Cerita ini mengingatkan saya kepada Bapak almarhum. Di usianya yang tidak kuat lagi, di atas 70 tahun saat saya mulai kuliah tahun 1992, beliau bekerja keras, bahkan terlalu keras menurut saya. Beliau seorang petani. Saat itu beliau memaksakan bekerja hanya untuk satu tujuan, agar saya bisa sekolah baik-baik, satu-satunya anaknya yang masih dan bisa bersekolah. Karena keringat beliau lah, saya bisa seperti sekarang. Semoga Allah memberinya tempat yang lapang di sisiNya.
Cerita ini adalah pengalaman Bapak Prof Dr Ravik Karsidi, Rektor UNS. Dalam salah satu perjalanan dari Yogya ke Jakarta, sambil menunggu pesawat, beliau menunggu di HB Cafetaria bandara Adisucipto sambil minum kopi. Saat itu, di depan beliau duduk seorang ibu yang sudah agak tua, memakai pakaian Jawa tradisional, kain batik dan kebaya. Ibu itu duduk dengan wajah tenang dan memancarkan wajah keibuan.
Dari situlah, sang rektor mengajak ibu itu bercakap-cakap, dalam bahasa Jawa. Beliau menceritakannya dalam tulisan di bawah ini.
"Badhe tindak Jakarta, Bu". (Mau pergi ke Jakarta Bu?)
"Inggih nak, namung transit ing Cengkareng lajeng dhateng Singapura."
(Iya nak, hanya transit di cengkareng terus ke Singapura)
"Menawi kepareng nyuwun pirsa, kagungan perlu menapa ibu tindak Singapura ?"
(Kalau boleh, mau bertanya, ada keperluan apa ibu pergi ke Singapura ?)
"Tuwi anak kula ingkang nomer kalih Nak. Semahipun nglairaken wonten ngrika lajeng kula dipun kintuni tiket lan dipun urusaken paspor langkung Biro Perjalanan. Dados kula kantun mangkat boten sisah repot ngurus menapa-menapa".
(Menengok anak saya yang nomor dua nak, istrinya melahirkan di sana terus saya diberi tiket dan diuruskan paspor melalui biro perjalanan. Jadi saya tinggal berangkat tanpa susah mengurus apa-apa)
"Ingkang putra ngasta wonten pundi Bu ?"
(Puteranya kerja dimana, bu ?)
"Anak kula menika Insinyur Perminyakan, nyambut damel wonten Perusahaan Minyak Asing, samenika dados Kepala Kantor Cabang Singapura."
(Anak saya ini insinyur perminyakan, kerja di perusahaan minyak asing, sekarang jadi kepala kantor cabang Singapura)
"Putra sedaya pinten, Bu ?"
(Berapa anak ibu semuanya?)
"Anak kula sekawan Nak, jaler tiga, estri setunggal. Menika wau anak kula nomer kalih. Ingkang nomer tiga ugi jaler, Dosen Fakultas Ekonomi Gadjah Mada, samenika saweg mendhet Program Doktor wonten Amerika. Ingkang ragil estri, dados dokter spesialis. Anak, semahipun ugi dokter Ahli Bedah lan dosen wonten Fakultas Kedokteran Airlangga Surabaya."
(Anak saya ada 4 nak, 3 laki-laki, 1 perempuan. Yang ini tadi anak nomor 2. Yang nomor 3 juga laki-laki, dosen fakultas ekonomi UGM, sekarang lagi ambil program doktor di Amerika. Yang bungsu perempuan jadi dokter spesialis anak. Suaminya juga dokter, ahli bedah dan dosen di Universitas Airlangga Surabaya)
"Menawi putra mbajeng.?"
(Kalau anak sulung?)
"Piyambakipun tani, Nak. Manggen ing Godean nggarap sabin tilaranipun swargi bapakipun".
(Dia petani, Nak. Tinggal di Godean, menggarap sawah warisan almarhum bapaknya).
Saya tertegun sejenak lalu dengan hati-hati saya bertanya,
"Temtunipun Ibu kuciwa kaliyan putra mbajeng nggih Bu. Kok boten sarjana kados rayi-rayinipun."
(Tentunya ibu kecewa kepada anak sulung ya bu. Kok tidak sarjana seperti adik-adiknya).
"Babarpisan boten, Nak. Kita sedaya malah ngurmati piyambakipun. Kanthi kasil saking sawahipun, piyambakipun ngragadi gesang kita sakulawarga lan nyekolahaken rayi-rayinipun sedaya ngantos rampung sarjana".
(Sama sekali tidak, nak. Malahan kami sekeluarga semuanya hormat kepada dia. Dari hasil sawahnya dia membiayai hidup kami dan menyekolahkan semua adik-adiknya sampai selesai jadi sarjana)
Saya merenung :
"Ternyata yang penting bukan Apa atau Siapa kita, tetapi apa yang telah kita perbuat".
Allah tidak akan menilai apa dan siapa kita tetapi apa "amal-ibadah" kita.
Tanpa terasa air mata mengalir di pipiku...
Catatan:
Mohon maaf untuk yang tidak mengerti bahasa Jawa, dialog dalam kisah diatas saya tulis apa adanya.
Dari situlah, sang rektor mengajak ibu itu bercakap-cakap, dalam bahasa Jawa. Beliau menceritakannya dalam tulisan di bawah ini.
"Badhe tindak Jakarta, Bu". (Mau pergi ke Jakarta Bu?)
"Inggih nak, namung transit ing Cengkareng lajeng dhateng Singapura."
(Iya nak, hanya transit di cengkareng terus ke Singapura)
"Menawi kepareng nyuwun pirsa, kagungan perlu menapa ibu tindak Singapura ?"
(Kalau boleh, mau bertanya, ada keperluan apa ibu pergi ke Singapura ?)
"Tuwi anak kula ingkang nomer kalih Nak. Semahipun nglairaken wonten ngrika lajeng kula dipun kintuni tiket lan dipun urusaken paspor langkung Biro Perjalanan. Dados kula kantun mangkat boten sisah repot ngurus menapa-menapa".
(Menengok anak saya yang nomor dua nak, istrinya melahirkan di sana terus saya diberi tiket dan diuruskan paspor melalui biro perjalanan. Jadi saya tinggal berangkat tanpa susah mengurus apa-apa)
"Ingkang putra ngasta wonten pundi Bu ?"
(Puteranya kerja dimana, bu ?)
"Anak kula menika Insinyur Perminyakan, nyambut damel wonten Perusahaan Minyak Asing, samenika dados Kepala Kantor Cabang Singapura."
(Anak saya ini insinyur perminyakan, kerja di perusahaan minyak asing, sekarang jadi kepala kantor cabang Singapura)
"Putra sedaya pinten, Bu ?"
(Berapa anak ibu semuanya?)
"Anak kula sekawan Nak, jaler tiga, estri setunggal. Menika wau anak kula nomer kalih. Ingkang nomer tiga ugi jaler, Dosen Fakultas Ekonomi Gadjah Mada, samenika saweg mendhet Program Doktor wonten Amerika. Ingkang ragil estri, dados dokter spesialis. Anak, semahipun ugi dokter Ahli Bedah lan dosen wonten Fakultas Kedokteran Airlangga Surabaya."
(Anak saya ada 4 nak, 3 laki-laki, 1 perempuan. Yang ini tadi anak nomor 2. Yang nomor 3 juga laki-laki, dosen fakultas ekonomi UGM, sekarang lagi ambil program doktor di Amerika. Yang bungsu perempuan jadi dokter spesialis anak. Suaminya juga dokter, ahli bedah dan dosen di Universitas Airlangga Surabaya)
"Menawi putra mbajeng.?"
(Kalau anak sulung?)
"Piyambakipun tani, Nak. Manggen ing Godean nggarap sabin tilaranipun swargi bapakipun".
(Dia petani, Nak. Tinggal di Godean, menggarap sawah warisan almarhum bapaknya).
Saya tertegun sejenak lalu dengan hati-hati saya bertanya,
"Temtunipun Ibu kuciwa kaliyan putra mbajeng nggih Bu. Kok boten sarjana kados rayi-rayinipun."
(Tentunya ibu kecewa kepada anak sulung ya bu. Kok tidak sarjana seperti adik-adiknya).
"Babarpisan boten, Nak. Kita sedaya malah ngurmati piyambakipun. Kanthi kasil saking sawahipun, piyambakipun ngragadi gesang kita sakulawarga lan nyekolahaken rayi-rayinipun sedaya ngantos rampung sarjana".
(Sama sekali tidak, nak. Malahan kami sekeluarga semuanya hormat kepada dia. Dari hasil sawahnya dia membiayai hidup kami dan menyekolahkan semua adik-adiknya sampai selesai jadi sarjana)
Saya merenung :
"Ternyata yang penting bukan Apa atau Siapa kita, tetapi apa yang telah kita perbuat".
Allah tidak akan menilai apa dan siapa kita tetapi apa "amal-ibadah" kita.
Tanpa terasa air mata mengalir di pipiku...
Catatan:
Mohon maaf untuk yang tidak mengerti bahasa Jawa, dialog dalam kisah diatas saya tulis apa adanya.