Membaca tulisan saudara Ilham Kadir (IK), “Proporsional dalam Memuliakan Al-Husein” yang dimuat Tribun Timur Jumat 7 Desember 2012 yang lalu, hemat penulis, memberikan satu perspektif baru dalam pola hubungan mazhab-mazhab Islam. Tulisan ini tidak bermaksud menanggapi tulisan tersebut seperti posisi diametral. Tidak pula menjadi penyempurna, atau penerang. Tapi, meminjam dan memodifikasi istilah saudara IK sendiri, tulisan ini bermaksud “mengalihkan para pembaca ke hal-hal yang lebih rasional dan lebih luhur”.
Semula, ada yang memberikan usulan, agar tulisan saudara IK tersebut ditanggapi dengan menurunkan tulisan yang berjudul “Proporsional dalam Memuliakan Sahabat Nabi”. Ada pula yang mengusulkan agar dua sub judul tulisan saudara IK dibahas dengan memberikan jawaban yang benar menurut mazhab yang dikritiknya. Tidak! Tulisan seperti itu dengan mudah ditemukan di buku-buku dan tulisan-tulisan yang bersebaran di laman-laman maya. Sebagaimana yang dimaksudkan oleh Dr. Kamaruddin Amin, jika mau membahas sejarah Islam, kita tidak akan pernah menemukan titik temu jika hanya ingin berdiskusi saja. Tidak akan ada selesainya. Sejarah ditulis sesuai dengan tujuan penulisnya. Jika hanya mau mencari catatan sejarah Syiah yang menyakitkan hati kelompok Sunni, atau catatan sejarah Sunni yang menyakitkan perasaan kelompok Syiah, banyak sekali! Tetapi mengapa tidak mencari ulama di antara kedua kelompok yang berikhtiar lebih luhur untuk persatuan Islam? Mengapa tidak mengikuti ikhtiar tulus mereka demi kejayaan Islam yang menjadi cita-cita bersama untuk menegakkan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta?
Karena itulah penulis menulis tanggapan ini. Ada dua catatan penting saudara IK yang ingin penulis “lanjutkan”.
Pertama, penulis ingin mengelaborasi pernyataan saudara IK bahwa “Peristiwa terbunuhnya al-Husein jika disikapi secara proporsinal, tidaklah melambangkan sebuah pertempuran antara hak dan batil secara mutlak. Bukankah yang dibunuh dan yang membunuh memiliki Syahadat, Nabi, Kitab, dan Kiblat yang sama? Pertempuran ini adalah pertempuran antarsesama Muslim.”
Sejujurnya, penulis tidak sepakat dengan kesimpulan ini. Terlalu disederhanakan dan terkesan didangkalkan. Kita tentu tidak bisa mentolelir pembunuhan terhadap seorang, apalagi sekelompok muslim. Apatah lagi yang dibunuh adalah cucu-cucu terkasih Nabi Saw. Dalam defenisi Sahabat Nabi yang masyhur dan umum, Imam Husain dan beberapa orang yang menyertainya di Karbala, juga adalah sahabat Nabi Saw. Tapi faktanya, mereka dibunuh. Para pembunuhnya bukan hanya membunuh itrah Nabi Saw, tapi mereka juga membunuh sahabat-sahabat Nabi Saw. Allah telah berfirman, “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya” (QS 4:93). Lihat, Allah memurkai pembunuh, mengutuk, mengganjar dengan neraka, dan menyiksanya dengan azab. Lalu kita bagaimana?
Tapi penulis ingin “melupakan” masalah ini untuk tujuan yang lebih luhur. Biarlah urusan para pembunuh itu adalah urusan mereka dengan Allah. Jika mereka bersyahadat seperti Imam Husain, syukurlah. Jika mereka juga mengaku mengikuti Nabi Saw, Alhamdulillah. Jika ternyata mereka berkiblat dan berkitab seperti Imam Husain yang dibunuhnya, ribuan pujian kepada Allah jika demikian adanya. Lalu apa yang harus kita lakukan?
Penulis ingin menegaskan, ada fondasi penting yang harus menjadi basis proporsionalitas menyikapi kaum muslimin lain yang berbeda (mazhab) dengan kita. Seperti yang didengung-dengungkan oleh ulama penggiat dan pencinta taqrib bainal mazhahib dan ittihad Islam, saudara IK menyebutkannya kembali. Seharusnya, ketika terdapat kelompok muslim lain yang berbeda pandangan dengan kita, tetapi mereka memiliki syahadat, Nabi, kiblat dan kitab yang sama dengan kita, maka seharusnya kita harus mampu menempatkan mereka pada posisi yang proporsional. Penulis sejujurnya masih kabur makna proporsional dalam defenisi saudara IK karena sangat bisa jadi pemaknaan kami berdua subjektif. Namun, penulis sangat mendukung sikap toleransi yang dibangun di atas fondasi tersebut di atas. Penulis berpendapat, hubungan Sunni dan Syiah sangat memungkinkan dibangun di atas fondasi ini. Bukankah Sunni dan Syiah punya Nabi, kitab, syahadat, dan kiblat yang sama?
Kedua, penulis ingin menukikkan lebih dalam agar lebih bermakna dalam kehidupan kaum muslimin saat ini, atas ungkapan saudara IK “adalah naif jika kita terus-menerus mengutuk pihak yang bersalah dan berlebih-lebihan dalam memuliakan pihak yang kita anggap benar. Sikap yang bijak adalah mendoakan mereka, seperti Ubaidillah bin Ziyad, Yazid bin Muawiyah dan segenap pasukannya yang telah berbuat zalim terhadap al-Husein karena mereka juga adalah bagian dari umat ini”.
Sekali lagi, penulis sejujurnya tidak terlalu setuju dengan ungkapan ini. Mungkin kalimatnya harus disusun ulang. Kata “berlebih-lebihan” sendiri bisa sangat subjektif. Tuhan sendiri mengutuk pembunuh. Tetapi lupakan ketidaksetujuan itu. Lupakan perbedaan pandangan untuk tujuan yang lebih mulia.
Jika sekiranya saudara IK bisa mengajak kaum muslimin untuk mendoakan para pembunuh Imam Husain as dan sahabat Nabi Saw yang menyertainya, penulis juga ingin mengajak untuk mendoakan seluruh kaum muslimin yang memiliki Nabi, syahadat, kitab dan kiblat yang sama dengan kita. Kaum muslimin yang tidak sepaham dengan kita, tentu bukan untuk dibenci, dicaci maki, diganggu ibadahnya, dirusak kehormatannya, dijarah hartanya, bahkan dibunuh jiwanya. Naudzubillah. Seharusnya, menurut saudara IK, dan ini yang penulis sangat setujui, kita doakan mereka. Jika mereka memang tersalah, seharusnya kita mendoakan mereka agar diberi petunjuk dan maghfirah. Dalam hubungan Sunni Syiah, hemat penulis, pendekatan ini lebih bijak. Mari kita saling mendoakan; saling menunjuki jalan kebenaran melalui dialog dengan santun, bukan dengan kekerasan. Bukankah Sunni dan Syiah adalah bagian dari umat ini?
Terakhir, penulis mengajak untuk bersama-sama menumbuhkan rasa kasih sayang di antara kaum muslimin. Dengan cara itulah kita bisa mendapatkan kekuatan. Dan kekuatan tidak akan pernah tegak di atas kebencian satu sama lain. Allah berpesan, “….. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu…..” (QS Al-Baqarah:216).
Allah Yang Maha Tahu.
Catatan:
Pernah dimuat di Harian Tribun Timur Desember 2012. Dimuat pula di link ini.
Karena itulah penulis menulis tanggapan ini. Ada dua catatan penting saudara IK yang ingin penulis “lanjutkan”.
Pertama, penulis ingin mengelaborasi pernyataan saudara IK bahwa “Peristiwa terbunuhnya al-Husein jika disikapi secara proporsinal, tidaklah melambangkan sebuah pertempuran antara hak dan batil secara mutlak. Bukankah yang dibunuh dan yang membunuh memiliki Syahadat, Nabi, Kitab, dan Kiblat yang sama? Pertempuran ini adalah pertempuran antarsesama Muslim.”
Sejujurnya, penulis tidak sepakat dengan kesimpulan ini. Terlalu disederhanakan dan terkesan didangkalkan. Kita tentu tidak bisa mentolelir pembunuhan terhadap seorang, apalagi sekelompok muslim. Apatah lagi yang dibunuh adalah cucu-cucu terkasih Nabi Saw. Dalam defenisi Sahabat Nabi yang masyhur dan umum, Imam Husain dan beberapa orang yang menyertainya di Karbala, juga adalah sahabat Nabi Saw. Tapi faktanya, mereka dibunuh. Para pembunuhnya bukan hanya membunuh itrah Nabi Saw, tapi mereka juga membunuh sahabat-sahabat Nabi Saw. Allah telah berfirman, “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya” (QS 4:93). Lihat, Allah memurkai pembunuh, mengutuk, mengganjar dengan neraka, dan menyiksanya dengan azab. Lalu kita bagaimana?
Tapi penulis ingin “melupakan” masalah ini untuk tujuan yang lebih luhur. Biarlah urusan para pembunuh itu adalah urusan mereka dengan Allah. Jika mereka bersyahadat seperti Imam Husain, syukurlah. Jika mereka juga mengaku mengikuti Nabi Saw, Alhamdulillah. Jika ternyata mereka berkiblat dan berkitab seperti Imam Husain yang dibunuhnya, ribuan pujian kepada Allah jika demikian adanya. Lalu apa yang harus kita lakukan?
Penulis ingin menegaskan, ada fondasi penting yang harus menjadi basis proporsionalitas menyikapi kaum muslimin lain yang berbeda (mazhab) dengan kita. Seperti yang didengung-dengungkan oleh ulama penggiat dan pencinta taqrib bainal mazhahib dan ittihad Islam, saudara IK menyebutkannya kembali. Seharusnya, ketika terdapat kelompok muslim lain yang berbeda pandangan dengan kita, tetapi mereka memiliki syahadat, Nabi, kiblat dan kitab yang sama dengan kita, maka seharusnya kita harus mampu menempatkan mereka pada posisi yang proporsional. Penulis sejujurnya masih kabur makna proporsional dalam defenisi saudara IK karena sangat bisa jadi pemaknaan kami berdua subjektif. Namun, penulis sangat mendukung sikap toleransi yang dibangun di atas fondasi tersebut di atas. Penulis berpendapat, hubungan Sunni dan Syiah sangat memungkinkan dibangun di atas fondasi ini. Bukankah Sunni dan Syiah punya Nabi, kitab, syahadat, dan kiblat yang sama?
Kedua, penulis ingin menukikkan lebih dalam agar lebih bermakna dalam kehidupan kaum muslimin saat ini, atas ungkapan saudara IK “adalah naif jika kita terus-menerus mengutuk pihak yang bersalah dan berlebih-lebihan dalam memuliakan pihak yang kita anggap benar. Sikap yang bijak adalah mendoakan mereka, seperti Ubaidillah bin Ziyad, Yazid bin Muawiyah dan segenap pasukannya yang telah berbuat zalim terhadap al-Husein karena mereka juga adalah bagian dari umat ini”.
Sekali lagi, penulis sejujurnya tidak terlalu setuju dengan ungkapan ini. Mungkin kalimatnya harus disusun ulang. Kata “berlebih-lebihan” sendiri bisa sangat subjektif. Tuhan sendiri mengutuk pembunuh. Tetapi lupakan ketidaksetujuan itu. Lupakan perbedaan pandangan untuk tujuan yang lebih mulia.
Jika sekiranya saudara IK bisa mengajak kaum muslimin untuk mendoakan para pembunuh Imam Husain as dan sahabat Nabi Saw yang menyertainya, penulis juga ingin mengajak untuk mendoakan seluruh kaum muslimin yang memiliki Nabi, syahadat, kitab dan kiblat yang sama dengan kita. Kaum muslimin yang tidak sepaham dengan kita, tentu bukan untuk dibenci, dicaci maki, diganggu ibadahnya, dirusak kehormatannya, dijarah hartanya, bahkan dibunuh jiwanya. Naudzubillah. Seharusnya, menurut saudara IK, dan ini yang penulis sangat setujui, kita doakan mereka. Jika mereka memang tersalah, seharusnya kita mendoakan mereka agar diberi petunjuk dan maghfirah. Dalam hubungan Sunni Syiah, hemat penulis, pendekatan ini lebih bijak. Mari kita saling mendoakan; saling menunjuki jalan kebenaran melalui dialog dengan santun, bukan dengan kekerasan. Bukankah Sunni dan Syiah adalah bagian dari umat ini?
Terakhir, penulis mengajak untuk bersama-sama menumbuhkan rasa kasih sayang di antara kaum muslimin. Dengan cara itulah kita bisa mendapatkan kekuatan. Dan kekuatan tidak akan pernah tegak di atas kebencian satu sama lain. Allah berpesan, “….. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu…..” (QS Al-Baqarah:216).
Allah Yang Maha Tahu.
Catatan:
Pernah dimuat di Harian Tribun Timur Desember 2012. Dimuat pula di link ini.