Ust. Miftah Fauzi Rakhmat
Belanda versus Costarica, perempat final Piala Dunia 2014. Negara dengan tradisi runner up dalam berbagai kompetisi berhadapan dengan sebuah negara kecil berpenghuni tak lebih dari lima juta. Apa saja bisa terjadi dalam sepak bola. Belanda dengan bintang-bintang besar melawan si kecil yang bergeliat berjuang. Si kecil bertahan melawan gempuran. 120 menit lamanya, hingga sampai juga pada penentuan: pemenang pertandingan harus ditentukan berbagi tendangan penalti dalam lima kesempatan.
Belanda versus Costarica, perempat final Piala Dunia 2014. Negara dengan tradisi runner up dalam berbagai kompetisi berhadapan dengan sebuah negara kecil berpenghuni tak lebih dari lima juta. Apa saja bisa terjadi dalam sepak bola. Belanda dengan bintang-bintang besar melawan si kecil yang bergeliat berjuang. Si kecil bertahan melawan gempuran. 120 menit lamanya, hingga sampai juga pada penentuan: pemenang pertandingan harus ditentukan berbagi tendangan penalti dalam lima kesempatan.
Manajer Belanda mengganti kiper di menit terakhir jelang jeda. Bukan hanya untuk menyuntikkan tenaga baru, tapi juga untuk memberikan pesan pada lawannya, bahwa mereka telah bersiap untuk apa pun yang akan terjadi. Sebuah perang psikologis. Dan terbukti, Belanda memenangi pertandingan itu. Kiper yang baru masuk itu mementahkan dua bola yang ditendang lawan. Ia pun membaca benar arah tembakan yang lainnya.
Adakah ini keberuntungan? Ataukah kejeniusan strategi dari sekian banyak pengalaman?
Jauh sebelum Van Gaal, manajer jenius itu, Mike Buskens dari Greuter Furth mencoba hal yang sama. Dalam semifinal Piala Jerman (DfB Pokal) melawan Borrusia Dortmund ia mengganti kiper tepat jelang pergantian perpanjangan waktu yang kedua. Tapi 'nasib'nya berbeda. Ia dan timnya kalah. Apakah ia kurang beruntung? Ataukah Dewi Fortuna kurang berkenan?
Dalam pertandingan sepak bola, juga dalam kontestasi kehidupan yang lainnya, kata 'keberuntungan' kerap digunakan. Apa itu beruntung, apa itu tidak beruntung? Yang mana good luck, yang seperti apakah bad luck? Apakah kita benar-benar akan mengetahuinya?
Seperti sebuah kisah Tiongkok kuno. Seorang pemuda jatuh dari kuda dan patah kakinya. Nasib baik atau nasib buruk? Good luck or bad luck? Biasanya kita akan segera menjawab: nasib buruk. Kisah tak berhenti di situ. Kemudian datang titah raja: siapa pun pemuda yang sehat harus berangkat ke garis depan untuk berperang. Semua pemuda di kampung itu berangkat, kecuali pemuda yang patah kakinya. Sekarang, apakah patah kakinya itu nasib baik atau nasib buruk?
Jauh sebelum sampai ke garis depan, perang ternyata sudah berakhir, dan semua pemuda yang berangkat diberi hadiah sekantung emas. Semua memperolehnya, kecuali pemuda yang patah kakinya. Nasib baik atau nasib buruk?
Kisah masih belum berhenti. Kantung emas hadiah ternyata merupakan pinjaman. Dan raja mengenakan pajak yang membelit rakyat. Semua kesulitan membayar pajak itu, kecuali pemuda yang patah kakinya. Apakah patah kaki itu baik atau buruk?
Tak kurang sampai duabelas perubahan cerita. Pada masing-masing penggalan, baik dan buruk itu berubah-ubah. Bisa baik, bisa buruk. Kita tak pernah sepenuhnya tahu.
Menarik untuk menyimak bagaimana kitab suci menyandingkannya dengan hidup manusia. Perhitungan kita sebenarnya bukan baik dan buruk, melainkan suka dan tidak. Baik buruk ditentukan nalar dan panduan para teladan. Suka dan benci dibicarakan hati. Terkadang ada garis tipis di antara keduanya, setipis 'kejeniusan' Van Gaal atau 'kegilaan'. Dalam sepak bola, bergantung hasil akhirnya. Jenius, bila menang. Gila, jika kemudian dikalahkan.
Menurut firman kudsiah itu, ..Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui (QS. Al-Baqarah [2]:216)
Baik dan buruk di tangan Dia. Suka dan benci, itu yang di tangan kita.
Kita mungkin memenuhi laman sosial media kita dengan pujaan pada seseorang. Baikkah ia? Mungkin karena suka dan jatuh cinta. Ketika di dunia maya kehormatan Sang Teladan suci kerap dijatuhkan, adakah kita mencurahkan waktu dan dedikasi yang sama untuk membelanya, menegakkan kehormatan itu? Ia dipastikan baiknya karena sesuai panduan. Tapi mungkin tidak dengan mudah dekat dengan kecintaan.
Bagaimana kita memahami 'keberuntungan' itu dengan ketentuan (Tuhan)? Dalam konteks keyakinan keberagamaan, ada yang disebut qadha dan ada yang dikenal qadar. Bagaimana membedakan keduanya? Konon ada yang menjelaskan, yang satu baik dan yang lain buruk. Tetapi, seperti kisah Tiongkok itu, tahukah kita mana yang benar-benar baik bagi kita?
Ketika Baginda teladan kekasih hati mengunjungi sahabatnya yang sedang sakit, sang petualang dari Persia itu, beliau bersabda, "Dalam sakit ada tiga karunia: doamu diijabah, dosamu diampuni, dan pahalamu ditambah." Sakit menjadi berkah.
Dalam munajatnya, Imam Zainal Abidin -- ridha Tuhan baginya, kakek dan datuknya, dan keturunannya yang dimuliakan -- berdoa, "Tuhanku, aku tak tahu mana yang harus lebih kusyukuri? Saat sehatku ketika aku dapat beribadah kepadaMu, atau sakitku ketika Kauijabah doaku." Baik sakit maupun sehat, keduanya menjadi kebaikan.
Segala sesuatu dari Tuhan indah, karena Dia Sang Mahaindah. Semuanya sempurna, karena Yang Mahasempurna yang telah menghadirkannya.
Itulah ketentuan. Adapun kadarnya, bentuknya, bagaimana ia sampai pada kita, di sinilah letak usaha kita. Di sini kerja keras kita. Di sini seluruh ucapan, tulisan, buah pikir dan perbuatan menemukan perwujudannya.
Kata Lao Tze, "Watch your thoughts; they become words. Watch your words, they become actions. Watch your actions, they become habit. Watch your habits, they become character. Watch your character; it becomes your destiny." (Perhatikan pikiran-pikiranmu, ia akan menjadi kata-katamu. Perhatikan kata-katamu, ia akan jadi tindakanmu. Perhatikan tindakanmu, ia akan menjadi kebiasaanmu. Perhatikan kebiasaanmu, ia akan menjadi karaktermu. Perhatikan karaktermu, ia akan menjadi takdirmu, red.)
Kadar itu kita sebut 'destiny', takdir. Ia bersumber dari pikir kita, dari kata kita, dari laku kita, dari kebiasaan dan -- kemudian -- jati diri kita.
Inilah mengapa, bahkan untuk satu kata pun, kita perlu berhati-hati, sebelum ia keluar dari lisan kita. Sungguh, banyak dosa dan celaka itu ada pada dua, kata Al-Ghazali mengutip riwayat para teladan: pada menjaga apa yang ada di antara mulut dan selangkangan. Bila kita terpelihara dari yang kedua, maka sebab tergelincir kita, dipastikan dari yang pertama.
Tak ada keberuntungan dalam perjuangan. Yang ada adalah usaha dan sepenuh pengabdian. Do your best. God will take care the rest. (Lakukan yang terbaik, sisanya serahkan kepada Tuhan, red.)
Van Gaal dan timnya sudah bekerja keras untuk itu. Dan kerja keras tiada batasnya. Mencoba berbagai alternatif adalah anugerah yang Tuhan berikan pada makhlukNya. Barulah bersamaan dengan itu, buah kerja keras itu kita terima.
Bayangkan ratusan rakyat yang berteriak meminta pemimpin yang adil dihadirkan bagi mereka. Bayangkan sejuta tangis dan peluh keringat mengalir di pipi mereka. Bayangkan kehadiran di bilik-bilik suara untuk menyampaikan pilihan mereka. Ini bukan keberuntungan. Ini kerja keras tak berkesudahan.
Dan di antaranya, hadirlah doa-doa dan kepasrahan. Alangkah indahnya. Setelah seluruh kerja keras, lalu dihadirkan kepasrahan. KepadaMu jua Wahai Junjungan, kami haturan sepenuh permohonan.
Tahukah kita, dalam karakter kartun Disney yang melegenda itu, ada Untung yang selalu beruntung, dan Donal yang tak henti-hentinya sial.
Tetapi Untung dengan seluruh keberuntugannya tak dapat memiliki sesuatu yang sangat diinginkan dan disukainya: yaitu cinta Desi yang dikasihinya. Donal dengan sepenuh kesialannya, ialah yang beroleh cinta itu.
Boleh jadi kita ditimpa kemalangan, tapi kita beruntung bila beroleh cinta sejati itu.
Seperti seorang sahabat yang datang pada Amirul Mu'minin dan mengeluh, "Aku ini orang miskin, Ya Imam."
Menantu terkasih Nabi suci itu menjawab, "Kamu orang kaya!"
"Bagaimana mungkin ya Imam, sedang aku tidak punya apa-apa?"
"Kecintaanmu kepada kami, Ahlul Bait Rasulullah Saw. Maukah kautukarkan cintamu dengan seribu dirham?"
"Tidak ya Imam,"
"Sepuluh ribu dirham?"
"Tidak duhai junjungan."
"Seratus ribu?"
"Tidak akan pernah, wahai Imam…"
"Lalu bagaimana mungkin kau berkata, kau tidak punya apa-apa..."
Keberuntungan sejati adalah kecintaan.
Adakah ini keberuntungan? Ataukah kejeniusan strategi dari sekian banyak pengalaman?
Jauh sebelum Van Gaal, manajer jenius itu, Mike Buskens dari Greuter Furth mencoba hal yang sama. Dalam semifinal Piala Jerman (DfB Pokal) melawan Borrusia Dortmund ia mengganti kiper tepat jelang pergantian perpanjangan waktu yang kedua. Tapi 'nasib'nya berbeda. Ia dan timnya kalah. Apakah ia kurang beruntung? Ataukah Dewi Fortuna kurang berkenan?
Dalam pertandingan sepak bola, juga dalam kontestasi kehidupan yang lainnya, kata 'keberuntungan' kerap digunakan. Apa itu beruntung, apa itu tidak beruntung? Yang mana good luck, yang seperti apakah bad luck? Apakah kita benar-benar akan mengetahuinya?
Seperti sebuah kisah Tiongkok kuno. Seorang pemuda jatuh dari kuda dan patah kakinya. Nasib baik atau nasib buruk? Good luck or bad luck? Biasanya kita akan segera menjawab: nasib buruk. Kisah tak berhenti di situ. Kemudian datang titah raja: siapa pun pemuda yang sehat harus berangkat ke garis depan untuk berperang. Semua pemuda di kampung itu berangkat, kecuali pemuda yang patah kakinya. Sekarang, apakah patah kakinya itu nasib baik atau nasib buruk?
Jauh sebelum sampai ke garis depan, perang ternyata sudah berakhir, dan semua pemuda yang berangkat diberi hadiah sekantung emas. Semua memperolehnya, kecuali pemuda yang patah kakinya. Nasib baik atau nasib buruk?
Kisah masih belum berhenti. Kantung emas hadiah ternyata merupakan pinjaman. Dan raja mengenakan pajak yang membelit rakyat. Semua kesulitan membayar pajak itu, kecuali pemuda yang patah kakinya. Apakah patah kaki itu baik atau buruk?
Tak kurang sampai duabelas perubahan cerita. Pada masing-masing penggalan, baik dan buruk itu berubah-ubah. Bisa baik, bisa buruk. Kita tak pernah sepenuhnya tahu.
Menarik untuk menyimak bagaimana kitab suci menyandingkannya dengan hidup manusia. Perhitungan kita sebenarnya bukan baik dan buruk, melainkan suka dan tidak. Baik buruk ditentukan nalar dan panduan para teladan. Suka dan benci dibicarakan hati. Terkadang ada garis tipis di antara keduanya, setipis 'kejeniusan' Van Gaal atau 'kegilaan'. Dalam sepak bola, bergantung hasil akhirnya. Jenius, bila menang. Gila, jika kemudian dikalahkan.
Menurut firman kudsiah itu, ..Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui (QS. Al-Baqarah [2]:216)
Baik dan buruk di tangan Dia. Suka dan benci, itu yang di tangan kita.
Kita mungkin memenuhi laman sosial media kita dengan pujaan pada seseorang. Baikkah ia? Mungkin karena suka dan jatuh cinta. Ketika di dunia maya kehormatan Sang Teladan suci kerap dijatuhkan, adakah kita mencurahkan waktu dan dedikasi yang sama untuk membelanya, menegakkan kehormatan itu? Ia dipastikan baiknya karena sesuai panduan. Tapi mungkin tidak dengan mudah dekat dengan kecintaan.
Bagaimana kita memahami 'keberuntungan' itu dengan ketentuan (Tuhan)? Dalam konteks keyakinan keberagamaan, ada yang disebut qadha dan ada yang dikenal qadar. Bagaimana membedakan keduanya? Konon ada yang menjelaskan, yang satu baik dan yang lain buruk. Tetapi, seperti kisah Tiongkok itu, tahukah kita mana yang benar-benar baik bagi kita?
Ketika Baginda teladan kekasih hati mengunjungi sahabatnya yang sedang sakit, sang petualang dari Persia itu, beliau bersabda, "Dalam sakit ada tiga karunia: doamu diijabah, dosamu diampuni, dan pahalamu ditambah." Sakit menjadi berkah.
Dalam munajatnya, Imam Zainal Abidin -- ridha Tuhan baginya, kakek dan datuknya, dan keturunannya yang dimuliakan -- berdoa, "Tuhanku, aku tak tahu mana yang harus lebih kusyukuri? Saat sehatku ketika aku dapat beribadah kepadaMu, atau sakitku ketika Kauijabah doaku." Baik sakit maupun sehat, keduanya menjadi kebaikan.
Segala sesuatu dari Tuhan indah, karena Dia Sang Mahaindah. Semuanya sempurna, karena Yang Mahasempurna yang telah menghadirkannya.
Itulah ketentuan. Adapun kadarnya, bentuknya, bagaimana ia sampai pada kita, di sinilah letak usaha kita. Di sini kerja keras kita. Di sini seluruh ucapan, tulisan, buah pikir dan perbuatan menemukan perwujudannya.
Kata Lao Tze, "Watch your thoughts; they become words. Watch your words, they become actions. Watch your actions, they become habit. Watch your habits, they become character. Watch your character; it becomes your destiny." (Perhatikan pikiran-pikiranmu, ia akan menjadi kata-katamu. Perhatikan kata-katamu, ia akan jadi tindakanmu. Perhatikan tindakanmu, ia akan menjadi kebiasaanmu. Perhatikan kebiasaanmu, ia akan menjadi karaktermu. Perhatikan karaktermu, ia akan menjadi takdirmu, red.)
Kadar itu kita sebut 'destiny', takdir. Ia bersumber dari pikir kita, dari kata kita, dari laku kita, dari kebiasaan dan -- kemudian -- jati diri kita.
Inilah mengapa, bahkan untuk satu kata pun, kita perlu berhati-hati, sebelum ia keluar dari lisan kita. Sungguh, banyak dosa dan celaka itu ada pada dua, kata Al-Ghazali mengutip riwayat para teladan: pada menjaga apa yang ada di antara mulut dan selangkangan. Bila kita terpelihara dari yang kedua, maka sebab tergelincir kita, dipastikan dari yang pertama.
Tak ada keberuntungan dalam perjuangan. Yang ada adalah usaha dan sepenuh pengabdian. Do your best. God will take care the rest. (Lakukan yang terbaik, sisanya serahkan kepada Tuhan, red.)
Van Gaal dan timnya sudah bekerja keras untuk itu. Dan kerja keras tiada batasnya. Mencoba berbagai alternatif adalah anugerah yang Tuhan berikan pada makhlukNya. Barulah bersamaan dengan itu, buah kerja keras itu kita terima.
Bayangkan ratusan rakyat yang berteriak meminta pemimpin yang adil dihadirkan bagi mereka. Bayangkan sejuta tangis dan peluh keringat mengalir di pipi mereka. Bayangkan kehadiran di bilik-bilik suara untuk menyampaikan pilihan mereka. Ini bukan keberuntungan. Ini kerja keras tak berkesudahan.
Dan di antaranya, hadirlah doa-doa dan kepasrahan. Alangkah indahnya. Setelah seluruh kerja keras, lalu dihadirkan kepasrahan. KepadaMu jua Wahai Junjungan, kami haturan sepenuh permohonan.
Tahukah kita, dalam karakter kartun Disney yang melegenda itu, ada Untung yang selalu beruntung, dan Donal yang tak henti-hentinya sial.
Tetapi Untung dengan seluruh keberuntugannya tak dapat memiliki sesuatu yang sangat diinginkan dan disukainya: yaitu cinta Desi yang dikasihinya. Donal dengan sepenuh kesialannya, ialah yang beroleh cinta itu.
Boleh jadi kita ditimpa kemalangan, tapi kita beruntung bila beroleh cinta sejati itu.
Seperti seorang sahabat yang datang pada Amirul Mu'minin dan mengeluh, "Aku ini orang miskin, Ya Imam."
Menantu terkasih Nabi suci itu menjawab, "Kamu orang kaya!"
"Bagaimana mungkin ya Imam, sedang aku tidak punya apa-apa?"
"Kecintaanmu kepada kami, Ahlul Bait Rasulullah Saw. Maukah kautukarkan cintamu dengan seribu dirham?"
"Tidak ya Imam,"
"Sepuluh ribu dirham?"
"Tidak duhai junjungan."
"Seratus ribu?"
"Tidak akan pernah, wahai Imam…"
"Lalu bagaimana mungkin kau berkata, kau tidak punya apa-apa..."
Keberuntungan sejati adalah kecintaan.