Syafiq Basri
Inilah hari-hari berduka keluarga Nabi SAW. Mulai 19 hingga 21 Ramadhan merupakan puncak kepedihan mereka, saat bumi bergetar dan lelangit kelam, mengiringi kepergian syahidnya salah seorang manusia yang paling berpengaruh dalam sejarah Islam.
Inilah hari-hari berduka keluarga Nabi SAW. Mulai 19 hingga 21 Ramadhan merupakan puncak kepedihan mereka, saat bumi bergetar dan lelangit kelam, mengiringi kepergian syahidnya salah seorang manusia yang paling berpengaruh dalam sejarah Islam.
Ia orang yang dikenal karena kesederhanaannya, keagungannya, kearifannya, keberaniannya, kepandaiannya, kecerdasannya,kepribadiannya, dan kepemimpinannya.
Setelah Nabi SAW, tiada orang yang bisa menandingi ibadahnya. Dia lelaki yang paling dicintai Rasul saw, yang menyatakan bahwa perumpamaan dia terhadap Rasul saw sama ‘seperti Harun as terhadap Musa as’. Ia sahabat, keluarga, saudara, dan pembela sang Nabi SAW.
Dialah satu-satunya orang yang dilahirkan di tempat yang paling suci, Ka’bah. Tapi salah seorang penulis wahyu (Al-Qur’an) itu juga korban dari fitnah yang paling buruk.
Tidak ada orang dalam sejarah Islam yang menjadi sasaran kedengkian dan fitnah begitu buruk seperti yang dialami lelaki itu. Para pendengki berusaha menghapuskan nama manusia besar ini dari lembaran-lembaran sejarah.
Dialah Ali, yang dipanggil ibunya dengan nama “Haydar”, dan dikenal sebagai Al-Murthada.
Oleh para sahabat Nabi saw seperti Abubakar, Umar dan Usman (3 khalifah sebelum dirinya), pendekar ilmunya Nabi itu dipanggil dengan sebutan “Abu Hasan” (ayah Hasan, salah satu dari dua cucu laki2 Nabi saw). Para khalifah sebelum beliau itu sering meminta saran-saran sang begawan ilmu-nya Nabi saw.
Sebagai khalifah (ke-4) penerus Nabi saw, anehnya beliau malah sempat dikutuk di mimbar2 Jum’at selama 60 tahun (pada periode Bani Umayah, sampai masa Umar bin Abdulaziz yang kemudian menghentikan perbuatan tercela itu).
Orang merampas kepemimpinannya, dan lebih suka mengambil (riwayat) hadis dari para pembenci beliau (padahal ia mata-air tersuci rujukan hadis Nabi SAW).
Tapi mereka para penghasut, dan pembenci (yang haus kekuasaan) itu tak berhasil membungkam kebenaran yang dibawa Ali, dan gagal menghambat penyebaran cahaya kebijakannya yg disebarluaskan oleh para pecinta keadilan dari umat Muhammad saw.
Kini kita berdiri di mimbar-mimbar, membicarakannya, membaca bukunya dan menjadikannya keteladanan setelah Nabi saw. Sekarang namanya terbang tinggi. Para pengikutnya meneriakan nama beliau (as) dengan bangga dan tanpa rasa takut. Kini khutbah2 beliau makin luas tersebar. Kitabnya, ‘Nahjul Balaghah‘ (Puncak Kefasihan) dipakai sebagai rujukan (referensi) ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan (hikmah atau wisdom) di banyak perguruan tinggi ternama di dunia, termasuk di Al-Azhar (Mesir) dan di UIN (IAIN), Indonesia.
Kata Nabi saw: “Jika kalian ingin melihat keluasan ilmu Adam, kesalehan Nuh, kesetiaan Ibrahim, keterpesonaan Musa (saat menyaksikan Allah), pelayanan dan wara’ Isa, maka lihatlah pada wajah Ali.”
Ya, Ali yang disayang Rasul itu berhadapan dengan bayang-bayang kematian saat beliau menginjak usia 63 tahun. Tapi Ali bukan orang yang takut mati. Ayah Hasan, Husain, Zainab dan Ummu Kultsum itu menyambut kematiannya bagai ‘pengantin yang menanti hari pernikahan’. Dengan hati khusyu’ dan penuh keyakinan ia telah menantikan perjumpaan dengan Tambatan Hati-nya, Allah SWT.
Menjelang subuh 19 Ramadhan 40 Hijriah, sesudah sahur di rumah putri bungsunya, Ummu Kultsum, Ali solat di mihrabnya, di Masjid Kufah (Irak sekarang). Saat sujud, kepalanya dihantam pedang Abdurrahman bin Muljam Al-Muradi hingga retak. Darah membanjiri wajah dan janggutnya.
Ia bukan mengaduh, atau mengeluh. Ali justru berseru: “Fuztu Wa Rabb-al Ka’bah! [Beruntunglah daku, Demi Tuhan Pemilik Ka'bah],” katanya.
Sang Putra Ka’bah itu kemudian berpulang sebagai syahid pada 21 Ramadhan 40 H. Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun.
Ali dikagumi dan dihormati bukan saja oleh umat Islam, baik yang bermazhab Sunni atau pun bermazhab Syiah, melainkan juga penganut agama lain, pemikir dan negarawan dunia seperti Washington Irving, Edward Gibbon, Kahlil Gibran dan George Jordac.
Dengarkan apa yang dikatakan George Jordac mengenai beliau.
“Ia manusia besar sepanjang zaman. Ali bin Abithalib bukan hanya putra zaman 1.400 tahun silam. Ia putra zaman kini, dan putra masa depan. Pikiran dan petuah-petuahnya seakan hidup di antara kita sekarang ini,” tulis Jordac dalam bukunya, ‘Suara Keadilan, Sosok Agung Ali bin Abithalib ra.‘
Selanjutnya, Jordac yang dikenal sebagai penulis beragama Nasrani itu mengatakan: “Ali bukan hanya milik satu bangsa atau satu agama. Ia milik semua bangsa, dan semua agama. Milik seluruh masa dan segala tempat. Kepunyaan semua manusia. Seluruh karya, pemikiran, dan kata-katanya adalah ‘madrasah bagi seluruh generasi’. “
Lahir di Ka’bah pada 13 Rajab, 30 tahun setelah Tahun Gajah (sekitar 570 M). Ayah Ali adalah Abuthalib, paman Nabi SAW yang dengan penuh semangat tanpa lelah membela Rasulullah SAW dalam tiap langkah dakwahnya.
Ibu Ali adalah Fatimah binti Asad, yang (bersama suaminya, Abuthalib) berjasa membesarkan Nabi ketika beliau kecil (karena yatim piatu sejak kecil). Belakangan, setelah Abuthalib wafat, Ali muda dipiara Nabi SAW di rumahnya.
Lelaki pertama yang masuk Islam, pembela Nabi SAW sejak remaja, dialah yang menggantikan posisi Nabi SAW di ranjangnya pada malam beliau hijrah ke Madinah. Ia yang dipilih Nabi SAW untuk menikah dengan putri ‘semata wayang’-nya, Siti Fatimah (as) — dan menjadi kakek bagi seluruh keturunan Nabi saw hingga akhir zaman.
Kesyahidan Ali kemudian diikuti kedua putranya, Hasan dan Husain. Imam Hasan (as) syahid akibat diracun oleh kaki tangan Muawiyah (pendiri dinasti Bani Umayyah), sedangkan Imam Husain (as) syahid di Padang Karbala (Irak ) pada tahun 10 Muharam 61 H, dipenggal bala tentara Yazid, sang diktator biadab, putra Muawiyah.
Duka cita bagimu, Wahai Nabi, atas syahidnya pembelamu yang paling utama, penerima wasiatmu. Duka cita bagimu, Wahai Fatimah, putri Rasul, atas syahidnya suami, kekasih hatimu. Duka cita bagimu, Wahai Hasan, Wahai Husain, Wahai Zainab, dan Ummu Kutsum, atas syahidnya ayahanda.
A’dhamAllah ajrokum wa ahsanaa ‘azzaakum.
*) Sumber: Diambil dengan izin dari Majulah-IJABI, diakses tanggal 19 Juli 2014, 21 Ramadhan 1435H, jam 13.45
Setelah Nabi SAW, tiada orang yang bisa menandingi ibadahnya. Dia lelaki yang paling dicintai Rasul saw, yang menyatakan bahwa perumpamaan dia terhadap Rasul saw sama ‘seperti Harun as terhadap Musa as’. Ia sahabat, keluarga, saudara, dan pembela sang Nabi SAW.
Dialah satu-satunya orang yang dilahirkan di tempat yang paling suci, Ka’bah. Tapi salah seorang penulis wahyu (Al-Qur’an) itu juga korban dari fitnah yang paling buruk.
Tidak ada orang dalam sejarah Islam yang menjadi sasaran kedengkian dan fitnah begitu buruk seperti yang dialami lelaki itu. Para pendengki berusaha menghapuskan nama manusia besar ini dari lembaran-lembaran sejarah.
Dialah Ali, yang dipanggil ibunya dengan nama “Haydar”, dan dikenal sebagai Al-Murthada.
Oleh para sahabat Nabi saw seperti Abubakar, Umar dan Usman (3 khalifah sebelum dirinya), pendekar ilmunya Nabi itu dipanggil dengan sebutan “Abu Hasan” (ayah Hasan, salah satu dari dua cucu laki2 Nabi saw). Para khalifah sebelum beliau itu sering meminta saran-saran sang begawan ilmu-nya Nabi saw.
Sebagai khalifah (ke-4) penerus Nabi saw, anehnya beliau malah sempat dikutuk di mimbar2 Jum’at selama 60 tahun (pada periode Bani Umayah, sampai masa Umar bin Abdulaziz yang kemudian menghentikan perbuatan tercela itu).
Orang merampas kepemimpinannya, dan lebih suka mengambil (riwayat) hadis dari para pembenci beliau (padahal ia mata-air tersuci rujukan hadis Nabi SAW).
Tapi mereka para penghasut, dan pembenci (yang haus kekuasaan) itu tak berhasil membungkam kebenaran yang dibawa Ali, dan gagal menghambat penyebaran cahaya kebijakannya yg disebarluaskan oleh para pecinta keadilan dari umat Muhammad saw.
Kini kita berdiri di mimbar-mimbar, membicarakannya, membaca bukunya dan menjadikannya keteladanan setelah Nabi saw. Sekarang namanya terbang tinggi. Para pengikutnya meneriakan nama beliau (as) dengan bangga dan tanpa rasa takut. Kini khutbah2 beliau makin luas tersebar. Kitabnya, ‘Nahjul Balaghah‘ (Puncak Kefasihan) dipakai sebagai rujukan (referensi) ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan (hikmah atau wisdom) di banyak perguruan tinggi ternama di dunia, termasuk di Al-Azhar (Mesir) dan di UIN (IAIN), Indonesia.
Kata Nabi saw: “Jika kalian ingin melihat keluasan ilmu Adam, kesalehan Nuh, kesetiaan Ibrahim, keterpesonaan Musa (saat menyaksikan Allah), pelayanan dan wara’ Isa, maka lihatlah pada wajah Ali.”
Ya, Ali yang disayang Rasul itu berhadapan dengan bayang-bayang kematian saat beliau menginjak usia 63 tahun. Tapi Ali bukan orang yang takut mati. Ayah Hasan, Husain, Zainab dan Ummu Kultsum itu menyambut kematiannya bagai ‘pengantin yang menanti hari pernikahan’. Dengan hati khusyu’ dan penuh keyakinan ia telah menantikan perjumpaan dengan Tambatan Hati-nya, Allah SWT.
Menjelang subuh 19 Ramadhan 40 Hijriah, sesudah sahur di rumah putri bungsunya, Ummu Kultsum, Ali solat di mihrabnya, di Masjid Kufah (Irak sekarang). Saat sujud, kepalanya dihantam pedang Abdurrahman bin Muljam Al-Muradi hingga retak. Darah membanjiri wajah dan janggutnya.
Ia bukan mengaduh, atau mengeluh. Ali justru berseru: “Fuztu Wa Rabb-al Ka’bah! [Beruntunglah daku, Demi Tuhan Pemilik Ka'bah],” katanya.
Sang Putra Ka’bah itu kemudian berpulang sebagai syahid pada 21 Ramadhan 40 H. Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun.
Ali dikagumi dan dihormati bukan saja oleh umat Islam, baik yang bermazhab Sunni atau pun bermazhab Syiah, melainkan juga penganut agama lain, pemikir dan negarawan dunia seperti Washington Irving, Edward Gibbon, Kahlil Gibran dan George Jordac.
Dengarkan apa yang dikatakan George Jordac mengenai beliau.
“Ia manusia besar sepanjang zaman. Ali bin Abithalib bukan hanya putra zaman 1.400 tahun silam. Ia putra zaman kini, dan putra masa depan. Pikiran dan petuah-petuahnya seakan hidup di antara kita sekarang ini,” tulis Jordac dalam bukunya, ‘Suara Keadilan, Sosok Agung Ali bin Abithalib ra.‘
Selanjutnya, Jordac yang dikenal sebagai penulis beragama Nasrani itu mengatakan: “Ali bukan hanya milik satu bangsa atau satu agama. Ia milik semua bangsa, dan semua agama. Milik seluruh masa dan segala tempat. Kepunyaan semua manusia. Seluruh karya, pemikiran, dan kata-katanya adalah ‘madrasah bagi seluruh generasi’. “
Lahir di Ka’bah pada 13 Rajab, 30 tahun setelah Tahun Gajah (sekitar 570 M). Ayah Ali adalah Abuthalib, paman Nabi SAW yang dengan penuh semangat tanpa lelah membela Rasulullah SAW dalam tiap langkah dakwahnya.
Ibu Ali adalah Fatimah binti Asad, yang (bersama suaminya, Abuthalib) berjasa membesarkan Nabi ketika beliau kecil (karena yatim piatu sejak kecil). Belakangan, setelah Abuthalib wafat, Ali muda dipiara Nabi SAW di rumahnya.
Lelaki pertama yang masuk Islam, pembela Nabi SAW sejak remaja, dialah yang menggantikan posisi Nabi SAW di ranjangnya pada malam beliau hijrah ke Madinah. Ia yang dipilih Nabi SAW untuk menikah dengan putri ‘semata wayang’-nya, Siti Fatimah (as) — dan menjadi kakek bagi seluruh keturunan Nabi saw hingga akhir zaman.
Kesyahidan Ali kemudian diikuti kedua putranya, Hasan dan Husain. Imam Hasan (as) syahid akibat diracun oleh kaki tangan Muawiyah (pendiri dinasti Bani Umayyah), sedangkan Imam Husain (as) syahid di Padang Karbala (Irak ) pada tahun 10 Muharam 61 H, dipenggal bala tentara Yazid, sang diktator biadab, putra Muawiyah.
Duka cita bagimu, Wahai Nabi, atas syahidnya pembelamu yang paling utama, penerima wasiatmu. Duka cita bagimu, Wahai Fatimah, putri Rasul, atas syahidnya suami, kekasih hatimu. Duka cita bagimu, Wahai Hasan, Wahai Husain, Wahai Zainab, dan Ummu Kutsum, atas syahidnya ayahanda.
A’dhamAllah ajrokum wa ahsanaa ‘azzaakum.
*) Sumber: Diambil dengan izin dari Majulah-IJABI, diakses tanggal 19 Juli 2014, 21 Ramadhan 1435H, jam 13.45