Muhammad Syarkawi Rauf
Dosen FEB Unhas/ Anggota Jaringan Peneliti Ekonomi Indonesia Timur (JAPEIT)
Debat capres dan cawapres yang berlangsung dalam beberapa putaran menunjukkan bahwa gagasan Jokowi – JK yang fokus pada isu-isu mendasar pembangunan manusia melalui program revolusi mental lebih realistis. Gagasan ini juga mampu menjawab permasalahan utama perekonomian nasional untuk keluar dari middle income trap.
Dosen FEB Unhas/ Anggota Jaringan Peneliti Ekonomi Indonesia Timur (JAPEIT)
Debat capres dan cawapres yang berlangsung dalam beberapa putaran menunjukkan bahwa gagasan Jokowi – JK yang fokus pada isu-isu mendasar pembangunan manusia melalui program revolusi mental lebih realistis. Gagasan ini juga mampu menjawab permasalahan utama perekonomian nasional untuk keluar dari middle income trap.
Gagasan Jokowi – JK sejalan dengan publikasi Bank Dunia terbaru yang bertajuk “Development Policy Review 2014, Indonesia: Avoiding The Trap” bahwa Indonesia bisa terhindar dari middle income trap jika mampu menggeser model pertumbuhan ekonominya ke productivity-driven growth model (model pertumbuhan berbasis produktifitas tinggi).
Permasalahan struktural menyebabkan perekonomian Indonesia terjebak selama 29 tahun hingga sekarang sebagai lower midde income trap dengan pendapatan per kapita di atas 3.000 dollar AS dan di bawah 7.250 dollar AS per tahun. Perekonomian Indonesia masih rentan mengalami down grade menjadi negara miskin ketika terjadi gejolak eksternal, seperti pengalaman krisis ekonomi tahun 1997/1998.
Dimana pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata dalam 10 tahun terakhir hanya sekitar 5 persen per tahun. Padahal untuk mencapai status upper middle income trap maka perekonomian Indonesia harus tumbuh 14 persen per tahun selama satu dekade (ADB, 2013). Artinya, terdapat gap antara realisasi dengan target pertumbuhan ekonomi dalam jangka menengah yang disebabkan oleh terhentinya proses reformasi struktural.
Produktifitas Rendah
Permasalahan struktural perekonomian Indonesia ditandai oleh terhambatnya mobilisasi tenaga kerja dari sektor produktifitas rendah ke sektor dengan produktifitas tinggi. Inovasi juga tidak berjalan karena kurangnya insentif bagi swasta untuk berpartisipasi dalam kegiatan penelitian dan pengembangan.
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir lebih didorong oleh akumulasi modal dan pertumbuhan lapangan kerja baru. Sementara total factor productivity (TFP) memberikan kontribusi kecil. TFP adalah intengible factor yang dikaitkan dengan kualitas SDM dan pengembangan teknologi.
Fakta menunjukkan bahwa selama ini, kontribusi TFP dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sekitar 33 persen pada tahun 2000 – 2007. Hal ini kontras dengan Tiongkok dan Korea yang lebih dari 50 persen pertumbuhan ekonominya didorong oleh kemajuan teknologi dan angkatan kerja berkualitas (World Bank, 2014).
Pengalaman reformasi ekonomi Tiongkok yang fokus pada pengembangan SDM telah mengakselerasi pertumbuhan produktifitas pekerja Tiongkok, yaitu dari rata-rata 7,4 persen tahun 1995 - 2000, menjadi 8,6 persen tahun 2000 – 2005 dan 10,7 persen tahun 2005 – 2010. Hal ini berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Tiongkok menjadi rata-rata 8,3 persen tahun 1995 – 2000, 9,3 persen tahun 2000 – 2005 dan 10,6 persen tahun 2005 – 2010 (ADB, 2013).
Kondisi ini sangat kontras dengan Indonesia yang tumbuh rata-rata 7,6 persen tahun 1990-1995, menurun menjadi 0,8 persen tahun 1995 – 2000 (periode krisis), 4,6 persen tahun 2000 – 2005 dan 5,5 persen tahun 2005 – 2010. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan produktifitas pekerja dari 7,5 persen tahun 1990 – 1995, menjadi 1,4 persen tahun 1995 – 2000 (periode krisis), 3,6 persen tahun 2000 – 2005 dan 2,2 persen tahun 2005 – 2010 (ADB, 2013).
Inovasi Teknologi
Persoalan lain yang juga sangat serius adalah lambannya inovasi teknologi. Hal ini tercermin pada jumlah pendaftaran hak paten yang sangat terbatas. Akibatnya, kegiatan industri manufaktur di dalam negeri sangat tergantung pada impor barang modal yang dalam beberapa tahun terakhir berkontribusi terhadap defisit neraca transaksi berjalan.
Kemampuan inovasi nasional yang rendah tercermin pada persentase anggaran penelitian dan pengembangan terhadap GDP yang hanya 0,05 persen. Bandingkan dengan Tiongkok yang sudah mencapai 1,5 persen dari GDP-nya, India 0,8 persen, Malaysia 0,64 persen dan Thailand 0,25 persen (ADB, 2013).
Jumlah penduduk Indonesia yang bekerja dalam bidang penelitian dan pengembangan juga sangat kecil, yaitu lebih kecil dari Tiongkok yang mencapai 1.070 orang per satu juta penduduk, India 137 orang, Malaysia 372 orang dan Thailand 311 orang. Akibatnya pertumbuhan pendaftaran hak paten di Tiongkok tumbuh rata-rata 35 persen dari 15.600 menjadi 122.000 selama periode 1999 – 2006 (WIPO Statistics Database, 2011).
Sehingga untuk mengatasi permasalahan di atas diperlukan perubahan mendasar yang bersifat struktural melalui program revolusi mental. Istilah revolusi bermakna perubahan cepat dan fundamental. Terminologi cepat tidak selalu dikaitkan dengan perubahan yang singkat, seperti yang terjadi dalam revolusi industri di Inggris yang memakan waktu puluhan tahun.
Gagasan revolusi mental sejalan dengan restorasi Meiji 1866 – 1869 yang mengantarkan Jepang menjadi negara maju. Semangat retorasi Meiji yang fokus pada character building menjadikan Jepang sebagai satu dari puluhan negara yang berstatus lower middle income trap tahun 1950-an naik kelas menjadi negara maju pada tahun 1970 - 1980.
Akhirnya, gagasan revolusi mental Jokowi – JK bertujuan untuk mewujudkan manusia Indonesia yang tidak hanya menguasai teknologi, terampil dan berwawasan luas tetapi juga religius, memiliki etos kerja dan menghormati orang tua. Gagasan revolusi mental mengutamakan pembangunan moral yang dimulai dari pendidikan dasar.
*) Terima kasih kepada penulis yang memberi izin pemuatan tulisan tersebut disini.
Permasalahan struktural menyebabkan perekonomian Indonesia terjebak selama 29 tahun hingga sekarang sebagai lower midde income trap dengan pendapatan per kapita di atas 3.000 dollar AS dan di bawah 7.250 dollar AS per tahun. Perekonomian Indonesia masih rentan mengalami down grade menjadi negara miskin ketika terjadi gejolak eksternal, seperti pengalaman krisis ekonomi tahun 1997/1998.
Dimana pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata dalam 10 tahun terakhir hanya sekitar 5 persen per tahun. Padahal untuk mencapai status upper middle income trap maka perekonomian Indonesia harus tumbuh 14 persen per tahun selama satu dekade (ADB, 2013). Artinya, terdapat gap antara realisasi dengan target pertumbuhan ekonomi dalam jangka menengah yang disebabkan oleh terhentinya proses reformasi struktural.
Produktifitas Rendah
Permasalahan struktural perekonomian Indonesia ditandai oleh terhambatnya mobilisasi tenaga kerja dari sektor produktifitas rendah ke sektor dengan produktifitas tinggi. Inovasi juga tidak berjalan karena kurangnya insentif bagi swasta untuk berpartisipasi dalam kegiatan penelitian dan pengembangan.
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir lebih didorong oleh akumulasi modal dan pertumbuhan lapangan kerja baru. Sementara total factor productivity (TFP) memberikan kontribusi kecil. TFP adalah intengible factor yang dikaitkan dengan kualitas SDM dan pengembangan teknologi.
Fakta menunjukkan bahwa selama ini, kontribusi TFP dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sekitar 33 persen pada tahun 2000 – 2007. Hal ini kontras dengan Tiongkok dan Korea yang lebih dari 50 persen pertumbuhan ekonominya didorong oleh kemajuan teknologi dan angkatan kerja berkualitas (World Bank, 2014).
Pengalaman reformasi ekonomi Tiongkok yang fokus pada pengembangan SDM telah mengakselerasi pertumbuhan produktifitas pekerja Tiongkok, yaitu dari rata-rata 7,4 persen tahun 1995 - 2000, menjadi 8,6 persen tahun 2000 – 2005 dan 10,7 persen tahun 2005 – 2010. Hal ini berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Tiongkok menjadi rata-rata 8,3 persen tahun 1995 – 2000, 9,3 persen tahun 2000 – 2005 dan 10,6 persen tahun 2005 – 2010 (ADB, 2013).
Kondisi ini sangat kontras dengan Indonesia yang tumbuh rata-rata 7,6 persen tahun 1990-1995, menurun menjadi 0,8 persen tahun 1995 – 2000 (periode krisis), 4,6 persen tahun 2000 – 2005 dan 5,5 persen tahun 2005 – 2010. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan produktifitas pekerja dari 7,5 persen tahun 1990 – 1995, menjadi 1,4 persen tahun 1995 – 2000 (periode krisis), 3,6 persen tahun 2000 – 2005 dan 2,2 persen tahun 2005 – 2010 (ADB, 2013).
Inovasi Teknologi
Persoalan lain yang juga sangat serius adalah lambannya inovasi teknologi. Hal ini tercermin pada jumlah pendaftaran hak paten yang sangat terbatas. Akibatnya, kegiatan industri manufaktur di dalam negeri sangat tergantung pada impor barang modal yang dalam beberapa tahun terakhir berkontribusi terhadap defisit neraca transaksi berjalan.
Kemampuan inovasi nasional yang rendah tercermin pada persentase anggaran penelitian dan pengembangan terhadap GDP yang hanya 0,05 persen. Bandingkan dengan Tiongkok yang sudah mencapai 1,5 persen dari GDP-nya, India 0,8 persen, Malaysia 0,64 persen dan Thailand 0,25 persen (ADB, 2013).
Jumlah penduduk Indonesia yang bekerja dalam bidang penelitian dan pengembangan juga sangat kecil, yaitu lebih kecil dari Tiongkok yang mencapai 1.070 orang per satu juta penduduk, India 137 orang, Malaysia 372 orang dan Thailand 311 orang. Akibatnya pertumbuhan pendaftaran hak paten di Tiongkok tumbuh rata-rata 35 persen dari 15.600 menjadi 122.000 selama periode 1999 – 2006 (WIPO Statistics Database, 2011).
Sehingga untuk mengatasi permasalahan di atas diperlukan perubahan mendasar yang bersifat struktural melalui program revolusi mental. Istilah revolusi bermakna perubahan cepat dan fundamental. Terminologi cepat tidak selalu dikaitkan dengan perubahan yang singkat, seperti yang terjadi dalam revolusi industri di Inggris yang memakan waktu puluhan tahun.
Gagasan revolusi mental sejalan dengan restorasi Meiji 1866 – 1869 yang mengantarkan Jepang menjadi negara maju. Semangat retorasi Meiji yang fokus pada character building menjadikan Jepang sebagai satu dari puluhan negara yang berstatus lower middle income trap tahun 1950-an naik kelas menjadi negara maju pada tahun 1970 - 1980.
Akhirnya, gagasan revolusi mental Jokowi – JK bertujuan untuk mewujudkan manusia Indonesia yang tidak hanya menguasai teknologi, terampil dan berwawasan luas tetapi juga religius, memiliki etos kerja dan menghormati orang tua. Gagasan revolusi mental mengutamakan pembangunan moral yang dimulai dari pendidikan dasar.
*) Terima kasih kepada penulis yang memberi izin pemuatan tulisan tersebut disini.