Ari A. Perdana
Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Sebuah sedan melaju di sebuah kawasan pemukiman. Tiba-tiba dari arah berlawanan muncul sebuah motor yang melawan arus. Tabrakan tak terhindarkan. Dalam aturan lalu lintas, seharusnya mobil ada di pihak yang benar. Tapi tidak menurut penduduk yang kebetulan ada di sekitar kejadian. Mereka menggedor-gedor sedan, dan mengatakan bahwa pengemudi mobil yang salah.
Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Sebuah sedan melaju di sebuah kawasan pemukiman. Tiba-tiba dari arah berlawanan muncul sebuah motor yang melawan arus. Tabrakan tak terhindarkan. Dalam aturan lalu lintas, seharusnya mobil ada di pihak yang benar. Tapi tidak menurut penduduk yang kebetulan ada di sekitar kejadian. Mereka menggedor-gedor sedan, dan mengatakan bahwa pengemudi mobil yang salah.
Reaksi spontan saya ketika membaca berita di atas adalah betapa masyarakat kita semakin tidak disiplin. Lebih parah, tidak ada lagi patokan siapa yang salah dan siapa yang benar dalam sebuah insiden lalu-lintas. Besar kemungkinan kita pernah ada dalam situasi mirip seperti itu. Lalu kita kemudian bertanya, mengapa polisi tidak bisa tegas menghadapi orang-orang seperti itu?
Saya kemudian terusik ketika membaca berita itu di paragaf lanjutan. Seseorang dalam kerumunan sempat berteriak, “Kamu orang kaya. Kamu harus bertanggung jawab!”
Ini lebih dalam dari sekadar disiplin lalu-lintas. Ini hanya satu manifestasi dari makin melebarnya kesenjangan pendapatan. Pengendara motor mewakili kelompok menengah bawah, pengendara mobil mewakili kelompok atas. Ketika terjadi tabrakan, hal itu lebih dari sekadar kecelakaan lalu-lintas. Itu menjadi simbol ‘benturan’ antara yang kaya dan miskin.
Kesenjangan pendapatan dalam sebuah masyarakat tidak terhindarkan, dan tidak selalu buruk. Pada taraf tertentu, kesenjangan bisa jadi sinyal bahwa ada imbalan atas usaha keras. Insentif bagi mereka yang berpendapatan rendah untuk lebih produktif. Cerita sukses pengusaha yang meniti dari bawah cukup efektif jadi motivasi bagi banyak pengusaha kecil-menengah untuk tumbuh.
Kesenjangan pendapatan jadi masalah jika kecenderungannya melebar. Apalagi jika diikuti dengan adanya hambatan dalam mobilitas sosial. Ketika yang miskin melihat bahwa sangat kecil peluang bagi mereka untuk jadi makmur, kesenjangan pendapatan cenderung menjadi kesenjangan sosial. Konsekuensinya bisa lebih kompleks: tensi sosial meningkat, rasa aman dan kepercayaan turun. Inilah yang sekarang kita rasakan.
Semakin serius jika problem tensi sosial dan kepercayaan ini diatasi bukan dengan menghapus akar masalahnya. Tapi dengan meningkatkan penjagaan di gedung atau di kompleks perumahan, membayar polisi untuk mengawal mobil pribadi, atau membuat ruang publik yang eksklusif bagi kelompok menengah atas (baca artikel ini disini).
Ketika ini terjadi, kita sedang melihat konsekuensi lebih buruk dari kesenjangan pendapatan: terciptanya eksklusi atau isolasi sosial. Ketika ekonomi terdiri oleh dua atau beberapa ‘pulau’ berdasarkan kelompok sosial-ekonomi berbeda.
* * *
Rosid baru lulus dari sebuah SMK swasta di Kemanggisan. Dia berharap bisa segera bekerja di pabrik. Tapi hampir setahun ini ia menganggur. Lamaran pekerjaannya tidak ada yang tembus. Orangtuanya sudah mulai gerah melihat Rosid menganggur. Tidak betah di rumah karena semakin sering dicereweti, Rosid sering nongkrong dengan beberapa teman sebayanya. Seorang teman mengajaknya ikut bergabung dengan salah satu organisasi. Ia mendapat seragam, baret, kartu anggota serta lencana (badge). Rosid merasa bangga karena sekarang ia punya ‘identitas’ –ia menjadi seseorang.
Rosid hanya satu dari banyak anak muda yang bergabung dengan organisasi kepemudaan karena ia membutuhkan identitas dan pengakuan dari masyarakat. Dalam situasi ideal, pengakuan itu ia dapatkan jika ia berhasil dapat pekerjaan. Tapi ada semacam tembok kaca yang membuat orang-orang seperti Rosid gagal bersaing di pasar kerja. Berasal dari keluarga miskin, ia hanya bisa masuk SMK ‘kelas dua’ yang membuatnya tidak dilirik. Ia bisa ambil ijazah keterampilan untuk memperkuat kualifikasinya, tapi butuh biaya yang tidak murah.
Kelas menengah seperti kita mungkin bertanya, mengapa aparat tidak bisa tegas kepada anggota organisasi seperti Rosid itu. Tapi sedikit yang bertanya, mengapa ada banyak anak muda yang jadi seperti Rosid. Lebih sedikit yang melihat orang seperti Rosid adalah produk dari eksklusi sosial.
Kita yang merasa keamanannya terusik setuju bahwa solusinya adalah pemerintah yang bisa ‘bertindak tegas’. Tapi ‘tindakan tegas’ pada orang-orang seperti Rosid bukanlah solusi permanen. Karena selama orang-orang seperti Rosid terus ada, organisasi berseragam loreng atau berjubah akan selalu punya anggota baru.
Mungkin tidak terpikir oleh kita bahwa untuk mencegah Rosid menjadi anggota organisasi itu, kita perlu meningkatkan kualitas pendidikan kejuruan. Kita perlu membangun Balai Latihan Kerja yang memadai. Kita perlu gelanggang remaja tempat anak-anak muda berkreasi dan mendapat identitas serta pengakuan. Kita perlu lebih banyak ruang terbuka untuk diakses mereka yang tinggal di pemukiman sempit.
* * *
Dari sejumlah obrolan, saya mendapati beberapa kawan mengatakan belum tahu akan memilih siapa, atau apakah mereka akan memilih. Sebagian memastikan tidak akan memilih Prabowo, beberapa masih membuka kemungkinan itu. Di saat yang sama, mereka tidak yakin dengan kemampuan Jokowi. Khususnya kemampuan mengelola kebijakan ekonomi dan keamanan. Kalau ada krisis global, apakah Jokowi berpengalaman? Apakah fluktuasi Rupiah bisa diselesaikan dengan blusukan? Seperti apa nanti Jokowi di forum internasional?
Saya melihat problem atau tantangan terbesar kita saat ini bukanlah indikator-indikator ekonomi makro seperti inflasi, indeks saham, nilai tukar, laju pertumbuhan. Tentu hal-hal itu penting. Tapi, bagi saya, problem yang lebih serius buat kita adalah kesenjangan pendapatan dan sosial yang makin lebar, dan tendensi adanya eksklusi sosial dalam masyarakat kita.
Masalah kesenjangan dan eksklusi sosial adalah problem kelas menengah juga. Apa artinya indeks saham kuat tapi risiko kita dirampok juga besar? Apa artinya investasi kita makin profitabel tapi kita harus bayar Satpam lebih banyak karena kita tidak merasa aman?
Selain persoalan ekonomi, masalah keamanan seperti premanisme dan kekerasan memang harus diatasi dengan ketegasan aparat. Tapi tanpa menyelesaikan akar masalahnya –yaitu kesenjangan sosial– semua solusi hanya jangka pendek. Di sinilah kita perlu pemimpin yang bukan hanya menjual citra ketegasan. Tetapi pemimpin yang bisa turun, mendengarkan, mengajak warga turut serta dalam pengambilan keputusan.
Tentu tidak ada yang mampu mengatasi problem kesenjangan sosial dalam waktu singkat. Tapi kita bisa lihat siapa kandidat yang menjadikan itu sebagai prioritas.
Dari dua pilihan yang ada, saya melihat kemampuan ini ada dalam Joko Widodo. Jokowi juga berulang kali menyatakan bahwa ia mementingkan kebijakan yang berbasis manusia. Ia sudah menunjukkan bagaimana ia menyelesaikan pemindahan PKL di Kota Solo, juga di Pasar Tanah Abang, serta memindahkan warga di Waduk Pluit dan Ria Rio di Jakarta.
Ini ia lakukan dengan mengedepankan dialog dan pendekatan personal. Di Solo dan Jakarta ia memberi prioritas pada penyediaan ruang publik –sesuatu yang sangat penting dalam menghilangkan sekat antara kelompok masyarakat.
Ia memberi prioritas pada kebijakan pengembangan sumberdaya manusia supaya makin banyak anak muda yang kompetitif di pasar kerja. Dengan SDM yang makin baik, mobilitas sosial akan semakin tinggi sehingga jurang yang ada di antara kelas-kelas pendapatan menjadi semakin sempit. Di Solo ia sudah melakukan itu dengan mengembangkan Techno Park, sebuah fasilitas untuk mendorong pelatihan kejuruan.
Bagaimana dengan Prabowo? Ia memang berjanji menurunkan kesenjangan. Tapi dari pemaparannya di debat kedua soal ekonomi, fokusnya masih lebih berat ke persoalan makro. Spesifiknya, bagaimana mengatasi apa yang ia sebut sebagai ‘kebocoran’ sumberdaya sebesar Rp 1000 triliun.
Ia memang mengatakan akan mencetak ribuan hektar sawah, menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan, dan menaikkan upah buruh. Namun semua itu sangat tergantung pada asumsi bahwa seribu triliun itu betul bisa didapatkan.
Sekali lagi, soal kesenjangan dan eksklusi sosial ini adalah masalah serius. Masalah yang harus jadi perhatian kelas menengah juga. Sehingga penting bagi kita untuk mendapatkan pemimpin yang mendengar warga, bukan hanya ingin didengar; yang melibatkan dan mengajak, bukan hanya mengkomando; dan yang terbuka untuk dikritik.
Sehingga makin penting arti suara kita di Pilpres nanti.
Sumber: Indonesia 2014 (diakses 30 Juni 2014) dan versi aslinya disini (diakses 30 Juni 2014)
Saya kemudian terusik ketika membaca berita itu di paragaf lanjutan. Seseorang dalam kerumunan sempat berteriak, “Kamu orang kaya. Kamu harus bertanggung jawab!”
Ini lebih dalam dari sekadar disiplin lalu-lintas. Ini hanya satu manifestasi dari makin melebarnya kesenjangan pendapatan. Pengendara motor mewakili kelompok menengah bawah, pengendara mobil mewakili kelompok atas. Ketika terjadi tabrakan, hal itu lebih dari sekadar kecelakaan lalu-lintas. Itu menjadi simbol ‘benturan’ antara yang kaya dan miskin.
Kesenjangan pendapatan dalam sebuah masyarakat tidak terhindarkan, dan tidak selalu buruk. Pada taraf tertentu, kesenjangan bisa jadi sinyal bahwa ada imbalan atas usaha keras. Insentif bagi mereka yang berpendapatan rendah untuk lebih produktif. Cerita sukses pengusaha yang meniti dari bawah cukup efektif jadi motivasi bagi banyak pengusaha kecil-menengah untuk tumbuh.
Kesenjangan pendapatan jadi masalah jika kecenderungannya melebar. Apalagi jika diikuti dengan adanya hambatan dalam mobilitas sosial. Ketika yang miskin melihat bahwa sangat kecil peluang bagi mereka untuk jadi makmur, kesenjangan pendapatan cenderung menjadi kesenjangan sosial. Konsekuensinya bisa lebih kompleks: tensi sosial meningkat, rasa aman dan kepercayaan turun. Inilah yang sekarang kita rasakan.
Semakin serius jika problem tensi sosial dan kepercayaan ini diatasi bukan dengan menghapus akar masalahnya. Tapi dengan meningkatkan penjagaan di gedung atau di kompleks perumahan, membayar polisi untuk mengawal mobil pribadi, atau membuat ruang publik yang eksklusif bagi kelompok menengah atas (baca artikel ini disini).
Ketika ini terjadi, kita sedang melihat konsekuensi lebih buruk dari kesenjangan pendapatan: terciptanya eksklusi atau isolasi sosial. Ketika ekonomi terdiri oleh dua atau beberapa ‘pulau’ berdasarkan kelompok sosial-ekonomi berbeda.
* * *
Rosid baru lulus dari sebuah SMK swasta di Kemanggisan. Dia berharap bisa segera bekerja di pabrik. Tapi hampir setahun ini ia menganggur. Lamaran pekerjaannya tidak ada yang tembus. Orangtuanya sudah mulai gerah melihat Rosid menganggur. Tidak betah di rumah karena semakin sering dicereweti, Rosid sering nongkrong dengan beberapa teman sebayanya. Seorang teman mengajaknya ikut bergabung dengan salah satu organisasi. Ia mendapat seragam, baret, kartu anggota serta lencana (badge). Rosid merasa bangga karena sekarang ia punya ‘identitas’ –ia menjadi seseorang.
Rosid hanya satu dari banyak anak muda yang bergabung dengan organisasi kepemudaan karena ia membutuhkan identitas dan pengakuan dari masyarakat. Dalam situasi ideal, pengakuan itu ia dapatkan jika ia berhasil dapat pekerjaan. Tapi ada semacam tembok kaca yang membuat orang-orang seperti Rosid gagal bersaing di pasar kerja. Berasal dari keluarga miskin, ia hanya bisa masuk SMK ‘kelas dua’ yang membuatnya tidak dilirik. Ia bisa ambil ijazah keterampilan untuk memperkuat kualifikasinya, tapi butuh biaya yang tidak murah.
Kelas menengah seperti kita mungkin bertanya, mengapa aparat tidak bisa tegas kepada anggota organisasi seperti Rosid itu. Tapi sedikit yang bertanya, mengapa ada banyak anak muda yang jadi seperti Rosid. Lebih sedikit yang melihat orang seperti Rosid adalah produk dari eksklusi sosial.
Kita yang merasa keamanannya terusik setuju bahwa solusinya adalah pemerintah yang bisa ‘bertindak tegas’. Tapi ‘tindakan tegas’ pada orang-orang seperti Rosid bukanlah solusi permanen. Karena selama orang-orang seperti Rosid terus ada, organisasi berseragam loreng atau berjubah akan selalu punya anggota baru.
Mungkin tidak terpikir oleh kita bahwa untuk mencegah Rosid menjadi anggota organisasi itu, kita perlu meningkatkan kualitas pendidikan kejuruan. Kita perlu membangun Balai Latihan Kerja yang memadai. Kita perlu gelanggang remaja tempat anak-anak muda berkreasi dan mendapat identitas serta pengakuan. Kita perlu lebih banyak ruang terbuka untuk diakses mereka yang tinggal di pemukiman sempit.
* * *
Dari sejumlah obrolan, saya mendapati beberapa kawan mengatakan belum tahu akan memilih siapa, atau apakah mereka akan memilih. Sebagian memastikan tidak akan memilih Prabowo, beberapa masih membuka kemungkinan itu. Di saat yang sama, mereka tidak yakin dengan kemampuan Jokowi. Khususnya kemampuan mengelola kebijakan ekonomi dan keamanan. Kalau ada krisis global, apakah Jokowi berpengalaman? Apakah fluktuasi Rupiah bisa diselesaikan dengan blusukan? Seperti apa nanti Jokowi di forum internasional?
Saya melihat problem atau tantangan terbesar kita saat ini bukanlah indikator-indikator ekonomi makro seperti inflasi, indeks saham, nilai tukar, laju pertumbuhan. Tentu hal-hal itu penting. Tapi, bagi saya, problem yang lebih serius buat kita adalah kesenjangan pendapatan dan sosial yang makin lebar, dan tendensi adanya eksklusi sosial dalam masyarakat kita.
Masalah kesenjangan dan eksklusi sosial adalah problem kelas menengah juga. Apa artinya indeks saham kuat tapi risiko kita dirampok juga besar? Apa artinya investasi kita makin profitabel tapi kita harus bayar Satpam lebih banyak karena kita tidak merasa aman?
Selain persoalan ekonomi, masalah keamanan seperti premanisme dan kekerasan memang harus diatasi dengan ketegasan aparat. Tapi tanpa menyelesaikan akar masalahnya –yaitu kesenjangan sosial– semua solusi hanya jangka pendek. Di sinilah kita perlu pemimpin yang bukan hanya menjual citra ketegasan. Tetapi pemimpin yang bisa turun, mendengarkan, mengajak warga turut serta dalam pengambilan keputusan.
Tentu tidak ada yang mampu mengatasi problem kesenjangan sosial dalam waktu singkat. Tapi kita bisa lihat siapa kandidat yang menjadikan itu sebagai prioritas.
Dari dua pilihan yang ada, saya melihat kemampuan ini ada dalam Joko Widodo. Jokowi juga berulang kali menyatakan bahwa ia mementingkan kebijakan yang berbasis manusia. Ia sudah menunjukkan bagaimana ia menyelesaikan pemindahan PKL di Kota Solo, juga di Pasar Tanah Abang, serta memindahkan warga di Waduk Pluit dan Ria Rio di Jakarta.
Ini ia lakukan dengan mengedepankan dialog dan pendekatan personal. Di Solo dan Jakarta ia memberi prioritas pada penyediaan ruang publik –sesuatu yang sangat penting dalam menghilangkan sekat antara kelompok masyarakat.
Ia memberi prioritas pada kebijakan pengembangan sumberdaya manusia supaya makin banyak anak muda yang kompetitif di pasar kerja. Dengan SDM yang makin baik, mobilitas sosial akan semakin tinggi sehingga jurang yang ada di antara kelas-kelas pendapatan menjadi semakin sempit. Di Solo ia sudah melakukan itu dengan mengembangkan Techno Park, sebuah fasilitas untuk mendorong pelatihan kejuruan.
Bagaimana dengan Prabowo? Ia memang berjanji menurunkan kesenjangan. Tapi dari pemaparannya di debat kedua soal ekonomi, fokusnya masih lebih berat ke persoalan makro. Spesifiknya, bagaimana mengatasi apa yang ia sebut sebagai ‘kebocoran’ sumberdaya sebesar Rp 1000 triliun.
Ia memang mengatakan akan mencetak ribuan hektar sawah, menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan, dan menaikkan upah buruh. Namun semua itu sangat tergantung pada asumsi bahwa seribu triliun itu betul bisa didapatkan.
Sekali lagi, soal kesenjangan dan eksklusi sosial ini adalah masalah serius. Masalah yang harus jadi perhatian kelas menengah juga. Sehingga penting bagi kita untuk mendapatkan pemimpin yang mendengar warga, bukan hanya ingin didengar; yang melibatkan dan mengajak, bukan hanya mengkomando; dan yang terbuka untuk dikritik.
Sehingga makin penting arti suara kita di Pilpres nanti.
Sumber: Indonesia 2014 (diakses 30 Juni 2014) dan versi aslinya disini (diakses 30 Juni 2014)