A.S. Laksana
Pak Amien yang baik, ini kali kedua saya menggunakan kolom ini untuk menulis surat terbuka. Sebelumnya, hampir lima tahun lalu, saya menulis surat terbuka untuk Presiden SBY. Ketika itu Pak SBY baru memulai periode kedua pemerintahannya. Saya pikir memberi saran adalah kewajiban warga negara yang baik, sebab performa presiden kurang menggembirakan dan ia mulai menjadi bahan ledekan.
Pak Amien yang baik, ini kali kedua saya menggunakan kolom ini untuk menulis surat terbuka. Sebelumnya, hampir lima tahun lalu, saya menulis surat terbuka untuk Presiden SBY. Ketika itu Pak SBY baru memulai periode kedua pemerintahannya. Saya pikir memberi saran adalah kewajiban warga negara yang baik, sebab performa presiden kurang menggembirakan dan ia mulai menjadi bahan ledekan.
Hal yang sama sedang terjadi pada anda saat ini: menjadi bahan ledekan. Mula-mula saya mendengar ada satu orang di dalam kerumunan anak-anak muda mengajukan tebakan kepada teman-temannya dan ia menjawab sendiri tebakan itu, “Apa beda Amien Rais dan tahun kabisat? Tahun kabisat muncul empat tahun sekali, Amien Rais setahun lebih lambat, ia muncul lima tahun sekali.” Di media sosial maupun dalam perbincangan sehari-hari, saya sering membaca atau mendengar orang-orang menyebut anda sebagai Sengkuni. Itu seburuk-buruknya watak yang saya kenali dalam dunia pewayangan: ia penghasut, ia licik, ia menumbuh-suburkan watak angkara. Sebagian dari mereka yang meledek anda adalah para pemuda belia yang usianya mungkin belum genap 20 tahun. Saya sedih sekali.
Saya benci mendengar ledekan itu. Kalau menggunakan kata-kata Pak SBY, saya prihatin. Anda adalah orang yang saya hormati—sebagai guru, sebagai orang yang berdiri di baris terdepan reformasi, juga sebagai orang yang pernah memimpin Muhammadiyah, sebuah organisasi yang dibentuk oleh pendirinya dengan tujuan mulia dalam kacamata umat Islam. Di luar semua alasan itu, saya pernah kuliah di Fisipol UGM dan anda adalah dosen di sana. Meskipun anda tidak pernah mengajar saya secara langsung di kelas, saya tetap menghormati anda sebagai guru saya.
Ketika anda terjun aktif di dunia politik, dan ikut mendesak Pak Harto turun, saya bangga. Pak Harto sudah terlalu lama menjadi presiden dan ia sendiri tidak tahu kapan harus turun. Ketika anda menjadi kandidat presiden, 2004, saya memilih anda dan berharap anda menang. Saya benar-benar ingin melihat Indonesia yang berbeda ketika negeri ini dipimpin oleh intelektual, seseorang yang bertahun-tahun bergelut di kampus dan memilih dunia pendidikan sebagai jalan hidup.
Dua tahun sebelum pemilihan, saya bahkan menawarkan sebuah konsep kampanye untuk anda—saya yakin anda tidak ingat, banyak sekali orang yang menemui anda saat itu. Kita bicara di rumah dinas anda sebagai ketua MPR dan pada pertemuan kedua Anda langsung setuju. Mudah sekali berbicara dengan anda, saya pulang dari rumah anda dengan perasaan sangat senang. Namun konsep itu tidak pernah bisa dieksekusi. Saya dan anggota tim sukses yang anda tunjuk untuk menangani program kampanye tersebut tidak pernah mencapai kata sepakat. Sebelum pertemuan berakhir, saya sampaikan kepadanya, “Pak Amien guru saya, konsep ini saya tawarkan karena rasa hormat saya dan dukungan terhadap pencalonannya. Tapi anda memperlakukan saya sebagai pedagang Malioboro.”
Seorang teman menyarankan agar saya menawarkan konsep itu kepada kandidat lain. Saya menolak sarannya.
Pak Amien, hanya sekali itu saya merasa terdorong untuk ikut berkampanye. Pada pemilu berikutnya, saya ingat sejumlah kawan menggalang kampanye aktif agar pasangan Mega-Prabowo jangan sampai menang. Saya merasa biasa-biasa saja saat itu dan yakin bahwa Mega-Prabowo tidak akan menang. Di hari pemilihan, saya datang ke bilik suara agak sore dan memilih kandidat yang saya merasa lebih sreg dibandingkan dua kandidat presiden lainnya. Saya tidak pernah tertarik pada pemilu legislatif. Sejak Gus Dur menyebut DPR sebagai kumpulan anak TK, menurut saya mereka tidak pernah naik kelas hingga sekarang.
Tahun ini kita akan menggelar pemilihan presiden lagi dan saya dicekam perasaan cemas dan marah oleh gencarnya fitnah dan kampanye hitam yang dilancarkan sebagai strategi meraih kemenangan. Mereka bahkan tega menggunakan mulut anak-anak, yang suatu sore berjalan beriringan di depan rumah saya, untuk menyanyikan lagu yang liriknya betul-betul menjijikkan.
Pak Amien, anda jauh lebih tahu dari saya bahwa Islam mengutuk fitnah dan nabi Muhammad mengibaratkan fitnah sebagai malam yang gelap gulita. Itu perumpamaan yang sangat bagus. Dalam kepungan fitnah, kita tak bisa melihat cahaya dan sulit menemukan sesuatu yang bisa dipegang. Saya heran bahwa anda tidak terdorong untuk menghentikan semburan fitnah dan membantu menjadikan situasi lebih terang. Anda justru menambahi kobaran fitnah ini dengan seruan Perang Badar.
Saya Islam sejak kecil karena kedua orang tua saya Islam. Ada sejumlah kasus di dunia fana ini tentang orang-orang yang meninggalkan agama orang tua mereka dan memilih agama baru saat mereka tumbuh dewasa, dengan alasan masing-masing. Namun saya yakin kebanyakan orang lain di negeri ini seperti saya, dalam pengertian bahwa kita tidak bisa memilih siapa ibu yang melahirkan kita, apa suku bangsanya, dan apa agamanya.
Fitnah-fitnah hari ini, yang menggelembungkan isu agama dan ras dan apa saja yang bisa digunakan sebagai alat untuk meraih kekuasaan, saya rasakan tidak saja terlalu keji dan mengerikan, tetapi juga meneror dan memecah belah. Entah seperti apa kadar keislaman saya hari ini, saya tetap berharap bahwa orang-orang, dari latar belakang agama atau etnis atau kelompok apa pun, bisa mempercayai dan ikut merasakan bahwa Islam adalah rahmat bagi semesta. Saya tidak sanggup menyaksikan perangai yang menyebabkan orang berpikir bahwa orang Islam adalah mereka yang menghalalkan cara apa pun untuk berkuasa.
Yang sedang kita hadapi saat ini hanyalah pemilihan presiden, bukan pemilihan panglima perang-perangan atau kapten pertandingan gobak sodor. Ini hanya ikhtiar duniawi untuk mendapatkan orang yang lebih baik dalam memimpin sebuah pemerintahan.
Untuk itu, yang kita perlukan bukanlah mental perang-perangan atau petak umpet sambil melempar sampah, melainkan ajakan untuk meneliti rekam jejak setiap kandidat. Cukup sering saya menyampaikan kepada teman-teman: “Pilihlah orang yang catatan masa lalunya baik, lebih utama adalah orang yang di masa lalu telah melakukan tindakan-tindakan yang berguna bagi kepentingan orang banyak.” Pada seseorang dengan rekam jejak yang baik, anda tahu, kita bisa berharap akan adanya pemerintahan yang mampu memberi kebaikan bagi seluruh warga negara.
Kita semua tahu bahwa, jauh sebelumnya, nama Jokowi terlalu kuat sebagai kandidat dibandingkan nama-nama lain dari partai apa pun. Harus diakui faktanya seperti itu. Cukup sering saya membaca pernyataan-pernyataan negatif anda tentangnya. Namun popularitas dan tingkat elektabilitas gubernur DKI Jakarta ini tetap tak tertandingi. Maka anda pun akhirnya berupaya menjodoh-jodohkan Jokowi dengan Hatta Rajasa. Para pentolan dari partai-partai lain—Golkar, PPP, dan PKS—juga berbuat serupa. Mereka mendekati Jokowi pada awalnya. Saya membaca berita tentang ini semua di media massa.
Kalau akhirnya anda dan kawan-kawan bergandeng tangan dengan Gerindra yang mengusung Prabowo, dan kemudian anda mengatakan Bung Bowo dan Bung Hatta serupa benar dengan Bung Karno dan Bung Hatta, itu hanya langkah politik yang sangat pragmatis. Orang tahu bahwa itu melulu urusan tawar-menawar—gagal dengan satu pihak, lalu terakomodasi oleh pihak yang lain.
Maka, saya tercengang dengan adanya fitnah-fitnah SARA dan pengondisian yang menyesatkan seolah-olah yang sedang berlangsung saat ini adalah perjuangan suci untuk mengibarkan panji-panji agama. Lalu orang-orang dari dua kubu berseteru dalam kegelapan. Saya yakin tidak ada yang ideologis dalam urusan ini. Para politisi kita bukan kumpulan orang-orang yang ideologis. Mereka hanya kawanan yang tergiur oleh kekuasaan, atau setidaknya bisa ikut serta dalam gerbong kekuasaan. Anda sendiri juga pernah mengatakan, demi membuka peluang untuk mendekati kandidat yang semula paling dijagokan, bahwa Jokowi dan Hatta Rajasa seperti Bung Karno dan Bung Hatta.
Sekarang situasi kian panas dan gelap. Beberapa orang berpikir bahwa seusai pemilu pasti terjadi kerusuhan. Saya menolak pikiran seperti itu. Kami punya nalar dan saya yakin seusai pemilu semuanya baik-baik saja—kecuali ada provokasi, kecuali ada yang sengaja mengudak-udak air kolam yang tenang. Rakyat bisa terpancing, anda tahu, tetapi mereka biasanya bukan pihak yang memulai. Jadi kalau sampai kerusuhan itu terjadi, para elite politik, termasuk anda, adalah orang-orang pertama yang patut dipersalahkan.
Saya sudahi surat saya, Pak Amien. Kalaupun anda tidak membaca surat ini, atau membaca namun tidak merasa perlu menganggap penting apa yang saya sampaikan, saya akan baik-baik saja. Memang saya marah pada fitnah-fitnah yang berseliweran, tetapi saya tetap menulis dan menyampaikan pemikiran saya dengan perasaan gembira.
Semoga anda dan keluarga selalu sehat. Salam dari saya, A.S. Laksana. [*]
Sumber: Blog A.S. Laksana (diakses 2 Juli 2014)
Saya benci mendengar ledekan itu. Kalau menggunakan kata-kata Pak SBY, saya prihatin. Anda adalah orang yang saya hormati—sebagai guru, sebagai orang yang berdiri di baris terdepan reformasi, juga sebagai orang yang pernah memimpin Muhammadiyah, sebuah organisasi yang dibentuk oleh pendirinya dengan tujuan mulia dalam kacamata umat Islam. Di luar semua alasan itu, saya pernah kuliah di Fisipol UGM dan anda adalah dosen di sana. Meskipun anda tidak pernah mengajar saya secara langsung di kelas, saya tetap menghormati anda sebagai guru saya.
Ketika anda terjun aktif di dunia politik, dan ikut mendesak Pak Harto turun, saya bangga. Pak Harto sudah terlalu lama menjadi presiden dan ia sendiri tidak tahu kapan harus turun. Ketika anda menjadi kandidat presiden, 2004, saya memilih anda dan berharap anda menang. Saya benar-benar ingin melihat Indonesia yang berbeda ketika negeri ini dipimpin oleh intelektual, seseorang yang bertahun-tahun bergelut di kampus dan memilih dunia pendidikan sebagai jalan hidup.
Dua tahun sebelum pemilihan, saya bahkan menawarkan sebuah konsep kampanye untuk anda—saya yakin anda tidak ingat, banyak sekali orang yang menemui anda saat itu. Kita bicara di rumah dinas anda sebagai ketua MPR dan pada pertemuan kedua Anda langsung setuju. Mudah sekali berbicara dengan anda, saya pulang dari rumah anda dengan perasaan sangat senang. Namun konsep itu tidak pernah bisa dieksekusi. Saya dan anggota tim sukses yang anda tunjuk untuk menangani program kampanye tersebut tidak pernah mencapai kata sepakat. Sebelum pertemuan berakhir, saya sampaikan kepadanya, “Pak Amien guru saya, konsep ini saya tawarkan karena rasa hormat saya dan dukungan terhadap pencalonannya. Tapi anda memperlakukan saya sebagai pedagang Malioboro.”
Seorang teman menyarankan agar saya menawarkan konsep itu kepada kandidat lain. Saya menolak sarannya.
Pak Amien, hanya sekali itu saya merasa terdorong untuk ikut berkampanye. Pada pemilu berikutnya, saya ingat sejumlah kawan menggalang kampanye aktif agar pasangan Mega-Prabowo jangan sampai menang. Saya merasa biasa-biasa saja saat itu dan yakin bahwa Mega-Prabowo tidak akan menang. Di hari pemilihan, saya datang ke bilik suara agak sore dan memilih kandidat yang saya merasa lebih sreg dibandingkan dua kandidat presiden lainnya. Saya tidak pernah tertarik pada pemilu legislatif. Sejak Gus Dur menyebut DPR sebagai kumpulan anak TK, menurut saya mereka tidak pernah naik kelas hingga sekarang.
Tahun ini kita akan menggelar pemilihan presiden lagi dan saya dicekam perasaan cemas dan marah oleh gencarnya fitnah dan kampanye hitam yang dilancarkan sebagai strategi meraih kemenangan. Mereka bahkan tega menggunakan mulut anak-anak, yang suatu sore berjalan beriringan di depan rumah saya, untuk menyanyikan lagu yang liriknya betul-betul menjijikkan.
Pak Amien, anda jauh lebih tahu dari saya bahwa Islam mengutuk fitnah dan nabi Muhammad mengibaratkan fitnah sebagai malam yang gelap gulita. Itu perumpamaan yang sangat bagus. Dalam kepungan fitnah, kita tak bisa melihat cahaya dan sulit menemukan sesuatu yang bisa dipegang. Saya heran bahwa anda tidak terdorong untuk menghentikan semburan fitnah dan membantu menjadikan situasi lebih terang. Anda justru menambahi kobaran fitnah ini dengan seruan Perang Badar.
Saya Islam sejak kecil karena kedua orang tua saya Islam. Ada sejumlah kasus di dunia fana ini tentang orang-orang yang meninggalkan agama orang tua mereka dan memilih agama baru saat mereka tumbuh dewasa, dengan alasan masing-masing. Namun saya yakin kebanyakan orang lain di negeri ini seperti saya, dalam pengertian bahwa kita tidak bisa memilih siapa ibu yang melahirkan kita, apa suku bangsanya, dan apa agamanya.
Fitnah-fitnah hari ini, yang menggelembungkan isu agama dan ras dan apa saja yang bisa digunakan sebagai alat untuk meraih kekuasaan, saya rasakan tidak saja terlalu keji dan mengerikan, tetapi juga meneror dan memecah belah. Entah seperti apa kadar keislaman saya hari ini, saya tetap berharap bahwa orang-orang, dari latar belakang agama atau etnis atau kelompok apa pun, bisa mempercayai dan ikut merasakan bahwa Islam adalah rahmat bagi semesta. Saya tidak sanggup menyaksikan perangai yang menyebabkan orang berpikir bahwa orang Islam adalah mereka yang menghalalkan cara apa pun untuk berkuasa.
Yang sedang kita hadapi saat ini hanyalah pemilihan presiden, bukan pemilihan panglima perang-perangan atau kapten pertandingan gobak sodor. Ini hanya ikhtiar duniawi untuk mendapatkan orang yang lebih baik dalam memimpin sebuah pemerintahan.
Untuk itu, yang kita perlukan bukanlah mental perang-perangan atau petak umpet sambil melempar sampah, melainkan ajakan untuk meneliti rekam jejak setiap kandidat. Cukup sering saya menyampaikan kepada teman-teman: “Pilihlah orang yang catatan masa lalunya baik, lebih utama adalah orang yang di masa lalu telah melakukan tindakan-tindakan yang berguna bagi kepentingan orang banyak.” Pada seseorang dengan rekam jejak yang baik, anda tahu, kita bisa berharap akan adanya pemerintahan yang mampu memberi kebaikan bagi seluruh warga negara.
Kita semua tahu bahwa, jauh sebelumnya, nama Jokowi terlalu kuat sebagai kandidat dibandingkan nama-nama lain dari partai apa pun. Harus diakui faktanya seperti itu. Cukup sering saya membaca pernyataan-pernyataan negatif anda tentangnya. Namun popularitas dan tingkat elektabilitas gubernur DKI Jakarta ini tetap tak tertandingi. Maka anda pun akhirnya berupaya menjodoh-jodohkan Jokowi dengan Hatta Rajasa. Para pentolan dari partai-partai lain—Golkar, PPP, dan PKS—juga berbuat serupa. Mereka mendekati Jokowi pada awalnya. Saya membaca berita tentang ini semua di media massa.
Kalau akhirnya anda dan kawan-kawan bergandeng tangan dengan Gerindra yang mengusung Prabowo, dan kemudian anda mengatakan Bung Bowo dan Bung Hatta serupa benar dengan Bung Karno dan Bung Hatta, itu hanya langkah politik yang sangat pragmatis. Orang tahu bahwa itu melulu urusan tawar-menawar—gagal dengan satu pihak, lalu terakomodasi oleh pihak yang lain.
Maka, saya tercengang dengan adanya fitnah-fitnah SARA dan pengondisian yang menyesatkan seolah-olah yang sedang berlangsung saat ini adalah perjuangan suci untuk mengibarkan panji-panji agama. Lalu orang-orang dari dua kubu berseteru dalam kegelapan. Saya yakin tidak ada yang ideologis dalam urusan ini. Para politisi kita bukan kumpulan orang-orang yang ideologis. Mereka hanya kawanan yang tergiur oleh kekuasaan, atau setidaknya bisa ikut serta dalam gerbong kekuasaan. Anda sendiri juga pernah mengatakan, demi membuka peluang untuk mendekati kandidat yang semula paling dijagokan, bahwa Jokowi dan Hatta Rajasa seperti Bung Karno dan Bung Hatta.
Sekarang situasi kian panas dan gelap. Beberapa orang berpikir bahwa seusai pemilu pasti terjadi kerusuhan. Saya menolak pikiran seperti itu. Kami punya nalar dan saya yakin seusai pemilu semuanya baik-baik saja—kecuali ada provokasi, kecuali ada yang sengaja mengudak-udak air kolam yang tenang. Rakyat bisa terpancing, anda tahu, tetapi mereka biasanya bukan pihak yang memulai. Jadi kalau sampai kerusuhan itu terjadi, para elite politik, termasuk anda, adalah orang-orang pertama yang patut dipersalahkan.
Saya sudahi surat saya, Pak Amien. Kalaupun anda tidak membaca surat ini, atau membaca namun tidak merasa perlu menganggap penting apa yang saya sampaikan, saya akan baik-baik saja. Memang saya marah pada fitnah-fitnah yang berseliweran, tetapi saya tetap menulis dan menyampaikan pemikiran saya dengan perasaan gembira.
Semoga anda dan keluarga selalu sehat. Salam dari saya, A.S. Laksana. [*]
Sumber: Blog A.S. Laksana (diakses 2 Juli 2014)