Ust Miftah Fauzi Rakhmat
Iklan jam tangan Rolex tahun 1953 itu istimewa. Ia akan senantiasa dikenang dalam sejarah. Tiga orang pendaki, memandang ke atas, ke arah gunung tinggi. Tersenyum seolah berkata, "Aku telah taklukkan kamu, aku sudah berada di atas sana." Sir Edmund Hillary, Kolonel Sir John Hunt, dan Tenzing Norgay GM berpose dengan gagahnya. Senyuman Norgay paling lebar di antara yang lainnya.
Iklan jam tangan Rolex tahun 1953 itu istimewa. Ia akan senantiasa dikenang dalam sejarah. Tiga orang pendaki, memandang ke atas, ke arah gunung tinggi. Tersenyum seolah berkata, "Aku telah taklukkan kamu, aku sudah berada di atas sana." Sir Edmund Hillary, Kolonel Sir John Hunt, dan Tenzing Norgay GM berpose dengan gagahnya. Senyuman Norgay paling lebar di antara yang lainnya.
Sejak ekspedisi itu, jam tangan mahal itu identik dengan petualangan. Jauh sebelumnya, duapuluh tahun sebelumnya penjelajahan untuk menaklukkan puncak tertinggi dunia sudah dimulai, dan Rolex senantiasa menjadi bagian di dalamnya. Ada yang mengartikannya namanya sebagai 'royal expedition' atau 'royal exploration'. Apa pun itu, ia telah meninggalkan jejak yang tak bisa disaingi oleh siapa pun selainnya. Ia telah membuat jam itu lebih dari sekadar alat penunjuk waktu.
Jejak itu kita sebut 'imprint'. Inilah yang ditinggalkan oleh siapa saja. Imprint leluhur kita ada pada kita. Dan jejak kita akan tampak pada anak cucu kita. Pertanyaannya, jejak seperti apa yang akan melekat selamanya?
Imprint dan pesan yang ingin disampaikan Rolex jelas: ketahanan dan keterpilihan. Bahwa tak banyak orang sampai ke puncak itu. Ia membangun imaji diri, arloji ini dikhususkan bagi orang terpilih yang punya daya tahan luar biasa. Orang-orang yang teruji. Bersama satu produk, ada cerita yang dibangunnya.
Tigabelas tahun sebelum Rolex, sebuah perusahaan minuman soda berusaha membuat jejak--mengutip Longfellow -- dalam pasiran masa, footprints on the sands of time. Minuman berkaleng itu Coca Cola namanya. Sejak awal berdiri, ia identik dengan warna merah dan putih. Lalu bagaimana caranya ia meninggalkan jejak yang berbeda setelahnya, yang takkan pernah tertandingi selamanya? Coca Cola muncul dengan imaji Sinterklas yang terkenal itu, lengkap dengan warna merah dan putih yang menyertainya, warna produknya itu. Tahun 1920-an, Sinterklas masih digambarkan sebagai sosok manusia menyerupai liliput. Barulah pada tahun 1930, Haddon Sundblom 'menyulap' Sinterklas menjadi ikon Santa Klaus yang kita kenal sekarang ini: bercambang lebat, bertubuh tambun, persis seperti orang yang banyak minum. Ia tersenyum, "Hohoho," dan berkata, "a pause that refreshes." Citra yang melekat hingga sekarang.
Dalam teori iklan, ada yang disebut "subliminal seduction, subliminal messages", pesan-pesan bawah sadar yang dihembuskan pelan-pelan. Kita digiring pada satu pemahaman. Kita dibawa pada satu pandangan.
Rolex dan Coca Cola boleh jadi telah menyampaikan pesan tersembunyi itu: Rolex untuk eksklusivisme dan 'endurance' dan Coca Cola untuk jeda yang menyegarkan itu, untuk sebuah liburan yang hangat, untuk sukacita dan kebahagiaan yang erat.
Rolex dan Coca Cola telah membawa kita untuk memberikan makna lebih dari apa yang terlihat mata.
Memberikan makna itu disebut 'ibrah', artinya, menyeberangkan. Ta'bir mimpi berasal dari akar kata yang sama. 'Ibrah juga dipahami sebagai hikmah. Ketika kita berusaha melihat sesuatu jauh melebihi batas-batas peristiwa yang menyertainya. Ibarat (juga termasuk derivasinya) menyeberangkan perahu dari satu tepi pantai ke tepian yang lainnya. Dan betapa jauhnya penyeberangan itu.
Maka segala sesuatu yang kita hadapi, harus selalu kita maknai. Ia senantiasa kita seberangkan ke pemaknaan yang lebih tinggi. Misalnya, godaan terbesar di bulan suci bukanlah musuh yang tampak; bukan pula sajian yang dihidangkan di depan mata. Kita masih bisa menahan lapar, haus dan sejenisnya. Bahkan -- berbeda dengan kebiasaan di negeri ini -- melihat orang lain makan ketika puasa adalah pahala berlipat ganda. Itu sabda Nabi Saw sang Baginda. Tapi di negeri ini, kita justru memasang tirai di tempat-tempat makan, menghalangi kemungkinan pahala itu. Yang tidak berpuasa diminta menghormati yang puasa. Padahal yang puasa juga sama wajibnya menghormati yang tidak.
Godaan terbesar di bulan suci adalah pesan-pesan alam bawah sadar itu. Selama ini, karena tubuh terlalu dimanja, kita lupa akan ruh. Ketika karena puasa, ruh diberikan ruangnya, ia pun menghadapi medan juang yang sebenarnya.
Karena sungguh, manusia adalah makhluk yang tak pernah bisa menyepi, tak pernah bisa sepi. Selalu ada kata di kepala. Selalu ada ucap terdengar di dalam jiwa.
Di bulan ini, kita diajak untuk menjadikan alam bawah sadar itu 'sadar'. Kita diajar untuk mengesampingkan yang sublim itu. Kita lepaskan citra, kita usir imaji, kita tolak ilusi sementara. Inilah yang disebut menyeberang. Kita harus mampu membawa apa yang kita lihat menuju sesuatu yang tak bisa kita lihat.
Bila puasa kita hanya menahan lapar saja, kita belum menyeberang. Bila puasa kita hanya tak minum saja, kita belum menjalaninya. Bila puasa kita hanya mengendalikan tubuh lahiriah…kita belum memahaminya.
Kopi yang dijual di Starbucks mungkin sama dengan kopi di kedai lainnya, tapi mengapa harganya berbeda? Karena ia 'menyeberang' dari yang biasanya. Ia memberikan arti yang berbeda. Yang dijual bukan lagi minuman kopi, yang dijual adalah cara dan suasana meminumnya.
Maka setiap ibadah selayaknya menyeberangkan diri kita. Untuk apa puasa? Merasakan penderitaan sesama? Seberangkan lebih jauh lagi. Untuk merendahkan diri kita? Maknai lebih dalam lagi. Untuk menghilangkan keberadaan kita? Bawa dan bawa lebih jauh lagi…
Untuk apa shalat, berderma, dan berzakat? Untuk apa berhaji dan berba'iat? Bila kita memaknainya sekadar menunaikan kewajiban, kita belum menyeberang. Sebagai ungkapan syukur pada Tuhan? Mungkin kita baru sekadar 'naik' ke perahu itu dengan makna itu. Lalu sebagai apa saat kita mengarungi samuderanya? Ia hanya diketahui manakala kita menjalaninya.
Di sinilah kita perlu sebaik-baiknya kawan, sebaik-baiknya kendaraan. Ialah tuntunan yang memandu kita memaknai kehidupan. Kita perlu sahabat yang meringankan perjalanan berat. Kata Amiril Mu'minin, Ali 'alaihis salam: "Sahabatmu ada tiga: sahabatmu, sahabat dari sahabatmu, dan musuh dari musuhmu. Begitu pula musuhmu, ia ada tiga: musuhmu, sahabat dari musuhmu, dan musuh dari sahabatmu." Mereka yang akan membantu kita mengarungi samudera makna kehidupan.
Bila ada orang mencintai seseorang begitu rupa, memujanya, memujinya, berusaha memahami perilakunya, membela dengan keyakinan dan pendapatnya…ia bukan sekadar mencintai. Di dalamnya ada jati diri. Ada cerminan pemenuhan dari yang dirasa kurang selama ini.
Bila saya mencintai keluarga Nabi Saw, ia lebih dari hanya kewajiban. Cinta keluarga Nabi itu kebutuhan. Bahkan ia lebih dari kebutuhan, ia pelita perjalanan. Bahkan ia lebih dari pelita perjalanan, dan seterusnya.
Begitu pula sebaliknya, bila ada yang bergabung dengan para pembenci keluarga Nabi Saw, kemudian memeranginya, ia lebih dari hanya cinta dunia, jabatan, atau kepentingan sesaat saja. Di baliknya juga ada makna: ketertundukkan pada sang raja penggoda itu, yang juga berusaha keras menggelincirkan manusia dari makna yang sejati dengan senantiasa memainkan ilusi.
Dunia ini panggung makna. Hidup ini samudera arti. Cobalah lihat lebih jauh. Telusuri lebih dalam. Untuk apa semua cinta? Agar bergabung dengan para kekasih hati. Untuk apa punya pemimpin? Agar membimbing kita dalam menjalaninya.
Bulan suci mengajarkan kita kedalaman makna. Puasa lebih dari sekadar lapar dan dahaga. Ia lebih dari hanya menahan raga. Ia latihan untuk jiwa, agar menyempurna dan menyempurna, sehingga laku itu tercermin dalam kata dan rupa.
Maka foto tiga pendaki memandang Himalaya itu bukan sebuah kenangan saja. Ia telah membawa manusia menyeberangkan banyak hal, bahwa ia bisa melakukan apa saja. Tenzing dan dua kawannya telah meninggalkan jejak itu. Bahwa rintangan setinggi apa pun dapat ditaklukkan.
Lalu apa imprint kehadiran kita di dunia? Apa jejak yang kita tinggalkan di pasiran masa? Apa pesan yang akan kita 'seberangkan' ke anak cucu kita'? Manakala mengenang kita, kata apa yang kelak akan mengemuka?
Tarik seratus tahun ke depan, dan seorang anak di masa depan melihat foto kita. Apa yang akan muncul di kepalanya? Oh, inilah orang yang mengubah dunia. Ini dia yang cinta sesama. Ini dia yang memupuk benih cinta. Ini dia yang merindukan Sang Baginda, yang memperkenalkan sebaik-baiknya teladan manusia. Ataukah yang muncul kata-kata sebaliknya…
Seperti foto tiga penjelajah itu, yang akan abadi hingga seratus tahun setelahnya.
Senyum Tenzing terlihat paling lebar. Sherpa (pemandu) asal Nepal ini terlihat sumringah. Ia menemani dua kawannya sampai ke dataran tertinggi di dunia. Hanya ia dan Hillary yang benar-benar sampai ke puncaknya. Ketika mereka turun, wartawan bertanya, "Siapakah penginjak kaki pertama? Siapa manusia pertama di atas sana? Siapa yang sampai lebih dahulu di sana?" Sebagai pemandu yang berpengalaman, Tenzing ditengarai tiba yang pertama. Tapi ia hanya tersenyum, begitu juga Hillary. Mereka berdua memilih tak menjawabnya.
Senyum Tenzing jadi pesan hingga akhir masa. Hanya satu senyum tapi ia bisa menyeberangkan beragam makna. Misteri yang tak pernah dapat direka.
Kini, ke arah manakah puasa dan bulan suci akan menyeberangkan kita?
Sumber: Majulah-IJABI. Diakses 3 Juli 2014
Jejak itu kita sebut 'imprint'. Inilah yang ditinggalkan oleh siapa saja. Imprint leluhur kita ada pada kita. Dan jejak kita akan tampak pada anak cucu kita. Pertanyaannya, jejak seperti apa yang akan melekat selamanya?
Imprint dan pesan yang ingin disampaikan Rolex jelas: ketahanan dan keterpilihan. Bahwa tak banyak orang sampai ke puncak itu. Ia membangun imaji diri, arloji ini dikhususkan bagi orang terpilih yang punya daya tahan luar biasa. Orang-orang yang teruji. Bersama satu produk, ada cerita yang dibangunnya.
Tigabelas tahun sebelum Rolex, sebuah perusahaan minuman soda berusaha membuat jejak--mengutip Longfellow -- dalam pasiran masa, footprints on the sands of time. Minuman berkaleng itu Coca Cola namanya. Sejak awal berdiri, ia identik dengan warna merah dan putih. Lalu bagaimana caranya ia meninggalkan jejak yang berbeda setelahnya, yang takkan pernah tertandingi selamanya? Coca Cola muncul dengan imaji Sinterklas yang terkenal itu, lengkap dengan warna merah dan putih yang menyertainya, warna produknya itu. Tahun 1920-an, Sinterklas masih digambarkan sebagai sosok manusia menyerupai liliput. Barulah pada tahun 1930, Haddon Sundblom 'menyulap' Sinterklas menjadi ikon Santa Klaus yang kita kenal sekarang ini: bercambang lebat, bertubuh tambun, persis seperti orang yang banyak minum. Ia tersenyum, "Hohoho," dan berkata, "a pause that refreshes." Citra yang melekat hingga sekarang.
Dalam teori iklan, ada yang disebut "subliminal seduction, subliminal messages", pesan-pesan bawah sadar yang dihembuskan pelan-pelan. Kita digiring pada satu pemahaman. Kita dibawa pada satu pandangan.
Rolex dan Coca Cola boleh jadi telah menyampaikan pesan tersembunyi itu: Rolex untuk eksklusivisme dan 'endurance' dan Coca Cola untuk jeda yang menyegarkan itu, untuk sebuah liburan yang hangat, untuk sukacita dan kebahagiaan yang erat.
Rolex dan Coca Cola telah membawa kita untuk memberikan makna lebih dari apa yang terlihat mata.
Memberikan makna itu disebut 'ibrah', artinya, menyeberangkan. Ta'bir mimpi berasal dari akar kata yang sama. 'Ibrah juga dipahami sebagai hikmah. Ketika kita berusaha melihat sesuatu jauh melebihi batas-batas peristiwa yang menyertainya. Ibarat (juga termasuk derivasinya) menyeberangkan perahu dari satu tepi pantai ke tepian yang lainnya. Dan betapa jauhnya penyeberangan itu.
Maka segala sesuatu yang kita hadapi, harus selalu kita maknai. Ia senantiasa kita seberangkan ke pemaknaan yang lebih tinggi. Misalnya, godaan terbesar di bulan suci bukanlah musuh yang tampak; bukan pula sajian yang dihidangkan di depan mata. Kita masih bisa menahan lapar, haus dan sejenisnya. Bahkan -- berbeda dengan kebiasaan di negeri ini -- melihat orang lain makan ketika puasa adalah pahala berlipat ganda. Itu sabda Nabi Saw sang Baginda. Tapi di negeri ini, kita justru memasang tirai di tempat-tempat makan, menghalangi kemungkinan pahala itu. Yang tidak berpuasa diminta menghormati yang puasa. Padahal yang puasa juga sama wajibnya menghormati yang tidak.
Godaan terbesar di bulan suci adalah pesan-pesan alam bawah sadar itu. Selama ini, karena tubuh terlalu dimanja, kita lupa akan ruh. Ketika karena puasa, ruh diberikan ruangnya, ia pun menghadapi medan juang yang sebenarnya.
Karena sungguh, manusia adalah makhluk yang tak pernah bisa menyepi, tak pernah bisa sepi. Selalu ada kata di kepala. Selalu ada ucap terdengar di dalam jiwa.
Di bulan ini, kita diajak untuk menjadikan alam bawah sadar itu 'sadar'. Kita diajar untuk mengesampingkan yang sublim itu. Kita lepaskan citra, kita usir imaji, kita tolak ilusi sementara. Inilah yang disebut menyeberang. Kita harus mampu membawa apa yang kita lihat menuju sesuatu yang tak bisa kita lihat.
Bila puasa kita hanya menahan lapar saja, kita belum menyeberang. Bila puasa kita hanya tak minum saja, kita belum menjalaninya. Bila puasa kita hanya mengendalikan tubuh lahiriah…kita belum memahaminya.
Kopi yang dijual di Starbucks mungkin sama dengan kopi di kedai lainnya, tapi mengapa harganya berbeda? Karena ia 'menyeberang' dari yang biasanya. Ia memberikan arti yang berbeda. Yang dijual bukan lagi minuman kopi, yang dijual adalah cara dan suasana meminumnya.
Maka setiap ibadah selayaknya menyeberangkan diri kita. Untuk apa puasa? Merasakan penderitaan sesama? Seberangkan lebih jauh lagi. Untuk merendahkan diri kita? Maknai lebih dalam lagi. Untuk menghilangkan keberadaan kita? Bawa dan bawa lebih jauh lagi…
Untuk apa shalat, berderma, dan berzakat? Untuk apa berhaji dan berba'iat? Bila kita memaknainya sekadar menunaikan kewajiban, kita belum menyeberang. Sebagai ungkapan syukur pada Tuhan? Mungkin kita baru sekadar 'naik' ke perahu itu dengan makna itu. Lalu sebagai apa saat kita mengarungi samuderanya? Ia hanya diketahui manakala kita menjalaninya.
Di sinilah kita perlu sebaik-baiknya kawan, sebaik-baiknya kendaraan. Ialah tuntunan yang memandu kita memaknai kehidupan. Kita perlu sahabat yang meringankan perjalanan berat. Kata Amiril Mu'minin, Ali 'alaihis salam: "Sahabatmu ada tiga: sahabatmu, sahabat dari sahabatmu, dan musuh dari musuhmu. Begitu pula musuhmu, ia ada tiga: musuhmu, sahabat dari musuhmu, dan musuh dari sahabatmu." Mereka yang akan membantu kita mengarungi samudera makna kehidupan.
Bila ada orang mencintai seseorang begitu rupa, memujanya, memujinya, berusaha memahami perilakunya, membela dengan keyakinan dan pendapatnya…ia bukan sekadar mencintai. Di dalamnya ada jati diri. Ada cerminan pemenuhan dari yang dirasa kurang selama ini.
Bila saya mencintai keluarga Nabi Saw, ia lebih dari hanya kewajiban. Cinta keluarga Nabi itu kebutuhan. Bahkan ia lebih dari kebutuhan, ia pelita perjalanan. Bahkan ia lebih dari pelita perjalanan, dan seterusnya.
Begitu pula sebaliknya, bila ada yang bergabung dengan para pembenci keluarga Nabi Saw, kemudian memeranginya, ia lebih dari hanya cinta dunia, jabatan, atau kepentingan sesaat saja. Di baliknya juga ada makna: ketertundukkan pada sang raja penggoda itu, yang juga berusaha keras menggelincirkan manusia dari makna yang sejati dengan senantiasa memainkan ilusi.
Dunia ini panggung makna. Hidup ini samudera arti. Cobalah lihat lebih jauh. Telusuri lebih dalam. Untuk apa semua cinta? Agar bergabung dengan para kekasih hati. Untuk apa punya pemimpin? Agar membimbing kita dalam menjalaninya.
Bulan suci mengajarkan kita kedalaman makna. Puasa lebih dari sekadar lapar dan dahaga. Ia lebih dari hanya menahan raga. Ia latihan untuk jiwa, agar menyempurna dan menyempurna, sehingga laku itu tercermin dalam kata dan rupa.
Maka foto tiga pendaki memandang Himalaya itu bukan sebuah kenangan saja. Ia telah membawa manusia menyeberangkan banyak hal, bahwa ia bisa melakukan apa saja. Tenzing dan dua kawannya telah meninggalkan jejak itu. Bahwa rintangan setinggi apa pun dapat ditaklukkan.
Lalu apa imprint kehadiran kita di dunia? Apa jejak yang kita tinggalkan di pasiran masa? Apa pesan yang akan kita 'seberangkan' ke anak cucu kita'? Manakala mengenang kita, kata apa yang kelak akan mengemuka?
Tarik seratus tahun ke depan, dan seorang anak di masa depan melihat foto kita. Apa yang akan muncul di kepalanya? Oh, inilah orang yang mengubah dunia. Ini dia yang cinta sesama. Ini dia yang memupuk benih cinta. Ini dia yang merindukan Sang Baginda, yang memperkenalkan sebaik-baiknya teladan manusia. Ataukah yang muncul kata-kata sebaliknya…
Seperti foto tiga penjelajah itu, yang akan abadi hingga seratus tahun setelahnya.
Senyum Tenzing terlihat paling lebar. Sherpa (pemandu) asal Nepal ini terlihat sumringah. Ia menemani dua kawannya sampai ke dataran tertinggi di dunia. Hanya ia dan Hillary yang benar-benar sampai ke puncaknya. Ketika mereka turun, wartawan bertanya, "Siapakah penginjak kaki pertama? Siapa manusia pertama di atas sana? Siapa yang sampai lebih dahulu di sana?" Sebagai pemandu yang berpengalaman, Tenzing ditengarai tiba yang pertama. Tapi ia hanya tersenyum, begitu juga Hillary. Mereka berdua memilih tak menjawabnya.
Senyum Tenzing jadi pesan hingga akhir masa. Hanya satu senyum tapi ia bisa menyeberangkan beragam makna. Misteri yang tak pernah dapat direka.
Kini, ke arah manakah puasa dan bulan suci akan menyeberangkan kita?
Sumber: Majulah-IJABI. Diakses 3 Juli 2014