Dina Y Sulaeman
Pengantar: Catatan Mbak Dina ini sangat relevan. Isinya menjadi sangat penting dalam hiruk pikuknya informasi yang kita terima setiap hari, yang sebagian di antaranya adalah fitnah dan berita yang menyesatkan. Kita harus lawan! Untuk itu saya reblog tulisan beliau itu disini (MA)
Pengantar: Catatan Mbak Dina ini sangat relevan. Isinya menjadi sangat penting dalam hiruk pikuknya informasi yang kita terima setiap hari, yang sebagian di antaranya adalah fitnah dan berita yang menyesatkan. Kita harus lawan! Untuk itu saya reblog tulisan beliau itu disini (MA)
Kemarin, dua teman membuat album foto “Melawan Hoax”. Menurut saya itu keren sekali. Out of the box. Hingga saat ini, yang share sudah 658 kali (dalam tempo 19 jam). Upaya perlawanan seperti ini penting banget didukung.
Jangan disangka satu upaya kecil dari kita (bahkan sekedar like dan share) gak ada efeknya. Saya pernah jadi ‘saksi sejarah’. Periode 2012-2014 adalah heboh-hebohnya perang Suriah. Saya sejak 2012 sudah memprediksikan efek Perang Suriah bagi kehidupan sosial di Indonesia (yaitu meningkatnya kebencian antarumat, serta potensi penyebaran jihad ke Indonesia). Waktu itu saya dan beberapa teman aktif di medsos (sebenarnya kontribusi saya juga sangat sedikit, maklum ibuk-ibuk RT banyak urusan) mencoba meluruskan berbagai informasi ttg Suriah.
Soalnya, “mereka” itu menggunakan berbagai informasi sesat untuk menggalang dana dan kebencian umat; mereka keliling masjid-masjid di seluruh Indonesia dengan membawa foto-foto dan film-film palsu “pembantaian terhadap kaum Sunni di Suriah”. Dalam majlis-majlis itu, umat Syiah dicaci-maki, dikafir-kafirkan, lalu jamaah dimintai dana untuk “membantu saudara Sunni di Suriah”. Kemana uang itu pergi? Tebak saja sendiri. Yang jelas, para “mujahidin” itu dapat gaji ratusan-ribuan dollar perbulan. Menurut pengamatan saya, upaya pelurusan info via medsos cukup berhasil, minimalnya saya lihat sudah sangat banyak orang berkomentar keren karena paham peta konflik ini.
Lalu, bulan Februari lalu, Ustadz Arifin Ilham dengan mimik muka geram berteriak “Jihaaaad!” di depan layar TV hanya gara-gara ada keributan antara sekelompok orang (isu yang diedarkan: orang Syiah memukuli santri ust Arifin). Saya menulis surat terbuka untuk sang ustadz di blog, menjelaskan peta konflik dunia, kaitan Suriah, Libya, dan “jihad” di Indonesia. Tulisan itu pun menyebar luas. Bahkan saya diwawancarai Metro TV.
Dan saya baru sadar betapa besarnya kekuatan “mereka” yang menginginkan “jihad” di Indonesia itu ketika wawancara itu dibatalkan penayangannya –padahal sudah dibroadcast resmi oleh pihak Metro. Hebat sekali ‘mereka’ ya, bisa membatalkan sebuah acara yang sebenarnya ingin memberikan kejelasan info dan mencegah terjadinya konflik antarumat. Padahal, saya cuma mengulangi apa yang saya tulis di surat terbuka itu, paling-paling saya muncul cuma beberapa menit, karena banyak narsum lain (termasuk pihak ustadz Arifin, polisi, Kang Jalal, Buya Syafii Maarif, dll). Meski demikian, saya merasa ‘coretan hati ibuk-ibuk’ yang saya tulis itu berefek cukup besar. Minimalnya “jihad”-nya ga jadi (atau… diundur? Hiks). Berkat medsos.
Sejak dua hari lalu, seruan “jihad” kembali bergema. Seorang bernama Abu Husein membroadcast berita “ustad Sunni-mantan Syiah- disiksa orang Syiah”. Dan seperti biasa dong, tanpa tabayun, segera berita itu tersebar luas, dishare entah berapa ribu kali, termasuk oleh Kak Jonru, dan dimuat ulang di media-media “Islam”. Kata-kata “jihad” dan “darah dibalas darah” berhamburan. Lalu, muncul seorang mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di Iran, namanyaIsmail Amin. Dia melakukan langkah sederhana: mencari tahu, siapa itu oknum “ustad mantan Syiah” (yang disebut pernah belajar di Iran).
Dan inilah kekuatan medsos, hanya dalam hitungan jam, konfirmasi berdatangan. Menurut komen dari beberapa orang yang kenal, oknum ini udah berkali-kali menipu (misalnya, pernah tinggal di pesantren NU Alfurqon Jogja, ngaku mantan Ahmadiyah, lalu menipu orang-orang yang simpati pada nasibnya, hingga ratusan juta). Sekedar info, broadcast jihad itu juga disertai penggalangan dana, dan konon sudah 65 juta terkumpul hanya satu hari. Nah, langkah “sederhana” dari Ismail, sudah mengacaubalaukan rencana “jihad” itu. Minimalnya, sekarang ustad Abu sudah menutup akunnya (ngakunya sih diblokir FB).
Poin saya bukan di ustad-ustad itu lho ya. Yang saya khawatirkan “jihad”-nya itu. Kalian pikir, kalau ada kerusuhan bersenjata, apapun isunya, yang kena cuma orang Syiah? Di Suriah, memangnya yang dibantai dan disembelih para “mujahidin” cuma Syiah? No way, man, Syiah di Suriah cuma 13%. Syiah, Sunni, Nasrani, Druze, Yazidi, Kurdi semua jadi korban. Negara itu hancur lebur karena para “mujahidin” demen pakai bom bunuh diri. Trus, situ mau Indonesia juga kayak gitu?
Saya yakin, yang bilang “mau” cuma “mereka”, bukan kita. Ya, KITA, yang jumlahnya jauh lebih banyak dari “mereka”. Yang kita butuhkan cuma keberanian untuk bersuara. So, speak up, lawan, katakan TIDAK pada adu domba! Meski hanya sekedar like, sekedar share, sekedar komen meluruskan. Jangan remehkan langkah kecilmu. Bahwa nanti kalian dibully, sabar saja. Abaikan. Saya aja yang ibuk-ibuk mampu bertahan, masak kalian enggak?
Terakhir, ini ucapan Cak Nun (saya copas dari Iqbal Aji Daryono):
Jangan disangka satu upaya kecil dari kita (bahkan sekedar like dan share) gak ada efeknya. Saya pernah jadi ‘saksi sejarah’. Periode 2012-2014 adalah heboh-hebohnya perang Suriah. Saya sejak 2012 sudah memprediksikan efek Perang Suriah bagi kehidupan sosial di Indonesia (yaitu meningkatnya kebencian antarumat, serta potensi penyebaran jihad ke Indonesia). Waktu itu saya dan beberapa teman aktif di medsos (sebenarnya kontribusi saya juga sangat sedikit, maklum ibuk-ibuk RT banyak urusan) mencoba meluruskan berbagai informasi ttg Suriah.
Soalnya, “mereka” itu menggunakan berbagai informasi sesat untuk menggalang dana dan kebencian umat; mereka keliling masjid-masjid di seluruh Indonesia dengan membawa foto-foto dan film-film palsu “pembantaian terhadap kaum Sunni di Suriah”. Dalam majlis-majlis itu, umat Syiah dicaci-maki, dikafir-kafirkan, lalu jamaah dimintai dana untuk “membantu saudara Sunni di Suriah”. Kemana uang itu pergi? Tebak saja sendiri. Yang jelas, para “mujahidin” itu dapat gaji ratusan-ribuan dollar perbulan. Menurut pengamatan saya, upaya pelurusan info via medsos cukup berhasil, minimalnya saya lihat sudah sangat banyak orang berkomentar keren karena paham peta konflik ini.
Lalu, bulan Februari lalu, Ustadz Arifin Ilham dengan mimik muka geram berteriak “Jihaaaad!” di depan layar TV hanya gara-gara ada keributan antara sekelompok orang (isu yang diedarkan: orang Syiah memukuli santri ust Arifin). Saya menulis surat terbuka untuk sang ustadz di blog, menjelaskan peta konflik dunia, kaitan Suriah, Libya, dan “jihad” di Indonesia. Tulisan itu pun menyebar luas. Bahkan saya diwawancarai Metro TV.
Dan saya baru sadar betapa besarnya kekuatan “mereka” yang menginginkan “jihad” di Indonesia itu ketika wawancara itu dibatalkan penayangannya –padahal sudah dibroadcast resmi oleh pihak Metro. Hebat sekali ‘mereka’ ya, bisa membatalkan sebuah acara yang sebenarnya ingin memberikan kejelasan info dan mencegah terjadinya konflik antarumat. Padahal, saya cuma mengulangi apa yang saya tulis di surat terbuka itu, paling-paling saya muncul cuma beberapa menit, karena banyak narsum lain (termasuk pihak ustadz Arifin, polisi, Kang Jalal, Buya Syafii Maarif, dll). Meski demikian, saya merasa ‘coretan hati ibuk-ibuk’ yang saya tulis itu berefek cukup besar. Minimalnya “jihad”-nya ga jadi (atau… diundur? Hiks). Berkat medsos.
Sejak dua hari lalu, seruan “jihad” kembali bergema. Seorang bernama Abu Husein membroadcast berita “ustad Sunni-mantan Syiah- disiksa orang Syiah”. Dan seperti biasa dong, tanpa tabayun, segera berita itu tersebar luas, dishare entah berapa ribu kali, termasuk oleh Kak Jonru, dan dimuat ulang di media-media “Islam”. Kata-kata “jihad” dan “darah dibalas darah” berhamburan. Lalu, muncul seorang mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di Iran, namanyaIsmail Amin. Dia melakukan langkah sederhana: mencari tahu, siapa itu oknum “ustad mantan Syiah” (yang disebut pernah belajar di Iran).
Dan inilah kekuatan medsos, hanya dalam hitungan jam, konfirmasi berdatangan. Menurut komen dari beberapa orang yang kenal, oknum ini udah berkali-kali menipu (misalnya, pernah tinggal di pesantren NU Alfurqon Jogja, ngaku mantan Ahmadiyah, lalu menipu orang-orang yang simpati pada nasibnya, hingga ratusan juta). Sekedar info, broadcast jihad itu juga disertai penggalangan dana, dan konon sudah 65 juta terkumpul hanya satu hari. Nah, langkah “sederhana” dari Ismail, sudah mengacaubalaukan rencana “jihad” itu. Minimalnya, sekarang ustad Abu sudah menutup akunnya (ngakunya sih diblokir FB).
Poin saya bukan di ustad-ustad itu lho ya. Yang saya khawatirkan “jihad”-nya itu. Kalian pikir, kalau ada kerusuhan bersenjata, apapun isunya, yang kena cuma orang Syiah? Di Suriah, memangnya yang dibantai dan disembelih para “mujahidin” cuma Syiah? No way, man, Syiah di Suriah cuma 13%. Syiah, Sunni, Nasrani, Druze, Yazidi, Kurdi semua jadi korban. Negara itu hancur lebur karena para “mujahidin” demen pakai bom bunuh diri. Trus, situ mau Indonesia juga kayak gitu?
Saya yakin, yang bilang “mau” cuma “mereka”, bukan kita. Ya, KITA, yang jumlahnya jauh lebih banyak dari “mereka”. Yang kita butuhkan cuma keberanian untuk bersuara. So, speak up, lawan, katakan TIDAK pada adu domba! Meski hanya sekedar like, sekedar share, sekedar komen meluruskan. Jangan remehkan langkah kecilmu. Bahwa nanti kalian dibully, sabar saja. Abaikan. Saya aja yang ibuk-ibuk mampu bertahan, masak kalian enggak?
Terakhir, ini ucapan Cak Nun (saya copas dari Iqbal Aji Daryono):
“Kenapa sekarang banyak kaum takfiri di Indonesia yang senang mengkafir-kafirkan sesama muslim? Karena memang ada kekuatan-kekuatan dari luar yang mendesain seperti itu. Mereka itu takut berhadap-hadapan dengan rakyat Indonesia. Maka mereka bisanya masuk dengan menunggangi regulasi, perundang-undangan, dan yang pasti: menunggangi kesempitan berpikir kita!”