Ust Miftah Fauzi Rakhmat
Joedir Belmont tak mengira sesuatu yang ditunggunya hadir begitu lama. Bahkan pada saat ia sudah melupakannya, ketika ia sudah tak lagi memikirkannya. Warga Brazil ini berkesempatan untuk menghadiri final Piala Dunia 2014 di Maracana. Yang menarik, tiket yang ia gunakan berusia lebih dari setengah abad.
Joedir Belmont tak mengira sesuatu yang ditunggunya hadir begitu lama. Bahkan pada saat ia sudah melupakannya, ketika ia sudah tak lagi memikirkannya. Warga Brazil ini berkesempatan untuk menghadiri final Piala Dunia 2014 di Maracana. Yang menarik, tiket yang ia gunakan berusia lebih dari setengah abad.
Enampuluh empat tahun yang lalu, saat masih berusia 21 tahun, Belmont membeli tiket final 1950. Karena satu hal, pertandingan yang dimenangkan Uruguay itu tak dapat dihadirinya, tak dapat disaksikannya. Brazil sebagai tuan rumah, kalah 1 - 2 dari tamunya. Belmont menyimpan tiket itu lebih dari enampuluh tahun lamanya.
Kini, ketika Piala Dunia kembali digelar di negerinya dan FIFA berniat untuk membuka museum sejarah sepakbola, Belmont mengirim tiket itu sebagai sumbangan untuk museum. FIFA menyambutnya bahagia. Ia menjadi bagian dari sejarah sepak bola. FIFA mengundangnya ke final bersama keluarganya ke tempat yang sama yang dahulu tak dapat disaksikannya. Tentu Macarana sudah berubah, jauh lebih besar, lebih indah. Ia tidak tahu apakah Brazil akan sampai ke final tahun ini. Tapi ia sudah bahagia, kesabarannya mendatangkan buah yang sama sekali tak dikiranya.
Belmont mengajarkan pada kita makna kesabaran. Musibah boleh terjadi, tapi tiket dalam genggaman tak pernah hilang arti. Memegang tiket itu adalah kebahagiaan tersendiri. Sabar memang tak ada batasnya. Sabar bukan pada kemampuan. Sabar itu pada kemauan.
Kitab suci mengajarkan agar kita meminta tolong pada Tuhan dengan shalat dan kesabaran. Seorang saleh keturunan keluarga Nabi Saw, Imam Ja'far Shadiq as diriwayatkan berkata, "Sabar dalam ayat itu adalah puasa." Itulah maknanya bahwa "Puasa itu untukKu," hadis qudsi Tuhan, "dan Aku yang akan mengganjarnya." Saat kita bersabar, diri dan seluruh kepasrahan kita milik Tuhan. Dialah yang akan membalas dengan sebaik-baiknya pemberian.
Bukankah ada tiga kelompok yang menyesal karena doa, dan satu di antaranya berkaitan dengan kesabaran. Pertama, kelompok yang menyesal karena sedikit berdoa. Kelak ia mengetahui bahwa setiap pinta dijawab Tuhan, bahkan setiap kata dipenuhiNya. Ini janji Sang Pencipta untuk hambaNya. Kedua, orang menyesal karena doanya hanya untuk dirinya, tak banyak untuk yang lainnya. Padahal doa itu, "tetangga baru rumah sendiri." Seperti yang dilakukan Sayyidah Fathimah sa, seperti yang dikisahkan tentang doa seribu malaikat untuk pendoa sesamanya.
Mengapa berat berdoa berlama-lama? Mengapa tak nyaman banyak mendoakan sesama? Karena keduanya membutuhkan kesabaran. Dan inilah kelompok ketiga yang menyesal karena doa. Ia diuji dengan cobaan, kemudian ia bersabar. Di tengah jalan, ia tak sanggup bertahan. Ia berdoa memohon agar musibahnya dihentikan. Tuhan penuhi. Kelak ia menyesal, manakala melihat pahala yang diberikan karena kesabaran, pahala tanpa perhitungan penuh dengan keindahan.
Usia Belmont jauh dari muda. Delapanpuluh lima kini. Ia mungkin tidak akan menyebut apa yang dilakukannya sebagai kesabaran. Ia memilih melupakannya dan menggantung tiket itu sebagai kenangan kebaikan yang dilewatkannya. Ia memilih melihat sisi baik dari kesempatan besar yang lepas dari tangannya.
Dan inilah sebenarnya hakikat kesabaran. Sabar bukan berarti diam tak bergerak. Sabar tak bermakna pasrah dan menyerah. Sabar adalah sebuah akumulasi dari kerja mental, berasal dari tekad yang paling dalam, yang dapat mengendalikan pikiran, mengatur seluruh gerak anggota badan. Sabar adalah sebuah pilihan dalam kesadaran. Sabar artinya senantiasa bersangka baik pada Tuhan.
Confucius berkata, "Tak peduli seberapa lambat kau berjalan, selama kau tak berhenti dan tetap melangkah ke depan." Inilah kesabaran.
Seperti kisah seorang yang bermimpi untuk naik ke puncak bukit, karena di bawah batu karang di atas sana, tersembunyi harta tak ternilai harganya. Esok paginya, ia naik. Tapi terlalu lelah untuk sampai. Ia kembali. Hari berikutnya ia berangkat kembali, sampai ke puncak, tapi tak sanggup menggerakkan batu. Begitu berulang berhari-hari. Hingga akhirnya saat itu tiba. Kakinya kokoh karena naik turun berkali-kali. Kulitnya legam terbakar matahari. Tangannya kuat mengepal jari-jari.
Ia dorong batu besar itu. And, to his surprise…ia tak menemukan apa-apa di bawahnya. Penuh perasaan sedih dan kecewa, ia pulang ke rumahnya.
Tertidur, ia bermimpi melihat orang yang sama yang memberitahunya harta karun di balik batu. Ia ceritakan apa yang sudah dilakukannya. Orang itu berkata, "Harta karun sesungguhnya adalah kekuatanmu. Bukankah sekarang kakimu sudah kokoh, tulangmu sudah kuat, tekadmu tak terkalahkan. Itulah harta karun yang sebenarnya." Nikmat kesabaran bukan saja pada apa yang dinanti. Nikmat itu juga datang pada saat menanti. Kesabaran adalah menjalani penantian itu sendiri.
Belmont juga mengajarkan pada kita doa yang diajarkan keluarga Nabi Saw, memohon agar dikaruniakan anugerah terbesar di saat akhir kehidupan. Saat tubuh melemah, peluang menyempit, dan kesempatan sedikit. "Tuhanku, jadikan rezekiMu yang paling luas untukku pada saat-saat akhir hidupku."
Bayangkan saat terbaik menghampiri kita di ujung kehidupan. Rasakan kebahagiaan terindah menyertai usia tua kita. Buah dari kesabaran memang takkan cepat dipetik. Berkhidmat adalah seni ilahiah. Menunggu yang kedua. Keduanya memerlukan kesabaran.
Bulan suci mengajarkan kita kesabaran, bukan sekadar menjaga diri dari segala goda atau menanti saat untuk berbuka--dan betapa nikmatnya berbuka itu--tapi juga mengajarkan kita cara menanti. Kenikmatan bukan hanya hasil, tapi pada cara dan waktu menjalani.
Saya tidak tahu apakah Belmont akan sampai pada mimpinya: melihat Brazil juara di negeri sendiri. Tapi di Maracana, enampuluh empat tahun yang lalu, ia mungkin tak pernah berpikir bahwa Tuhan akan memberinya usia yang panjang. Siapa yang tahu, bahwa tiket yang ia genggam bukan sekadar tiket pertandingan sepak bola, tapi pertandingan kehidupan. Yang ia pegang adalah tiket kehidupan.
Betapa banyak "tiket" kehidupan kita hilang dari genggaman. Merenunglah di bulan suci ini, dan manfaatkan tiket yang Tuhan berikan setiap hari.
"Life is like a box of chocolates. You'll never know what you're gonna get," kata seorang Forrest Gump dalam film yang mengharu biru itu. Hidup memang seperti sekotak coklat beragam rasa. Kau takkan pernah tahu rasa apa yang akan kau terima.
Life is your ticket. And the holy month is your golden one. Your love for the truly beloved is the most precious one.
(Miftah F. Rakhmat)
Selamat Milad ke XIV Bahteraku. Selamat bersabar menanti wajah kasih itu…
Kini, ketika Piala Dunia kembali digelar di negerinya dan FIFA berniat untuk membuka museum sejarah sepakbola, Belmont mengirim tiket itu sebagai sumbangan untuk museum. FIFA menyambutnya bahagia. Ia menjadi bagian dari sejarah sepak bola. FIFA mengundangnya ke final bersama keluarganya ke tempat yang sama yang dahulu tak dapat disaksikannya. Tentu Macarana sudah berubah, jauh lebih besar, lebih indah. Ia tidak tahu apakah Brazil akan sampai ke final tahun ini. Tapi ia sudah bahagia, kesabarannya mendatangkan buah yang sama sekali tak dikiranya.
Belmont mengajarkan pada kita makna kesabaran. Musibah boleh terjadi, tapi tiket dalam genggaman tak pernah hilang arti. Memegang tiket itu adalah kebahagiaan tersendiri. Sabar memang tak ada batasnya. Sabar bukan pada kemampuan. Sabar itu pada kemauan.
Kitab suci mengajarkan agar kita meminta tolong pada Tuhan dengan shalat dan kesabaran. Seorang saleh keturunan keluarga Nabi Saw, Imam Ja'far Shadiq as diriwayatkan berkata, "Sabar dalam ayat itu adalah puasa." Itulah maknanya bahwa "Puasa itu untukKu," hadis qudsi Tuhan, "dan Aku yang akan mengganjarnya." Saat kita bersabar, diri dan seluruh kepasrahan kita milik Tuhan. Dialah yang akan membalas dengan sebaik-baiknya pemberian.
Bukankah ada tiga kelompok yang menyesal karena doa, dan satu di antaranya berkaitan dengan kesabaran. Pertama, kelompok yang menyesal karena sedikit berdoa. Kelak ia mengetahui bahwa setiap pinta dijawab Tuhan, bahkan setiap kata dipenuhiNya. Ini janji Sang Pencipta untuk hambaNya. Kedua, orang menyesal karena doanya hanya untuk dirinya, tak banyak untuk yang lainnya. Padahal doa itu, "tetangga baru rumah sendiri." Seperti yang dilakukan Sayyidah Fathimah sa, seperti yang dikisahkan tentang doa seribu malaikat untuk pendoa sesamanya.
Mengapa berat berdoa berlama-lama? Mengapa tak nyaman banyak mendoakan sesama? Karena keduanya membutuhkan kesabaran. Dan inilah kelompok ketiga yang menyesal karena doa. Ia diuji dengan cobaan, kemudian ia bersabar. Di tengah jalan, ia tak sanggup bertahan. Ia berdoa memohon agar musibahnya dihentikan. Tuhan penuhi. Kelak ia menyesal, manakala melihat pahala yang diberikan karena kesabaran, pahala tanpa perhitungan penuh dengan keindahan.
Usia Belmont jauh dari muda. Delapanpuluh lima kini. Ia mungkin tidak akan menyebut apa yang dilakukannya sebagai kesabaran. Ia memilih melupakannya dan menggantung tiket itu sebagai kenangan kebaikan yang dilewatkannya. Ia memilih melihat sisi baik dari kesempatan besar yang lepas dari tangannya.
Dan inilah sebenarnya hakikat kesabaran. Sabar bukan berarti diam tak bergerak. Sabar tak bermakna pasrah dan menyerah. Sabar adalah sebuah akumulasi dari kerja mental, berasal dari tekad yang paling dalam, yang dapat mengendalikan pikiran, mengatur seluruh gerak anggota badan. Sabar adalah sebuah pilihan dalam kesadaran. Sabar artinya senantiasa bersangka baik pada Tuhan.
Confucius berkata, "Tak peduli seberapa lambat kau berjalan, selama kau tak berhenti dan tetap melangkah ke depan." Inilah kesabaran.
Seperti kisah seorang yang bermimpi untuk naik ke puncak bukit, karena di bawah batu karang di atas sana, tersembunyi harta tak ternilai harganya. Esok paginya, ia naik. Tapi terlalu lelah untuk sampai. Ia kembali. Hari berikutnya ia berangkat kembali, sampai ke puncak, tapi tak sanggup menggerakkan batu. Begitu berulang berhari-hari. Hingga akhirnya saat itu tiba. Kakinya kokoh karena naik turun berkali-kali. Kulitnya legam terbakar matahari. Tangannya kuat mengepal jari-jari.
Ia dorong batu besar itu. And, to his surprise…ia tak menemukan apa-apa di bawahnya. Penuh perasaan sedih dan kecewa, ia pulang ke rumahnya.
Tertidur, ia bermimpi melihat orang yang sama yang memberitahunya harta karun di balik batu. Ia ceritakan apa yang sudah dilakukannya. Orang itu berkata, "Harta karun sesungguhnya adalah kekuatanmu. Bukankah sekarang kakimu sudah kokoh, tulangmu sudah kuat, tekadmu tak terkalahkan. Itulah harta karun yang sebenarnya." Nikmat kesabaran bukan saja pada apa yang dinanti. Nikmat itu juga datang pada saat menanti. Kesabaran adalah menjalani penantian itu sendiri.
Belmont juga mengajarkan pada kita doa yang diajarkan keluarga Nabi Saw, memohon agar dikaruniakan anugerah terbesar di saat akhir kehidupan. Saat tubuh melemah, peluang menyempit, dan kesempatan sedikit. "Tuhanku, jadikan rezekiMu yang paling luas untukku pada saat-saat akhir hidupku."
Bayangkan saat terbaik menghampiri kita di ujung kehidupan. Rasakan kebahagiaan terindah menyertai usia tua kita. Buah dari kesabaran memang takkan cepat dipetik. Berkhidmat adalah seni ilahiah. Menunggu yang kedua. Keduanya memerlukan kesabaran.
Bulan suci mengajarkan kita kesabaran, bukan sekadar menjaga diri dari segala goda atau menanti saat untuk berbuka--dan betapa nikmatnya berbuka itu--tapi juga mengajarkan kita cara menanti. Kenikmatan bukan hanya hasil, tapi pada cara dan waktu menjalani.
Saya tidak tahu apakah Belmont akan sampai pada mimpinya: melihat Brazil juara di negeri sendiri. Tapi di Maracana, enampuluh empat tahun yang lalu, ia mungkin tak pernah berpikir bahwa Tuhan akan memberinya usia yang panjang. Siapa yang tahu, bahwa tiket yang ia genggam bukan sekadar tiket pertandingan sepak bola, tapi pertandingan kehidupan. Yang ia pegang adalah tiket kehidupan.
Betapa banyak "tiket" kehidupan kita hilang dari genggaman. Merenunglah di bulan suci ini, dan manfaatkan tiket yang Tuhan berikan setiap hari.
"Life is like a box of chocolates. You'll never know what you're gonna get," kata seorang Forrest Gump dalam film yang mengharu biru itu. Hidup memang seperti sekotak coklat beragam rasa. Kau takkan pernah tahu rasa apa yang akan kau terima.
Life is your ticket. And the holy month is your golden one. Your love for the truly beloved is the most precious one.
(Miftah F. Rakhmat)
Selamat Milad ke XIV Bahteraku. Selamat bersabar menanti wajah kasih itu…