Para sufi membagi puasa menjadi puasa lahir dan puasa batin. Dalam defenisi yang lebih detail, puasa meliputi tiga tingkatan: puasa syari’at, puasa tarikat, dan puasa hakikat. Puasa yang dijelaskan oleh Rasulullah Saw dalam berbagai hadits kita sebut puasa syari’at, defenisinya sangat fiqhiyyah, lebih menekankan ke aspek legalitas. Ketika kita mengikuti Rasulullah dalam caranya melakukan puasa: dari sahur, buka puasa, kegiatan ramadhan; maka kita mengikuti puasa tarikat. Dan jika kita bisa menyingkap rahasia puasa sebagaimana yang disingkapkan kepada Rasulullah, kita sampai kepada puasa hakikat.
Orang yang melakukan puasa syari’at akan sangat memperhatikan aspek-aspek lahir yang membatalkan puasa secara hukum. Dia akan sangat hati-hati dalam menetapkan waktu menahan, cemas jika berkumur-kumur di siang hari karena takut menelan air, dan lain-lain. Pendeknya dia berfokus kepada hal-hal yang membatalkan puasa seperti yang dijelaskan di dalam kitab fiqh.
Orang yang memperbanyak ibadah di malam hari, membaca Alquran, merutinkan sedekah, dan melakukan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Saw di bulan ramadhan sesuai riwayat hadits, telah menaikkan derajat pencapaiannya setingkat lebih tinggi. Orang ini tidak hanya terfokus kepada syarat yang mensahkan dan membatalkan puasa secara lahiriah saja, tetapi lebih dari itu dia menggali syarat-syarat batin dan berkomitmen dalam menuntun diri untuk memenuhinya. Dia takut untuk berbuka makanan yang haram, berghibah, memfitnah, mengumpat, menyakiti hati orang lain, menghardik anak yatim, marah, khianat, berbohong, dan meninggalkan semua perbuatan batin yang dilarang oleh agama.
Rasulullah Saw menyampaikan sebuah hadis qudsi, bahwa Allah Swt berfirman, "Siapa yang anggota tubuhnya tidak berpuasa dari hal-hal yang Aku haramkan, maka tidak berguna bagiKu dia meninggalkan makan dan minum demi diriKu" (al-Kafi, juz 4 hadis no. 5). Puasa bukan hanya mengikuti syarat-syarat lahirnya saja, tetapi termasuk meninggalkan apa saja yang diharamkan oleh Allah Swt; bukan hanya makanan dan minuman, tetapi juga perbuatan.
Dengan menggunakan istilah para sufi, berpuasa mestinya dimulai dari takhalli, mengosongkan diri dari segala noda dan melepaskan diri dari kekangan nafs al-hayawan, kecenderungan hewani. Inilah persiapan yang paling awal. Pada tahap inilah kita harus melakukan semua syarat dan rukun puasa, baik lahir maupun batin. Di tahap ini kita berusaha menemukan inti puasa, membuang aspek-aspek kemanusiaan yang cenderung menjerumuskan.
Itulah yang dimaksud oleh Rasulullah Saw ketika bersabda, "Puasa menjadi berkah bagi kalian, karena ia memutuskan akar nafsu dan membuang sifat-sifat buas hewan dari diri kalian". (Kanz al-Ummal, hadis no. 23610)
Jadi, berpuasa sejatinya adalah ikhtiar untuk membuang sifat-sifat hewan dan segala perbuatan yang didorong oleh hawa nafsu. Puasa membimbing manusia untuk menemukan hakikat dirinya. Sehingga mereka yang berpuasa tetapi tidak bisa melepaskan karakteristik hewannya, sesungguhnya dia belum berpuasa.
Selanjutnya, setelah mengosongkan diri dari sifat-sifat buruk dan noda, kekosongan itu kemudian diisi dengan perbuatan baik. Pada tahap inilah orang berpuasa akan memasuki maqam tahalli, mereka menghiasi puasanya dengan kemuliaan amal saleh yang dicontohkan oleh Rasulullah. Mereka mengisi malam dengan ibadah dan munajat. Dan jika mereka telah melewati fase kedua ini, maka Insya Allah hakikat puasa akan disingkapkan kepadanya. Itulah fase tajalli dimana sifat dan perbuatan mereka yang berpuasa merupakan manifestasi dari sifat dan perbuatan Allah, mereka telah menjadi khalifah. Oleh karena itu, orang yang benar-benar berpuasa di bulan ramadhan akan menjadi rahmatan lil ‘alamin saat mereka mampu mengejawantahkan cinta dan kasih Allah Swt. Itulah sifat-sifat orang bertaqwa yang dimaksudkan oleh Alquran.
Syari’at, tarikat dan hakikat puasa adalah tiga hal yang berkelindan satu sama lain. Sementara takhalli, tahalli dan tajalli adalah tiga maqam yang saling sambung menyambung. Sejatinya, orang yang berpuasa tidak akan mau berhenti di puasa syari’at saja karena mereka ingin mereguk hakikatnya. Dan ciri dari orang yang telah merasakan hakikat puasa adalah mereka yang menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia.
5 Ramadhan 1428H.
Orang yang memperbanyak ibadah di malam hari, membaca Alquran, merutinkan sedekah, dan melakukan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Saw di bulan ramadhan sesuai riwayat hadits, telah menaikkan derajat pencapaiannya setingkat lebih tinggi. Orang ini tidak hanya terfokus kepada syarat yang mensahkan dan membatalkan puasa secara lahiriah saja, tetapi lebih dari itu dia menggali syarat-syarat batin dan berkomitmen dalam menuntun diri untuk memenuhinya. Dia takut untuk berbuka makanan yang haram, berghibah, memfitnah, mengumpat, menyakiti hati orang lain, menghardik anak yatim, marah, khianat, berbohong, dan meninggalkan semua perbuatan batin yang dilarang oleh agama.
Rasulullah Saw menyampaikan sebuah hadis qudsi, bahwa Allah Swt berfirman, "Siapa yang anggota tubuhnya tidak berpuasa dari hal-hal yang Aku haramkan, maka tidak berguna bagiKu dia meninggalkan makan dan minum demi diriKu" (al-Kafi, juz 4 hadis no. 5). Puasa bukan hanya mengikuti syarat-syarat lahirnya saja, tetapi termasuk meninggalkan apa saja yang diharamkan oleh Allah Swt; bukan hanya makanan dan minuman, tetapi juga perbuatan.
Dengan menggunakan istilah para sufi, berpuasa mestinya dimulai dari takhalli, mengosongkan diri dari segala noda dan melepaskan diri dari kekangan nafs al-hayawan, kecenderungan hewani. Inilah persiapan yang paling awal. Pada tahap inilah kita harus melakukan semua syarat dan rukun puasa, baik lahir maupun batin. Di tahap ini kita berusaha menemukan inti puasa, membuang aspek-aspek kemanusiaan yang cenderung menjerumuskan.
Itulah yang dimaksud oleh Rasulullah Saw ketika bersabda, "Puasa menjadi berkah bagi kalian, karena ia memutuskan akar nafsu dan membuang sifat-sifat buas hewan dari diri kalian". (Kanz al-Ummal, hadis no. 23610)
Jadi, berpuasa sejatinya adalah ikhtiar untuk membuang sifat-sifat hewan dan segala perbuatan yang didorong oleh hawa nafsu. Puasa membimbing manusia untuk menemukan hakikat dirinya. Sehingga mereka yang berpuasa tetapi tidak bisa melepaskan karakteristik hewannya, sesungguhnya dia belum berpuasa.
Selanjutnya, setelah mengosongkan diri dari sifat-sifat buruk dan noda, kekosongan itu kemudian diisi dengan perbuatan baik. Pada tahap inilah orang berpuasa akan memasuki maqam tahalli, mereka menghiasi puasanya dengan kemuliaan amal saleh yang dicontohkan oleh Rasulullah. Mereka mengisi malam dengan ibadah dan munajat. Dan jika mereka telah melewati fase kedua ini, maka Insya Allah hakikat puasa akan disingkapkan kepadanya. Itulah fase tajalli dimana sifat dan perbuatan mereka yang berpuasa merupakan manifestasi dari sifat dan perbuatan Allah, mereka telah menjadi khalifah. Oleh karena itu, orang yang benar-benar berpuasa di bulan ramadhan akan menjadi rahmatan lil ‘alamin saat mereka mampu mengejawantahkan cinta dan kasih Allah Swt. Itulah sifat-sifat orang bertaqwa yang dimaksudkan oleh Alquran.
Syari’at, tarikat dan hakikat puasa adalah tiga hal yang berkelindan satu sama lain. Sementara takhalli, tahalli dan tajalli adalah tiga maqam yang saling sambung menyambung. Sejatinya, orang yang berpuasa tidak akan mau berhenti di puasa syari’at saja karena mereka ingin mereguk hakikatnya. Dan ciri dari orang yang telah merasakan hakikat puasa adalah mereka yang menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia.
5 Ramadhan 1428H.