mustamin al-Mandary, 1 Ramadhan 1428H. Dulu ditulis untuk "kultum" di mailing list Panyingkul. Didaur ulang untuk Ramadhan 1435H.