Seorang murid, yang sudah sekian tahun menuntut ilmu tasawwuf, bertanya kepada gurunya, “Guru, anak-anak yang belajar kepada Guru Anu, baru setahun saja, mereka sudah bisa berjalan di atas air. Kami ini bagaimana Guru?” Dengan tenang Sang Guru menjawab, “Anakku, jika kamu pikir bahwa kemuliaan ditunjukkan dengan kemampuan berjalan di atas air, maka dari dulu katak bisa berjalan di atas air.”
Beberapa hari setelah itu, seorang murid bertanya lagi, “Guru, anak-anak yang belajar kepada Ustadz Anu baru beberapa bulan saja mereka sudah bisa terbang di angkasa. Lantas kami ini bisa mendapatkan apa Guru?” Sang Guru kemudian menjawab, “Anakku, jika kamu menganggap bahwa kemuliaan ditunjukkan dengan kesaktian bisa terbang di angkasa, maka dari dulu lalat bisa terbang.” Karena tidak puas, sang penanya melanjutkan, “Lalu apa perwujudan kemuliaan pada seseorang itu Guru?” Sang Guru menjawab, “kemuliaan seseorang bukan terletak pada kemampuannya berjalan di atas air, tidak juga terlihat dari kesaktiannya terbang di udara. Jika hanya itu ukurannya, apa bedanya kita dengan katak dan lalat. Sesungguhnya, kemuliaan seseorang terletak pada sejauh mana dia bisa bermanfaat bagi orang lain.”
Penggalan cerita di atas adalah sebuah kisah nyata dalam sebuah kelompok sufi, ditulis di dalam beberapa kitab. Sang Guru, seorang sufi besar, menekankan kembali puncak kemuliaan manusia. Kita sering menganggap bahwa ciri-ciri kesalehan dan kemuliaan seseorang terlihat dari bekas sujud yang hitam di dahinya, atau dari celananya yang pendek di atas mata kaki, atau karena memakai baju gamis. Kita juga sering juga mengira bahwa kesalehan seseorang bisa diukur dari simbol yang digunakannya: tasbih yang tidak lepas dari tangan, selalu memakai songkok, terlihat banyak melakukan ibadah ritual, bahkan karena kesaktian-kesaktian seseorang yang seorang tukang sihir terlatihpun bisa melakukannya. Bukan itu! Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Hajar al-Asqalani di dalam Nashailul ‘Ibad, Rasulullah Saw menegaskan, “Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Amal yang paling utama adalah memasukkan rasa bahagia pada hati orang yang beriman, mengenyangkan orang yang lapar, melepaskan kesulitan (orang lain) dan membayarkan utang (orang-orang yang kesusahan).”
Sesungguhnya, kita hanya ingin mengulang-ulang, menekankan, menghidupkan pemahaman, bahwa agama ini adalah agama yang berhikmat kepada ummat manusia. Kemuliaan kita bukanlah ditentukan oleh formalitas ritual agama yang kita anut, apatah lagi jika agama itu hanya warisan dari nenek moyang kita. “Tahukah kamu siapa pendusta agama itu? Mereka itu yang menghardik anak yatim, dan tidak memberi makan kepada fakir miskin,” demikian firman Allah di dalam surah al-Ma’un.
Marilah kita menampakkan keberagamaan kita secara nyata seperti tuntunan Rasulullah Saw. Tentu kita tidak bermaksud mengatakan bahwa shalat, puasa, atau ibadah-ibadah lainnya tidak penting. Yang ingin ditekankan adalah, ruh ibadah mahdhah sejatinya menampak di dalam kehidupan sosial kita. Seseorang yang benar-benar beragama adalah dia yang memberikan manfaat bagi sesama. Bahkan, nilai ibadah seseorang bisa dilihat dari kehidupan sosialnya.
Kepada Rasulullah Saw pernah diceritakan tentang seorang perempuan yang rajin salat dan berpuasa. Namun, beliau mengatakan bahwa orang itu akan masuk neraka. Mengapa, karena dia menyakiti tetangganya. Abu Hurairah r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah Saw, "ya Rasulullah, bagaimana jika ada seseorang rajin melakukan salat malam, lalu di siang harinya ia berpuasa, (tetapi) ia menyakiti tetangganya dengan lisannya? Rasulullah Saw menjawab, "Tiada kebaikan padanya dan ia kelak berada di dalam neraka." (HR. Hakim, Ibnu Hibban dan Ahmad).
Demikian pula puasa. Karena itu puasa hendaknya memberikan hikmah yang akan meningkatkan kualitas spiritual seseorang, pada saat yang sama juga memberikan hikmah yang nampak di lingkungan sosial. Bahkan, hikmah sosial itu bukan hanya harus nampak di dalam pergaulan bermasyarakat, tetapi juga ditarik sebagai bagian dari munajat seseorang. Itulah isi dari salah satu doa yang diajarkan Rasulullah Saw untuk dibaca setiap selesai shalat fardhu selama bulan Ramadhan, seperti doa ini:
“Ya Allah, anugrahkanlah kebahagiaan kepada semua penghuni kubur; Ya Allah, cukupkanlah setiap yang fakir; Ya Allah, kenyangkanlah setiap orang yang lapar; Ya Allah, tunaikanlah utang setiap orang yang berutang; Ya Allah, lapangkanlah setiap orang yang kesempitan; Ya Allah, lepaskanlah setiap orang yang terbelenggu; Ya Allah, perbaikilah setiap orang yang berbuat kerusakan atas urusan kaum muslimin; Ya Allah, sembuhkanlah orang-orang yang sedang sakit; Ya Allah, gantikanlah kepapaan kami dengan kecukupan; Ya Allah, ubahlah keadaan kami yang buruk dengan keadaan yang baik; Ya Allah, tunaikanlah utang-utang kami dan cukupkanlah kami dari kemiskinan; Sungguh Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
20 Ramadhan 1428H
Penggalan cerita di atas adalah sebuah kisah nyata dalam sebuah kelompok sufi, ditulis di dalam beberapa kitab. Sang Guru, seorang sufi besar, menekankan kembali puncak kemuliaan manusia. Kita sering menganggap bahwa ciri-ciri kesalehan dan kemuliaan seseorang terlihat dari bekas sujud yang hitam di dahinya, atau dari celananya yang pendek di atas mata kaki, atau karena memakai baju gamis. Kita juga sering juga mengira bahwa kesalehan seseorang bisa diukur dari simbol yang digunakannya: tasbih yang tidak lepas dari tangan, selalu memakai songkok, terlihat banyak melakukan ibadah ritual, bahkan karena kesaktian-kesaktian seseorang yang seorang tukang sihir terlatihpun bisa melakukannya. Bukan itu! Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Hajar al-Asqalani di dalam Nashailul ‘Ibad, Rasulullah Saw menegaskan, “Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Amal yang paling utama adalah memasukkan rasa bahagia pada hati orang yang beriman, mengenyangkan orang yang lapar, melepaskan kesulitan (orang lain) dan membayarkan utang (orang-orang yang kesusahan).”
Sesungguhnya, kita hanya ingin mengulang-ulang, menekankan, menghidupkan pemahaman, bahwa agama ini adalah agama yang berhikmat kepada ummat manusia. Kemuliaan kita bukanlah ditentukan oleh formalitas ritual agama yang kita anut, apatah lagi jika agama itu hanya warisan dari nenek moyang kita. “Tahukah kamu siapa pendusta agama itu? Mereka itu yang menghardik anak yatim, dan tidak memberi makan kepada fakir miskin,” demikian firman Allah di dalam surah al-Ma’un.
Marilah kita menampakkan keberagamaan kita secara nyata seperti tuntunan Rasulullah Saw. Tentu kita tidak bermaksud mengatakan bahwa shalat, puasa, atau ibadah-ibadah lainnya tidak penting. Yang ingin ditekankan adalah, ruh ibadah mahdhah sejatinya menampak di dalam kehidupan sosial kita. Seseorang yang benar-benar beragama adalah dia yang memberikan manfaat bagi sesama. Bahkan, nilai ibadah seseorang bisa dilihat dari kehidupan sosialnya.
Kepada Rasulullah Saw pernah diceritakan tentang seorang perempuan yang rajin salat dan berpuasa. Namun, beliau mengatakan bahwa orang itu akan masuk neraka. Mengapa, karena dia menyakiti tetangganya. Abu Hurairah r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah Saw, "ya Rasulullah, bagaimana jika ada seseorang rajin melakukan salat malam, lalu di siang harinya ia berpuasa, (tetapi) ia menyakiti tetangganya dengan lisannya? Rasulullah Saw menjawab, "Tiada kebaikan padanya dan ia kelak berada di dalam neraka." (HR. Hakim, Ibnu Hibban dan Ahmad).
Demikian pula puasa. Karena itu puasa hendaknya memberikan hikmah yang akan meningkatkan kualitas spiritual seseorang, pada saat yang sama juga memberikan hikmah yang nampak di lingkungan sosial. Bahkan, hikmah sosial itu bukan hanya harus nampak di dalam pergaulan bermasyarakat, tetapi juga ditarik sebagai bagian dari munajat seseorang. Itulah isi dari salah satu doa yang diajarkan Rasulullah Saw untuk dibaca setiap selesai shalat fardhu selama bulan Ramadhan, seperti doa ini:
“Ya Allah, anugrahkanlah kebahagiaan kepada semua penghuni kubur; Ya Allah, cukupkanlah setiap yang fakir; Ya Allah, kenyangkanlah setiap orang yang lapar; Ya Allah, tunaikanlah utang setiap orang yang berutang; Ya Allah, lapangkanlah setiap orang yang kesempitan; Ya Allah, lepaskanlah setiap orang yang terbelenggu; Ya Allah, perbaikilah setiap orang yang berbuat kerusakan atas urusan kaum muslimin; Ya Allah, sembuhkanlah orang-orang yang sedang sakit; Ya Allah, gantikanlah kepapaan kami dengan kecukupan; Ya Allah, ubahlah keadaan kami yang buruk dengan keadaan yang baik; Ya Allah, tunaikanlah utang-utang kami dan cukupkanlah kami dari kemiskinan; Sungguh Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
20 Ramadhan 1428H