
Miftah F. Rakhmat
Pada akhirnya adalah penyesalan. Tak ada sekolah atau kursus jadi orangtua, suami, atau anak. Pada ketiga hal ini, aku selalu berujung dalam dan dengan p enyesalan. Aku yakin aku bukan anak anak yang berbakti. Aku tahu aku bukan suami yang baik. Dan aku ragu apa aku layak untuk disebut sekadar ''ayah''.
Pada akhirnya adalah penyesalan. Tak ada sekolah atau kursus jadi orangtua, suami, atau anak. Pada ketiga hal ini, aku selalu berujung dalam dan dengan p enyesalan. Aku yakin aku bukan anak anak yang berbakti. Aku tahu aku bukan suami yang baik. Dan aku ragu apa aku layak untuk disebut sekadar ''ayah''.
Kata Hellen Keller, ''Satu-satunya keadaan yang lebih buruk dari orang buta adalah punya mata, tapi tak punya 'penglihatan', having sight but no vision. Terjemahanku mungkin tak pas. Tak apa, sepertinya aku memahami kalimatnya. Akulah yang ia maksud itu.
Betapa tidak. Bayangkan, dalam usiaku yang sudah kepala empat ini aku masih punya kedua orangtua, Ummi dan Abi. Tapi betapa jarang aku berkhidmat pada mereka. Lebih sering, mereka yang membantuku: jadi tempat penitipan anak-anakku, memberi uang jajan mereka, bahkan menjaga mereka saat aku sibuk mengejar mimpiku. Ummi dan Abi pula yang bergantian antar jemput sekolah anak-anakku.
Sebagai suami, terlalu banyak kekuranganku. Istriku punya hak teramat besar atas diriku, yang takkan mampu aku penuhi. Tapi, ah…sebagai ayah, penyesalanku berlipat-lipat banyaknya.
Semua itu karena sebuah lagu, dan seorang yang kujumpai di pesawat. Ia duduk di kursi di seberangku.
Seperti biasa, aku duduk di kelas bisnis. Itu karena aku masih harus menyelesaikan presentasi, hingga detik-detik terakhir, dan--aku beralasan--aku harus tampil fit dan segar untuk keberhasilan negosiasi yang akan kulakukan.
Meja kursi kubuka, cukup leluasa. Laptop tipis nan ramping tak sulit menemukan tempatnya. Berkas-berkas seperlunya kusimpan di saku kursi. Mataku tajam melihat kolom demi kolom ketika orang di sampingku berkata, ''Mau presentasi, Mas?''
Aku berhenti, merebahkan diriku sejenak, dan berpaling ke arahnya. Tak biasanya ada orang mengajakku bicara. Apalagi di kelas bisnis. Kelas di mana orang merasa sangat individualis. Aku adalah aku, dan orang selainku adalah pesaingku.
''Iya,'' nadaku sinis menjawabnya meski aku berusaha untuk tersenyum. Seketika perasaan bersalah muncul dalam hatiku. Mengapa pula aku harus menjawab dengan nada ketus seperti itu. Aku berusaha membayarnya dengan berkata, ''deadline.'' Singkat saja.
Orang yang duduk di sampingku membalas senyumanku. Ia tampak tulus. Perasaan bersalahku makin bertambah karena ia jauh, jauh lebih tua dariku. Aku kira aku harus menebusnya. Tak ada salahnya sejenak aku berbincang dengannya. ''Bapak dari Jakarta? Sebelah mana?'' Ucapku melunak. Pesawatku tujuan Guangzhou ini baru saja lepas landas dari Cengkareng.
''Kemang,'' jawabnya. Mendengar ia menyebut daerah khusus di ibukota itu, tahulah aku, ia bukan sembarang orang. Tak ada orang biasa tinggal di Kemang. Aku harus berhati-hati. Kalau ia bukan mantan pejabat, pasti ia kerabat orang yang pernah punya jabatan di negeri ini.
Aku masih bimbang antara bercakap-cakap atau meneruskan pekerjaan. Melihat jariku masih mengetuk-ngetuk ruang gerak mouse laptopku, orang di sampingku berkata, ''Aku ini orang yang malang. Orang yang paling tak beruntung…'' Mau tidak mau, kini kuhadapkan diriku sepenuhnya. Empati terhadap orang yang siap menumpahkan keluh kesahnya.
''Aku seperti engkau, duapuluh-tigapuluh tahun yang lalu.'' Ujarnya mengawali. ''Selalu sibuk, berambisi, dan berusaha untuk mengejar mimpi...ahh…'' ia menghela nafas yang berat. Seakan menyimpan beban yang tak bisa dilepaskan. ''Kau tahu, apa yang kuperoleh dari itu semua? Penyesalan.''
Tanpa diminta, ia lanjut bicara. ''Semua berbalik memukulku ketika aku melihat foto-foto anak-anakku. Aku banyak bepergian, dan keluarga selalu mengirimiku foto-foto mereka. Biasanya kujadikan semangat agar aku bekerja lebih giat. Hingga satu saat, kupandangi foto itu agak lama…dan mendadak aku tersentak. Tak kulihat diriku bersama mereka. Tak ada aku di foto itu. Aku kehilangan kesempatan itu. Sesuatu yang tak mungkin kuraih kembali…''
Matanya menerawang, dalam, seperti hendak meraih pecahan-pecahan gambar yang hilang, dan merangkainya utuh kembali, setidaknya dalam kenangan. ''Aku di New York ketika anak pertamaku mulai berjalan. Aku di Berlin ketika anak perempuanku perform balet di sekolahnya. Aku di Madagascar ketika istriku melahirkan anak ketiga kami. Aku tak pernah ada ketika aku seharusnya ada bersama mereka.''
Aku memahami perasaannya. Aku pun seperti itu, tapi tak jadi soal bagiku. Ketidakhadiranku adalah caraku untuk membahagiakan mereka. Kelelahanku adalah masa depan penuh keleluasaan yang kusiapkan bagi mereka. Investasi untuk kuraih hasilnya kemudian. Pening di kepalaku, gemertak tulang belulangku…semua agar mereka dapat tersenyum bahagia.
Senior di sampingku, tampaknya membaca pikiranku. Ia berdiri, menepuk bahuku dan berkata, ''Mohon izin, aku putarkan untukmu sebuah lagu.'' Lalu tangannya menjelajah layar sentuh di mejaku. Aku, terdiam saja. Dia memang tak sopan, tapi aku tak ingin melawan. ''Nah, ini dia…'' ujarnya, ''Phil Vassar, Don't miss your life…selamat mendengarkan…'' dan ia berlalu ke belakang.
Aneh juga ini orang, pikirku, tak dikenal tapi tiba-tiba memutarkan aku sebuah lagu. Tak ada salahnya, aku kenakan headsetku, dan mataku kembali pada layar laptopku. Irama musik country terdengar merdu. Country di Amerika, ibarat dangdut di negeri kita. Aku bukan penikmat lagu jenis ini, tapi yang satu ini, pelan, ketukannya jelas…dan sepertinya dinyanyikan dari hati. Tak urung, aku sandarkan diriku, merendahkan tempat dudukku, menikmati lagu itu, mencerna liriknya. Tanpa terasa, air mata menetes di pipiku.
Lagu itu bercerita tentang aku, tentang orang yang kehilangan banyak hal dalam hidupnya. Tentang orang yang mempersiapkan masa depan, tapi kehilangan masa kini. Tentang nasihat seorang tua pada anaknya, ''Son, don't miss your life.'' Air mata itu masih hangat di pipiku. Orang sering mendapat nasihat, aku sudah banyak ikut pelatihan. Kadang-kadang yang mereka perlukan hanya nada yang tepat yang menghunjam perasaan. Kali ini, itu diwakili oleh sebuah lagu.
Pundakku diketuk lagi. Orang yang sama datang kembali. Sebuah tissue tersedia di tangannya. Ia tahu aku akan menangis. Ia duduk di kursinya, dan kembali bicara, ''Ada lima kunci kebahagiaan. Yang pertama, savoring. Menikmati setiap hal, begitu rupa, hingga hal-hal kecil yang kau anggap biasa. Dulu, waktu aku masih kecil, ibu kerap membagi sekerat buah mangga untukku dan saudara. Tersedia pilihan: kau pilih dagingnya atau bijinya. Aneh, kami sering berebut dapat biji. Padahal dagingnya sedikit. Rupanya kenikmatan datang dari menjilatinya. Minum dari gelas langsung lebih enak dari minum lewat sedotan. Anak-anak sekarang kehilangan itu. Savoring itu ibarat makan ikan hingga bersih tulang-tulangnya. Kau nikmati semuanya.''
Aku tak berkutik. Ini ceramah gratis dari orang yang bicara dari pengalaman. Kapan lagi dapat kelas ribuan mil tingginya di antara awan, ''Kau tahu,'' masih katanya lagi, ''aku kehilangan itu dari anak-anakku. Aku jarang belai rambut mereka. Tidak aku sentuh jari jemari mereka. Dan kini, tiba-tiba mereka sudah besar, sudah dewasa. Tahukah kau, aku sediakan segala yang sudah kusiapkan untuk mereka: kampus yang baik, kendaraan, gadget terbaru. Mereka menerimanya dengan sukacita. Dan kurasakan kekosongan. Sekarang, setelah semua itu, justru aku ingin bersama mereka. Setiap kali melihat mereka, batinku menjerit 'datanglah kemari, peluklah ayahmu yang sudah tua ini, peluk lama-lama…' tapi mereka terlalu malu untuk melakukannya. Kata mereka, 'kami bukan anak-anak lagi ayah…' dan aku menangis. Aku akan berkata, 'ayah tahu. Karena itulah ayah ingin memelukmu. Betapa banyak sudah kesempatan memelukmu hilang dari tanganku…' tapi aku tak bisa menyampaikan itu pada mereka.''
Aku terhentak. Adakah aku akan berakhir seperti dia. Kusiapkan masa depan anak-anakku, padahal yang mereka butuhkan adalah hari ini. Bagaimana aku berharap pelukan mereka nanti, kalau aku tidak memeluk mereka hari ini.
Aku menoleh. Kali ini tatapku tajam, ''Pak,'' ucapku membuka kata, ''Terima kasih. Terima kasih. Bapak sudah menyadarkan aku. Boleh aku tahu empat rahasia kebahagiaan berikutnya?'' Aku tutup laptopku. Aku rapikan mejaku. Aku raih telepon genggamku. Dan kuperlihatkan kepadanya foto anak-anakku, ''Lihat, ini mereka. Kebahagiaanku, mata hatiku. Beri tahu aku empat sisanya, sehingga tidak kukecewakan mereka...''
Ia meraih teleponku. Memandang pada gambar putriku yang sedang tersenyum dan menampakkan ompong giginya. Lalu ia mengambil sesuatu dari sakunya. Ia serahkan kembali teleponku. ''Kau punya anak yang manis.'' katanya, ''Ini kartu namaku. Kalau kau ingin tahu sisanya, hubungi aku saat kau sedang jauh dari putrimu. Aku akan kabari sisanya.''
''Mengapa tidak sekarang?'' Pintaku penasaran.
''Karena aku ingin kau menikmati rasa penasaranmu. Aku ingin kau menikmati beragam penyesalanmu. Ingat, savoring. Selamat malam'' Ia tersenyum. Ia ingin menutup pembicaraan.
Pesawatku baru sejam merangkak di udara. Jarak antara Jakarta - Guangzhou masih lama. Tapi aku sudah merasakan kerinduan. Aku sudah rindu pulang. Lirik Phil Vassar lantang terdengar, ''hold on tight cause it don't happen twice…son, don't miss your life…''
Sesal itu sudah mulai bermunculan. Wajah anakku terbayang jelas. Banyak yang akan kita lakukan nanti. Tunggu aku pulang, Nak. Wajah istriku lembut terlihat. Aku berhutang maaf padamu sayang. Dan wajah kedua orangtuaku…ahh, anakmu ini harus tersungkur di bawah kakimu.
Pada akhirnya adalah penyesalan. Tapi entah bagaimana, sebatas menyesal saja…sudah muncul kebahagiaan. Aku simpan laptopku. Aku tutup jendela kabinku. Lampu baca kumatikan. Stiker 'don't disturb' kupasang di bahu. Aku hanya ingin tidur. Akan kukenang kalian duhai kekasih, dan kujumpai kau dalam tidurku.
Selamat malam, sayang.
Betapa tidak. Bayangkan, dalam usiaku yang sudah kepala empat ini aku masih punya kedua orangtua, Ummi dan Abi. Tapi betapa jarang aku berkhidmat pada mereka. Lebih sering, mereka yang membantuku: jadi tempat penitipan anak-anakku, memberi uang jajan mereka, bahkan menjaga mereka saat aku sibuk mengejar mimpiku. Ummi dan Abi pula yang bergantian antar jemput sekolah anak-anakku.
Sebagai suami, terlalu banyak kekuranganku. Istriku punya hak teramat besar atas diriku, yang takkan mampu aku penuhi. Tapi, ah…sebagai ayah, penyesalanku berlipat-lipat banyaknya.
Semua itu karena sebuah lagu, dan seorang yang kujumpai di pesawat. Ia duduk di kursi di seberangku.
Seperti biasa, aku duduk di kelas bisnis. Itu karena aku masih harus menyelesaikan presentasi, hingga detik-detik terakhir, dan--aku beralasan--aku harus tampil fit dan segar untuk keberhasilan negosiasi yang akan kulakukan.
Meja kursi kubuka, cukup leluasa. Laptop tipis nan ramping tak sulit menemukan tempatnya. Berkas-berkas seperlunya kusimpan di saku kursi. Mataku tajam melihat kolom demi kolom ketika orang di sampingku berkata, ''Mau presentasi, Mas?''
Aku berhenti, merebahkan diriku sejenak, dan berpaling ke arahnya. Tak biasanya ada orang mengajakku bicara. Apalagi di kelas bisnis. Kelas di mana orang merasa sangat individualis. Aku adalah aku, dan orang selainku adalah pesaingku.
''Iya,'' nadaku sinis menjawabnya meski aku berusaha untuk tersenyum. Seketika perasaan bersalah muncul dalam hatiku. Mengapa pula aku harus menjawab dengan nada ketus seperti itu. Aku berusaha membayarnya dengan berkata, ''deadline.'' Singkat saja.
Orang yang duduk di sampingku membalas senyumanku. Ia tampak tulus. Perasaan bersalahku makin bertambah karena ia jauh, jauh lebih tua dariku. Aku kira aku harus menebusnya. Tak ada salahnya sejenak aku berbincang dengannya. ''Bapak dari Jakarta? Sebelah mana?'' Ucapku melunak. Pesawatku tujuan Guangzhou ini baru saja lepas landas dari Cengkareng.
''Kemang,'' jawabnya. Mendengar ia menyebut daerah khusus di ibukota itu, tahulah aku, ia bukan sembarang orang. Tak ada orang biasa tinggal di Kemang. Aku harus berhati-hati. Kalau ia bukan mantan pejabat, pasti ia kerabat orang yang pernah punya jabatan di negeri ini.
Aku masih bimbang antara bercakap-cakap atau meneruskan pekerjaan. Melihat jariku masih mengetuk-ngetuk ruang gerak mouse laptopku, orang di sampingku berkata, ''Aku ini orang yang malang. Orang yang paling tak beruntung…'' Mau tidak mau, kini kuhadapkan diriku sepenuhnya. Empati terhadap orang yang siap menumpahkan keluh kesahnya.
''Aku seperti engkau, duapuluh-tigapuluh tahun yang lalu.'' Ujarnya mengawali. ''Selalu sibuk, berambisi, dan berusaha untuk mengejar mimpi...ahh…'' ia menghela nafas yang berat. Seakan menyimpan beban yang tak bisa dilepaskan. ''Kau tahu, apa yang kuperoleh dari itu semua? Penyesalan.''
Tanpa diminta, ia lanjut bicara. ''Semua berbalik memukulku ketika aku melihat foto-foto anak-anakku. Aku banyak bepergian, dan keluarga selalu mengirimiku foto-foto mereka. Biasanya kujadikan semangat agar aku bekerja lebih giat. Hingga satu saat, kupandangi foto itu agak lama…dan mendadak aku tersentak. Tak kulihat diriku bersama mereka. Tak ada aku di foto itu. Aku kehilangan kesempatan itu. Sesuatu yang tak mungkin kuraih kembali…''
Matanya menerawang, dalam, seperti hendak meraih pecahan-pecahan gambar yang hilang, dan merangkainya utuh kembali, setidaknya dalam kenangan. ''Aku di New York ketika anak pertamaku mulai berjalan. Aku di Berlin ketika anak perempuanku perform balet di sekolahnya. Aku di Madagascar ketika istriku melahirkan anak ketiga kami. Aku tak pernah ada ketika aku seharusnya ada bersama mereka.''
Aku memahami perasaannya. Aku pun seperti itu, tapi tak jadi soal bagiku. Ketidakhadiranku adalah caraku untuk membahagiakan mereka. Kelelahanku adalah masa depan penuh keleluasaan yang kusiapkan bagi mereka. Investasi untuk kuraih hasilnya kemudian. Pening di kepalaku, gemertak tulang belulangku…semua agar mereka dapat tersenyum bahagia.
Senior di sampingku, tampaknya membaca pikiranku. Ia berdiri, menepuk bahuku dan berkata, ''Mohon izin, aku putarkan untukmu sebuah lagu.'' Lalu tangannya menjelajah layar sentuh di mejaku. Aku, terdiam saja. Dia memang tak sopan, tapi aku tak ingin melawan. ''Nah, ini dia…'' ujarnya, ''Phil Vassar, Don't miss your life…selamat mendengarkan…'' dan ia berlalu ke belakang.
Aneh juga ini orang, pikirku, tak dikenal tapi tiba-tiba memutarkan aku sebuah lagu. Tak ada salahnya, aku kenakan headsetku, dan mataku kembali pada layar laptopku. Irama musik country terdengar merdu. Country di Amerika, ibarat dangdut di negeri kita. Aku bukan penikmat lagu jenis ini, tapi yang satu ini, pelan, ketukannya jelas…dan sepertinya dinyanyikan dari hati. Tak urung, aku sandarkan diriku, merendahkan tempat dudukku, menikmati lagu itu, mencerna liriknya. Tanpa terasa, air mata menetes di pipiku.
Lagu itu bercerita tentang aku, tentang orang yang kehilangan banyak hal dalam hidupnya. Tentang orang yang mempersiapkan masa depan, tapi kehilangan masa kini. Tentang nasihat seorang tua pada anaknya, ''Son, don't miss your life.'' Air mata itu masih hangat di pipiku. Orang sering mendapat nasihat, aku sudah banyak ikut pelatihan. Kadang-kadang yang mereka perlukan hanya nada yang tepat yang menghunjam perasaan. Kali ini, itu diwakili oleh sebuah lagu.
Pundakku diketuk lagi. Orang yang sama datang kembali. Sebuah tissue tersedia di tangannya. Ia tahu aku akan menangis. Ia duduk di kursinya, dan kembali bicara, ''Ada lima kunci kebahagiaan. Yang pertama, savoring. Menikmati setiap hal, begitu rupa, hingga hal-hal kecil yang kau anggap biasa. Dulu, waktu aku masih kecil, ibu kerap membagi sekerat buah mangga untukku dan saudara. Tersedia pilihan: kau pilih dagingnya atau bijinya. Aneh, kami sering berebut dapat biji. Padahal dagingnya sedikit. Rupanya kenikmatan datang dari menjilatinya. Minum dari gelas langsung lebih enak dari minum lewat sedotan. Anak-anak sekarang kehilangan itu. Savoring itu ibarat makan ikan hingga bersih tulang-tulangnya. Kau nikmati semuanya.''
Aku tak berkutik. Ini ceramah gratis dari orang yang bicara dari pengalaman. Kapan lagi dapat kelas ribuan mil tingginya di antara awan, ''Kau tahu,'' masih katanya lagi, ''aku kehilangan itu dari anak-anakku. Aku jarang belai rambut mereka. Tidak aku sentuh jari jemari mereka. Dan kini, tiba-tiba mereka sudah besar, sudah dewasa. Tahukah kau, aku sediakan segala yang sudah kusiapkan untuk mereka: kampus yang baik, kendaraan, gadget terbaru. Mereka menerimanya dengan sukacita. Dan kurasakan kekosongan. Sekarang, setelah semua itu, justru aku ingin bersama mereka. Setiap kali melihat mereka, batinku menjerit 'datanglah kemari, peluklah ayahmu yang sudah tua ini, peluk lama-lama…' tapi mereka terlalu malu untuk melakukannya. Kata mereka, 'kami bukan anak-anak lagi ayah…' dan aku menangis. Aku akan berkata, 'ayah tahu. Karena itulah ayah ingin memelukmu. Betapa banyak sudah kesempatan memelukmu hilang dari tanganku…' tapi aku tak bisa menyampaikan itu pada mereka.''
Aku terhentak. Adakah aku akan berakhir seperti dia. Kusiapkan masa depan anak-anakku, padahal yang mereka butuhkan adalah hari ini. Bagaimana aku berharap pelukan mereka nanti, kalau aku tidak memeluk mereka hari ini.
Aku menoleh. Kali ini tatapku tajam, ''Pak,'' ucapku membuka kata, ''Terima kasih. Terima kasih. Bapak sudah menyadarkan aku. Boleh aku tahu empat rahasia kebahagiaan berikutnya?'' Aku tutup laptopku. Aku rapikan mejaku. Aku raih telepon genggamku. Dan kuperlihatkan kepadanya foto anak-anakku, ''Lihat, ini mereka. Kebahagiaanku, mata hatiku. Beri tahu aku empat sisanya, sehingga tidak kukecewakan mereka...''
Ia meraih teleponku. Memandang pada gambar putriku yang sedang tersenyum dan menampakkan ompong giginya. Lalu ia mengambil sesuatu dari sakunya. Ia serahkan kembali teleponku. ''Kau punya anak yang manis.'' katanya, ''Ini kartu namaku. Kalau kau ingin tahu sisanya, hubungi aku saat kau sedang jauh dari putrimu. Aku akan kabari sisanya.''
''Mengapa tidak sekarang?'' Pintaku penasaran.
''Karena aku ingin kau menikmati rasa penasaranmu. Aku ingin kau menikmati beragam penyesalanmu. Ingat, savoring. Selamat malam'' Ia tersenyum. Ia ingin menutup pembicaraan.
Pesawatku baru sejam merangkak di udara. Jarak antara Jakarta - Guangzhou masih lama. Tapi aku sudah merasakan kerinduan. Aku sudah rindu pulang. Lirik Phil Vassar lantang terdengar, ''hold on tight cause it don't happen twice…son, don't miss your life…''
Sesal itu sudah mulai bermunculan. Wajah anakku terbayang jelas. Banyak yang akan kita lakukan nanti. Tunggu aku pulang, Nak. Wajah istriku lembut terlihat. Aku berhutang maaf padamu sayang. Dan wajah kedua orangtuaku…ahh, anakmu ini harus tersungkur di bawah kakimu.
Pada akhirnya adalah penyesalan. Tapi entah bagaimana, sebatas menyesal saja…sudah muncul kebahagiaan. Aku simpan laptopku. Aku tutup jendela kabinku. Lampu baca kumatikan. Stiker 'don't disturb' kupasang di bahu. Aku hanya ingin tidur. Akan kukenang kalian duhai kekasih, dan kujumpai kau dalam tidurku.
Selamat malam, sayang.