Ramadan menjelang. Saya titip kembali tulisan ini.
Saya ingat sekali, tahun 80-an ketika masih anak-anak, saya pernah protes kepada seorang ustadz yang berceramah di kampung. Saat itu, beliau mengajarkan bahwa umat Islam yang paling mulia disisi Allah adalah tiga generasi yang pertama; seberapa maksimalpun kita berbuat kebaikan, kita tidak ada apa-apanya. Mereka tidak bisa dilampaui.
Saya ingat sekali, tahun 80-an ketika masih anak-anak, saya pernah protes kepada seorang ustadz yang berceramah di kampung. Saat itu, beliau mengajarkan bahwa umat Islam yang paling mulia disisi Allah adalah tiga generasi yang pertama; seberapa maksimalpun kita berbuat kebaikan, kita tidak ada apa-apanya. Mereka tidak bisa dilampaui.
Saya pikir, ini tidak adil! Bukankah kita, generasi yang belakang ini, punya potensi yang sama dengan mereka? Ustadz berkata, mereka adalah pembantu Nabi, yang mencontoh dan mengikuti Nabi dengan segala daya, mengorbankan apa saja miliknya demi Islam. Merekalah yang dimaksud oleh ayat Alquran sebagai radhiAllahu ‘anhum wa radhu ‘an (QS 5:119), Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah. Untuk sementara, saya menyerah saat itu. Saya tidak punya dalil untuk menjawab penjelasan ustadz walaupun hati saya menolak. Saya simpan saja “kekalahan” itu.
Beberapa tahun kemudian, saat remaja, di atas mimbar, seorang penceramah kembali mengingatkan “kekalahan” saya dari ustadz dulu. Kata penceramah, para sahabat nabi itu orang-orang adil, tidak akan berbuat salah. Jikapun berbuat salah, kesalahan mereka langsung diampuni dan mereka masih mendapatkan satu kebaikan dalam kesalahannya. Sang penceramah lalu mengutip salah satu riwayat, bahwa Nabi pernah menyebutkan kemuliaan salah seorang sahabat dekatnya. Kata Nabi, jika semua kebaikan umat setelahnya diletakkan pada satu timbangan disisi kiri dan kebaikan salah seorang sahabatnya itu disisi kanan, niscaya kebaikan sahabatnya itu masih akan lebih berat.
Saat ini, kita juga mengenal kelompok yang “memaksa” kita kembali ke tiga generasi itu, generasi salaf al-salih. Menurut mereka, merekalah tauladan sebenar-benarnya. Merekalah yang paling tahu ajaran Nabi. Merekalah yang paling benar. Ajaran Islam yang kita terima sekarang hanya bisa sampai kepada kita melalui perantaraan mereka. Selain pemahaman mereka, tidak ada tempat buat yang lain. Sayangnya, generasi salaf al-salih yang mereka maksud, adalah generasi yang mereka pilih pendapatnya. Jika ada tiga generasi pertama yang berbeda dengan salaf al-salih yang mereka maksud, maka kelompok ini diluar dari salaf al-salih.
Tentu sangat jelas, tanpa generasi Nabi dan generasi setelahnya, Islam tidak mungkin sampai ke zaman ini. Itu kaidah sejarah yang tidak bisa ditolak. Mereka lebih dekat kepada Nabi. Jika memang ada distorsi, maka mereka beruntung menemukan distorsi yang masih sedikit. Kompleksitas kehidupan mereka, masih mirip dengan kehidupan zaman Nabi. Tetapi kita juga tidak bisa membantah, perbedaan yang kita miliki sekarang, juga berasal dari mereka. Khususnya generasi paska wafat Rasulullah, perbedaan di antara mereka memberikan kontribusi paling besar kepada perbedaan penafsiran ajaran Islam di zaman ini dan nanti.
Saya bukan bermaksud menolak kebaikan para sahabat Rasulullah yang mulia itu. Saya juga bukan tidak memuliakan mereka. Saya menerima salaf al-salih sebagai satu jalur yang menghidupkan risalah Nabi. Sejarah menunjukkan, keberhasilan Rasulullah Saw dalam mengemban misi Islam tidak bisa dilepaskan dari dukungan dan bantuan para sahabatnya. Saya tidak menggugat ayat keridhaan Allah kepada mereka. Saya hanya ingin mempertanyakan keadaan kita, generasi pencinta dan pengikut Nabi yang lahir kemudian. Bisakah kita seperti mereka disisi Allah dan Rasulullah Saw?
Tidak bisa dipungkiri, umat Islam yang lahir belakangan juga merelakan jiwa raganya demi ajaran Muhammad. Ragukah kita atas perjuangan kaum muslimin menegakkan kebenaran di seluruh belahan bumi? Iraq, Afghanistan, Palestina, Lebanon, Indonesia? Saya sendiri percaya, perjuangan mereka melawan penindasan dilandasi oleh ruh kecintaan kepada nilai luhur Islam yang diajarkan oleh Muhammad, apapun bungkusannya: nasionalisme, pembelaan ham, dan lainnya.
Atau tidak percayakah kita kepada beberapa orang yang rela meninggalkan kenikmatan hidupnya dan pergi ke daerah-daerah terpencil untuk berdakwah? Mereka meninggalkan keluarga dan menafkahkan hartanya untuk membantu saudara-saudaranya yang membutuhkan. Mereka melakukan semua ini atas nama Islam. Mereka berupaya maksimal untuk mencintai Muhammad dan menghidupkan risalah yang dibawanya.
Masih banyak contoh selain itu. Di Alquran sendiri Tuhan tidak pernah memuliakan hambaNya karena zamannya, kapan dia dilahirkan. Tuhan justru menekankan, “sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu” (QS 49:13). Nabipun pernah menegaskan, bahwa orang Arab tidak lebih mulia daripada orang ‘ajam, kemuliaan seseorang ditentukan oleh ketakwaannya.
Mungkin ustadz, atau penceramah itu akan menjelaskan lagi, bahwa tiga generasi yang pertama itulah yang paling bertakwa. Tetapi dengan apa kita mengukur ketakwaan? Andai saya lahir di zaman Nabi, saya juga akan pergi berjihad bersamanya, akan membersihkan tempat tidurnya, mengambilkannya air untuk mandi, dan ingin menjadikan tubuh saya sebagai bentengnya di perang Uhud sehingga beliau tidak akan terluka ketika teman-temannya meninggalkannya. Tapi saya dilahirkan sekarang, waktu yang tidak bisa saya tentukan sendiri.
Saya masih membawa pertanyaan ini kemana-mana. Dan suatu waktu kemudian saya menemukan penjelasannya. Inilah yang ingin saya rangkumkan.
***
Jalaluddin al-Suyuthi adalah salah seorang mufassir Islam yang terkenal, penulis kitab tafsir al-Durr al-Mantsur fi Tafsir bi al-Ma’tsur. Beliau dilahirkan di Mesir 1 Rajab 849H ini. Dalam menulis tafsir ini, beliau tidak menjelaskan ayat-ayat dengan penjelasannya sendiri sebagaimana yang kita sering jumpai di kebanyakan kitab tafsir. Di dalam menjelaskan ayat-ayat Alquran, al-Suyuthi menggunakan riwayat yang berkenaan dengan ayat-ayat tersebut. Itulah sebabnya, banyak orang menyebut tafsir ini sebagai tafsir bi al-riwayat.
Ketika hendak menjelaskan surah Al-Baqarah ayat ketiga alladziina yu’minuuna bil ghaib, al-Suyuthi mengutipkan riwayat berikut ini.
Menjelang subuh di suatu malam, Rasulullah Saw hendak mengambil air wudhu. Beliau bertanya kepada para sahabat, “adakah air untuk berwudhu?”. Sayangnya, pada waktu itu tidak ada seorang sahabatpun yang mempunyai air. Yang ada hanya kantong air yang di bagian bawahnya masih tersisa tetes-tetes air. Dibawalah kantong air itu kepada Rasulullah Saw. Beliau lalu memasukkan tangannya ke dalam kantong itu. Ketika tangannya ditarik keluar, memancarlah air dari sela-sela jarinya dengan pancaran yang deras. Para sahabat kemudian datang untuk mengambil wudhu dengan air itu. Bahkan, salah seorang sahabat, ‘Abdullah bin Mas’ud, selain berwudhu, dia juga meminum air itu.
Setelah shalat shubuh, Rasulullah duduk menghadap para sahabatnya. Memulai pembicaraan beliau bertanya, “tahukah kalian siapa yang paling menakjubkan imannya?”. Para sahabat menjawab, “para malaikat ya Rasulullah.” Rasulullah menjawab, “bagaimana mungkin para malaikat tidak beriman sementara mereka adalah pelaksana perintah-perintah Allah. Para malaikatlah yang terus menerus melaksanakan perintah Allah untuk menunaikan amanahNya.” Kemudian para sahabat berkata, “jika begitu, para Nabi ya Rasulullah.” Rasulullah berkata, “bagaimana mungkin para nabi tidak beriman sementara mereka menerima wahyu langsung dari Allah.” Para sahabat lalu berkata, “jika demikian, kami para sahabatmu yang Rasulullah.” “Bagaimana mungkin kalian tidak beriman padahal kalian baru saja menyaksikan apa yang kalian sudah saksikan” (maksudnya keajaiban air yang memancar dari jari-jari Rasulullah). Karena penasaran para sahabat lalu bertanya, “kalau begitu, siapa yang paling menakjubkan imannya itu ya Rasulullah?”. Rasulullah menjawab, “mereka adalah kaum yang datang setelahku. Mereka tidak pernah berjumpa denganku. Mereka tidak pernah melihatku. Tetapi ketika mereka menemukan Alquran terbuka di hadapan mereka, mereka lalu mencintaiku. Mereka mencintaiku sedemikian besarnya sehingga sekiranya mereka harus mengorbankan seluruh hartanya agar bisa menemuiku, mereka akan merelakan seluruh hartanya itu.”
Demikian penjelasan al-Suyuthi tentang siapa yang beriman kepada yang gaib.
Masih di dalam kitab al-Durr al-Mantsur, Imam al-Suyuthi mengutip riwayat dimana Rasulullah Saw mengatakan, “berbahagialah ikhwani, saudara-saudaraku”. Para sahabat bertanya, “apakah kami yang engkau maksud ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “bukan! Kalian adalah sahabat-sahabatku. Saudaraku adalah mereka yang datang setelahku”.
Suatu hari Rasulullah disebutkan pernah berkata, “alangkah rindunya aku untuk berjumpa dengan ikhwani”. Para sahabat menjawab, “bukankah kami ini ikhwanuka?”. “Bukan!” kata Rasulullah. “Kalian ini adalah sahabat-sahabatku. Saudaraku adalah orang yang tidak pernah berjumpa denganku tetapi membenarkanku dan beriman kepadaku”.
***
Ternyata, Rasulullah Saw sudah menduga pertanyaan saya, lalu beliau menyediakan jawabannya. Untung saja ulama-ulama terdahulu mencatatkan jawaban itu sehingga kita bisa menemukannya sekarang.
Saya membuka Tafsir Al-Misbah Quraisy Shihab jilid 1. Ketika menjelaskan ayat ketiga di surah Al-Baqarah, Ustadz Quraisy juga mengatakan bahwa secara bahasa dan makna, pendapat yang mengatakan bahwa hal-hal ghaib di ayat itu adalah termasuk Rasulullah bagi umat Islam yang tidak sempat bertemu dengannya, adalah pendapat yang bisa diterima. Walaupun demikian, Ustadz Quraisy mengatakan bahwa pendapat ini tidak masyhur.
Saya tidak terlalu memikirkan pendapat al-Suyuthi yang mungkin menghubungkan QS al-Baqarah ayat tiga dengan riwayat di atas. Saya hanya ingin menelusuri dan memaknai riwayat yang dikutipnya. Riwayat itu menjawab kegundahan saya.
Tentu, riwayat ini bukan menafikan kemuliaan tiga generasi Islam yang pertama. Riwayat ini justru memperkuat bahwa umat Muhammad mempunyai kesempatan yang sama menjadi yang terbaik. Kemuliaan umat Muhammad, dan juga umat-umat yang lain, seperti kata Allah, adalah ditentukan oleh ketakwaannya; bukan oleh zamannya, sukunya, wilayahnya, atau warna kulitnya. Bukankah ada sekelompok orang di zaman Nabi yang tidak memanfaatkan pertemuannya dengan Nabi? Bukankah pula ada ummat sekarang yang sedemikian kokohnya menjaga risalah Muhammad sehingga merelakan jiwa raganya?
Semoga saja, kita yang membaca tulisan ini, adalah orang-orang yang dirindukan oleh Nabi.
Balikpapan, 16 Agustus 2009; 20:30
Catatan:
Saya ternyata menulis catatan ini menjelang Ramadhan tahun 2009. Bisa ditemukan di link ini juga. Saya menemukan kembali menjelang Ramadhan 2014 ini.
Beberapa tahun kemudian, saat remaja, di atas mimbar, seorang penceramah kembali mengingatkan “kekalahan” saya dari ustadz dulu. Kata penceramah, para sahabat nabi itu orang-orang adil, tidak akan berbuat salah. Jikapun berbuat salah, kesalahan mereka langsung diampuni dan mereka masih mendapatkan satu kebaikan dalam kesalahannya. Sang penceramah lalu mengutip salah satu riwayat, bahwa Nabi pernah menyebutkan kemuliaan salah seorang sahabat dekatnya. Kata Nabi, jika semua kebaikan umat setelahnya diletakkan pada satu timbangan disisi kiri dan kebaikan salah seorang sahabatnya itu disisi kanan, niscaya kebaikan sahabatnya itu masih akan lebih berat.
Saat ini, kita juga mengenal kelompok yang “memaksa” kita kembali ke tiga generasi itu, generasi salaf al-salih. Menurut mereka, merekalah tauladan sebenar-benarnya. Merekalah yang paling tahu ajaran Nabi. Merekalah yang paling benar. Ajaran Islam yang kita terima sekarang hanya bisa sampai kepada kita melalui perantaraan mereka. Selain pemahaman mereka, tidak ada tempat buat yang lain. Sayangnya, generasi salaf al-salih yang mereka maksud, adalah generasi yang mereka pilih pendapatnya. Jika ada tiga generasi pertama yang berbeda dengan salaf al-salih yang mereka maksud, maka kelompok ini diluar dari salaf al-salih.
Tentu sangat jelas, tanpa generasi Nabi dan generasi setelahnya, Islam tidak mungkin sampai ke zaman ini. Itu kaidah sejarah yang tidak bisa ditolak. Mereka lebih dekat kepada Nabi. Jika memang ada distorsi, maka mereka beruntung menemukan distorsi yang masih sedikit. Kompleksitas kehidupan mereka, masih mirip dengan kehidupan zaman Nabi. Tetapi kita juga tidak bisa membantah, perbedaan yang kita miliki sekarang, juga berasal dari mereka. Khususnya generasi paska wafat Rasulullah, perbedaan di antara mereka memberikan kontribusi paling besar kepada perbedaan penafsiran ajaran Islam di zaman ini dan nanti.
Saya bukan bermaksud menolak kebaikan para sahabat Rasulullah yang mulia itu. Saya juga bukan tidak memuliakan mereka. Saya menerima salaf al-salih sebagai satu jalur yang menghidupkan risalah Nabi. Sejarah menunjukkan, keberhasilan Rasulullah Saw dalam mengemban misi Islam tidak bisa dilepaskan dari dukungan dan bantuan para sahabatnya. Saya tidak menggugat ayat keridhaan Allah kepada mereka. Saya hanya ingin mempertanyakan keadaan kita, generasi pencinta dan pengikut Nabi yang lahir kemudian. Bisakah kita seperti mereka disisi Allah dan Rasulullah Saw?
Tidak bisa dipungkiri, umat Islam yang lahir belakangan juga merelakan jiwa raganya demi ajaran Muhammad. Ragukah kita atas perjuangan kaum muslimin menegakkan kebenaran di seluruh belahan bumi? Iraq, Afghanistan, Palestina, Lebanon, Indonesia? Saya sendiri percaya, perjuangan mereka melawan penindasan dilandasi oleh ruh kecintaan kepada nilai luhur Islam yang diajarkan oleh Muhammad, apapun bungkusannya: nasionalisme, pembelaan ham, dan lainnya.
Atau tidak percayakah kita kepada beberapa orang yang rela meninggalkan kenikmatan hidupnya dan pergi ke daerah-daerah terpencil untuk berdakwah? Mereka meninggalkan keluarga dan menafkahkan hartanya untuk membantu saudara-saudaranya yang membutuhkan. Mereka melakukan semua ini atas nama Islam. Mereka berupaya maksimal untuk mencintai Muhammad dan menghidupkan risalah yang dibawanya.
Masih banyak contoh selain itu. Di Alquran sendiri Tuhan tidak pernah memuliakan hambaNya karena zamannya, kapan dia dilahirkan. Tuhan justru menekankan, “sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu” (QS 49:13). Nabipun pernah menegaskan, bahwa orang Arab tidak lebih mulia daripada orang ‘ajam, kemuliaan seseorang ditentukan oleh ketakwaannya.
Mungkin ustadz, atau penceramah itu akan menjelaskan lagi, bahwa tiga generasi yang pertama itulah yang paling bertakwa. Tetapi dengan apa kita mengukur ketakwaan? Andai saya lahir di zaman Nabi, saya juga akan pergi berjihad bersamanya, akan membersihkan tempat tidurnya, mengambilkannya air untuk mandi, dan ingin menjadikan tubuh saya sebagai bentengnya di perang Uhud sehingga beliau tidak akan terluka ketika teman-temannya meninggalkannya. Tapi saya dilahirkan sekarang, waktu yang tidak bisa saya tentukan sendiri.
Saya masih membawa pertanyaan ini kemana-mana. Dan suatu waktu kemudian saya menemukan penjelasannya. Inilah yang ingin saya rangkumkan.
***
Jalaluddin al-Suyuthi adalah salah seorang mufassir Islam yang terkenal, penulis kitab tafsir al-Durr al-Mantsur fi Tafsir bi al-Ma’tsur. Beliau dilahirkan di Mesir 1 Rajab 849H ini. Dalam menulis tafsir ini, beliau tidak menjelaskan ayat-ayat dengan penjelasannya sendiri sebagaimana yang kita sering jumpai di kebanyakan kitab tafsir. Di dalam menjelaskan ayat-ayat Alquran, al-Suyuthi menggunakan riwayat yang berkenaan dengan ayat-ayat tersebut. Itulah sebabnya, banyak orang menyebut tafsir ini sebagai tafsir bi al-riwayat.
Ketika hendak menjelaskan surah Al-Baqarah ayat ketiga alladziina yu’minuuna bil ghaib, al-Suyuthi mengutipkan riwayat berikut ini.
Menjelang subuh di suatu malam, Rasulullah Saw hendak mengambil air wudhu. Beliau bertanya kepada para sahabat, “adakah air untuk berwudhu?”. Sayangnya, pada waktu itu tidak ada seorang sahabatpun yang mempunyai air. Yang ada hanya kantong air yang di bagian bawahnya masih tersisa tetes-tetes air. Dibawalah kantong air itu kepada Rasulullah Saw. Beliau lalu memasukkan tangannya ke dalam kantong itu. Ketika tangannya ditarik keluar, memancarlah air dari sela-sela jarinya dengan pancaran yang deras. Para sahabat kemudian datang untuk mengambil wudhu dengan air itu. Bahkan, salah seorang sahabat, ‘Abdullah bin Mas’ud, selain berwudhu, dia juga meminum air itu.
Setelah shalat shubuh, Rasulullah duduk menghadap para sahabatnya. Memulai pembicaraan beliau bertanya, “tahukah kalian siapa yang paling menakjubkan imannya?”. Para sahabat menjawab, “para malaikat ya Rasulullah.” Rasulullah menjawab, “bagaimana mungkin para malaikat tidak beriman sementara mereka adalah pelaksana perintah-perintah Allah. Para malaikatlah yang terus menerus melaksanakan perintah Allah untuk menunaikan amanahNya.” Kemudian para sahabat berkata, “jika begitu, para Nabi ya Rasulullah.” Rasulullah berkata, “bagaimana mungkin para nabi tidak beriman sementara mereka menerima wahyu langsung dari Allah.” Para sahabat lalu berkata, “jika demikian, kami para sahabatmu yang Rasulullah.” “Bagaimana mungkin kalian tidak beriman padahal kalian baru saja menyaksikan apa yang kalian sudah saksikan” (maksudnya keajaiban air yang memancar dari jari-jari Rasulullah). Karena penasaran para sahabat lalu bertanya, “kalau begitu, siapa yang paling menakjubkan imannya itu ya Rasulullah?”. Rasulullah menjawab, “mereka adalah kaum yang datang setelahku. Mereka tidak pernah berjumpa denganku. Mereka tidak pernah melihatku. Tetapi ketika mereka menemukan Alquran terbuka di hadapan mereka, mereka lalu mencintaiku. Mereka mencintaiku sedemikian besarnya sehingga sekiranya mereka harus mengorbankan seluruh hartanya agar bisa menemuiku, mereka akan merelakan seluruh hartanya itu.”
Demikian penjelasan al-Suyuthi tentang siapa yang beriman kepada yang gaib.
Masih di dalam kitab al-Durr al-Mantsur, Imam al-Suyuthi mengutip riwayat dimana Rasulullah Saw mengatakan, “berbahagialah ikhwani, saudara-saudaraku”. Para sahabat bertanya, “apakah kami yang engkau maksud ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “bukan! Kalian adalah sahabat-sahabatku. Saudaraku adalah mereka yang datang setelahku”.
Suatu hari Rasulullah disebutkan pernah berkata, “alangkah rindunya aku untuk berjumpa dengan ikhwani”. Para sahabat menjawab, “bukankah kami ini ikhwanuka?”. “Bukan!” kata Rasulullah. “Kalian ini adalah sahabat-sahabatku. Saudaraku adalah orang yang tidak pernah berjumpa denganku tetapi membenarkanku dan beriman kepadaku”.
***
Ternyata, Rasulullah Saw sudah menduga pertanyaan saya, lalu beliau menyediakan jawabannya. Untung saja ulama-ulama terdahulu mencatatkan jawaban itu sehingga kita bisa menemukannya sekarang.
Saya membuka Tafsir Al-Misbah Quraisy Shihab jilid 1. Ketika menjelaskan ayat ketiga di surah Al-Baqarah, Ustadz Quraisy juga mengatakan bahwa secara bahasa dan makna, pendapat yang mengatakan bahwa hal-hal ghaib di ayat itu adalah termasuk Rasulullah bagi umat Islam yang tidak sempat bertemu dengannya, adalah pendapat yang bisa diterima. Walaupun demikian, Ustadz Quraisy mengatakan bahwa pendapat ini tidak masyhur.
Saya tidak terlalu memikirkan pendapat al-Suyuthi yang mungkin menghubungkan QS al-Baqarah ayat tiga dengan riwayat di atas. Saya hanya ingin menelusuri dan memaknai riwayat yang dikutipnya. Riwayat itu menjawab kegundahan saya.
Tentu, riwayat ini bukan menafikan kemuliaan tiga generasi Islam yang pertama. Riwayat ini justru memperkuat bahwa umat Muhammad mempunyai kesempatan yang sama menjadi yang terbaik. Kemuliaan umat Muhammad, dan juga umat-umat yang lain, seperti kata Allah, adalah ditentukan oleh ketakwaannya; bukan oleh zamannya, sukunya, wilayahnya, atau warna kulitnya. Bukankah ada sekelompok orang di zaman Nabi yang tidak memanfaatkan pertemuannya dengan Nabi? Bukankah pula ada ummat sekarang yang sedemikian kokohnya menjaga risalah Muhammad sehingga merelakan jiwa raganya?
Semoga saja, kita yang membaca tulisan ini, adalah orang-orang yang dirindukan oleh Nabi.
Balikpapan, 16 Agustus 2009; 20:30
Catatan:
Saya ternyata menulis catatan ini menjelang Ramadhan tahun 2009. Bisa ditemukan di link ini juga. Saya menemukan kembali menjelang Ramadhan 2014 ini.