Ikhwanul Kiram Mashuri
Hari-hari ini para pemimpin Zionis Israel sedang bersukacita. Penyebabnya tak lain dan tidak bukan adalah operasi militer koalisi sepuluh negara pimpinan Arab Saudi untuk menghantam milisi al Khauthi di Yaman. Operasi itu bernama sangat keren, yaitu Operasi Badai Tegas alias ‘Amaliyah ‘Ashifah al Hazm atawa Operation Decisive Storm.
Hari-hari ini para pemimpin Zionis Israel sedang bersukacita. Penyebabnya tak lain dan tidak bukan adalah operasi militer koalisi sepuluh negara pimpinan Arab Saudi untuk menghantam milisi al Khauthi di Yaman. Operasi itu bernama sangat keren, yaitu Operasi Badai Tegas alias ‘Amaliyah ‘Ashifah al Hazm atawa Operation Decisive Storm.
Dinamakan demikian, barangkali untuk menegaskan kepada dunia, terutama milisi al Khauthi, bahwa operasi kali ini tidak main-main. Bila milisi al Khauthi dan siapa pun yang mendukungnya berani macam-macam, misalnya mengancam keamanan negara-negara Teluk, maka mereka akan disikat dengan tegas oleh operasi yang bagaikan badai besar bergulung-gulung.
Sebagai catatan, daratan Yaman di Jazirah Arabia berbatasan langsung dengan Saudi di sebelah utara dan Oman di sebelah timur.
Meskipun operasi ini bernama Badai Tegas, namun koalisi militer sepuluh negara ini justeru disambut Zionis Israeldengan tempik sorak. Ya, mereka bisa menyaksikan pesawat tempur koalisi menyerang sasaran-sasaran militer al Khauthi sambil minum kopi di pagi hari. Santai dan nyaman.
Marilah kita simak tulisan kolomnis Yahudi Zvi Bar’el di media Israel Haaretz edisi 30 Mei lalu. Katanya, sejumlah negara Arab sedang membentuk sebuah kekuatan (koalisi) militer yang besar nan kuat dan, untuk pertama kalinya, Israel tidak merasa khawatir. ‘‘Bukan hanya tidak khawatir, tapi sebenarnya Israel juga gembira,’’ tulis Bar’el.
Menurut Zvi Bar’el, selama beberapa generasi strategi pertahanan Israel didasarkan pada satu fokus, yaitu untuk menangkal setiap koalisi militer Arab ketimbang militer negara-negara Arab secara individu. Namun, lanjutnya, Israel justeru melihat koalisi yang sekarang sebagai elemen yang tak terpisahkan dari kebijakan pertahanan Israel sendiri. Bahkan meskipun tidak terlibat dalam koalisi itu, Israel telah mengambil keuntungan dari koalisi militer Arab itu.
Hal yang sama dinyatakan pengamat Israel lainnya, Prof Eyal Zisser. Dalam makalahnya di media Israel Hayom (Israel Today) pada awal April lalu, ia mengatakankoalisi militer pimpinan Saudi itu adalah ‘sesuatu yang menggembirakan’.
The Jewish Press yang terbit di Amerika Serikat pekan lalu menyebutkan alasan mengapa Israel menyambut dengan suka cita terhadap koalisi bentukan Arab Saudi tersebut. Menurut media yang meyuarakan kepentingan Yahudi itu, koalisi militer Arab untuk menyerang Israel yang dulu pernah dibentuk sejak 65 tahun lalu, kini telah dihidupkan kembali. Namun, kali ini bukan untuk menyerang Israel, tapi untuk membendung pengaruh Syiah di Jazirah Arabia.
‘‘Negara-negara Arab Sunni yang menentang Arab Spring adalah mereka yang kini memimpin perang melawan pengaruh Syiah di Timur Tengah,’’ tulis The Jewish Press. The Arab Springatau al Rabi’ al ‘Arabyadalah revolusi rakyat Arab untuk menentang penguasa diktator otoriter yang berlangsung sejak empat tahun lalu.
Kolomnis dan wartawan senior Mesir, Fahmi Huwaidi, sepakat dengan pandangan The Jewish Press. Dalam media Aljazeera.net (08/04/2015) ia menyatakan kawasan Timur Tengah kini memang sedang berubah. Apalagi bila dibandingkan dengan tahun-tahun 1950-an hingga 1970-an. Tahun-tahun ketika Liga Arab dan Organisasi Konferensi Islam (OKI) didirikan.
Waktu itu salah satu tujuan utama dari pendirian kedua organisasi atau lembaga itu adalah membantu perjuangan bangsa Palestina memperoleh kemerdekaan dan kedaulatan di tanah airnya sendiri. Tanah air yang telah dighasab oleh Zionis Israel. Namun, kini nasib bangsa Palestina bukan lagi prioritas utama bagi bangsa-bangsa Arab dan umat Islam.
Mengutip Huwaidi, ada dua perubahan mendasar yang terjadi pada bangsa-bangsa Arab. Pertama, para pemimpin Arab kurang atau bahkan tidak peduli lagi pada nasib bangsa Palestina. Suasana politik, keamanan, dan bahkan kebatinan bangsa-bangsa Arab sekarang ini bahwa musuh utama mereka adalah pengaruh Syiah dan bukan lagi Zionis Israel.
Kedua, kekhawatiran terhadap pengaruh Syiah telah mengakibatkan konflik yang tadinya bernuansa politik kini berubah menjadi konflik antarmazhab atau paham keagamaan. Tepatnya antara Sunni dan Syiah. Konflik yang demikian bisa saja melampaui batas-batas negara Arab dan merembet ke negara-negara Islam (mayoritas berpenduduk Muslim) dan dapat berlangsung selama bertahun-tahun. ‘‘Hal inilah yang menenangkan Zionis Israel dan memunculkan rasa suka cita,’’ ujar Huwaidi.
Contoh lain mengenai perubahan negara-negara Arab yang menguntungkan Zionis Israel adalah dalam kasus Mesir. Menurut Mohammad al Minsyawi, pakar politik tentang Amerika dan direktur di Lembaga al Shuruq di Washington, selama puluhan tahun ‘akidah’ atau doktrin militer Angkatan Bersenjata Mesir adalah ‘musuh utama mereka adalah Zionis Israel’.
Namun, lanjut al Minsyawi, doktrin tersebut kini sudah tidak banyak dibicarakan lagi di kalangan militer Mesir. Hal ini bisa terjadi, katanya seperti dikutip Aljazeera.net, adalah bentuk dari pengaruh Gedung Putih dari satu presiden ke presiden lainnya. Pengaruh yang acap kali dibungkus dalam bentuk bantuan militer Washington ke Kairo.
Mesir hingga kini dianggap sebagai salah satu negara paling berpengaruh di Timur Tengah. Baik dari segi jumlah penduduk, politik, sosial/agama maupun militernya. Bahkan militer Mesir kini merupakan yang paling kuat di antara negara-negara Arab lainnya.
Ada empat rambu yang selalu digariskan AS dalam memberikan bantuan persenjataan/militer ke Mesir. Yaitu: untuk memerangi teroris, menjaga perbatasan, mengawal serta menjaga keamanan laut, dan terakhir memelihara keamanan Sinai.
Menurut al Minsyawi, senjata bantuan dari Amerika tidak mungkin dipergunakan untuk menghadapi lawan-lawan yang tidak didukung Gedung Putih. Artinya, peralatan militer AS, termasuk persenjataannya, tidak mungkin digunakan untuk membantu bangsa Palestina menyerang Israel.
Perubahan berikutnya yang juga disambut dengan suka cita oleh Zionis Israel adalah beralihnya peta kekuatan di negara-negara Arab. Terutama menyangkut kekuatan ekonomi, militer, dan kemudian politik. Pada era 1980-1990-an, kekuatan dibagi banyak negara. Ada Irak, Suriah, Libia, Mesir, dan Aljazair. Negara-negara Teluk pada saat itu bisa dikatakan hanyalah anak bawang. Kini negara-negara Teluk yang justeru menjelma menjadi kekuatan utama Liga Arab, selain Mesir.
Salah satu contoh pengaruh negara-negara Teluk, terutama Arab Saudi, adalah pembentukan koalisi militer untuk menyerang milisi al Khauthi di Yaman. Dengan pengaruh politik dan ekonominya, Arab Saudi telah berhasil menjadikan isu keamanan negaranya menjadi masalah keamanan Teluk dan bahkan Liga Arab.
Mengutip pandangan Fahmi al Huwaidi, Liga Arab sekarang ini sebenarnya adalah Liga Teluk (Dewan Kerja Sama Teluk/Majelis at Ta’awun li Duali al Khalij al ‘Arabiyah). Pengaruh negara-negara Teluk yang kuat tentu akan menguntungkan Israel. Sebab, negara-negara yang tergabung dengan Dewan Kerja Sama Teluk selama ini dikenal dekat dengan Barat/AS, sementara Barat adalah pendukung utama eksistensi Zionis Israel.
Semua perubahan yang terjadi di negara-negara Arab itulah yang kemudian disambut Zionis Israel dengan suka cita. Sebaliknya, ini menurut saya, kasihan pada nasib bangsa Palestina. Kapan mereka bisa merdeka dan berdaulat di tanah airnya sendiri seperti negara-negara lain di muka bumi. Wallahu a’lam.
Sumber: Republika Online
Sebagai catatan, daratan Yaman di Jazirah Arabia berbatasan langsung dengan Saudi di sebelah utara dan Oman di sebelah timur.
Meskipun operasi ini bernama Badai Tegas, namun koalisi militer sepuluh negara ini justeru disambut Zionis Israeldengan tempik sorak. Ya, mereka bisa menyaksikan pesawat tempur koalisi menyerang sasaran-sasaran militer al Khauthi sambil minum kopi di pagi hari. Santai dan nyaman.
Marilah kita simak tulisan kolomnis Yahudi Zvi Bar’el di media Israel Haaretz edisi 30 Mei lalu. Katanya, sejumlah negara Arab sedang membentuk sebuah kekuatan (koalisi) militer yang besar nan kuat dan, untuk pertama kalinya, Israel tidak merasa khawatir. ‘‘Bukan hanya tidak khawatir, tapi sebenarnya Israel juga gembira,’’ tulis Bar’el.
Menurut Zvi Bar’el, selama beberapa generasi strategi pertahanan Israel didasarkan pada satu fokus, yaitu untuk menangkal setiap koalisi militer Arab ketimbang militer negara-negara Arab secara individu. Namun, lanjutnya, Israel justeru melihat koalisi yang sekarang sebagai elemen yang tak terpisahkan dari kebijakan pertahanan Israel sendiri. Bahkan meskipun tidak terlibat dalam koalisi itu, Israel telah mengambil keuntungan dari koalisi militer Arab itu.
Hal yang sama dinyatakan pengamat Israel lainnya, Prof Eyal Zisser. Dalam makalahnya di media Israel Hayom (Israel Today) pada awal April lalu, ia mengatakankoalisi militer pimpinan Saudi itu adalah ‘sesuatu yang menggembirakan’.
The Jewish Press yang terbit di Amerika Serikat pekan lalu menyebutkan alasan mengapa Israel menyambut dengan suka cita terhadap koalisi bentukan Arab Saudi tersebut. Menurut media yang meyuarakan kepentingan Yahudi itu, koalisi militer Arab untuk menyerang Israel yang dulu pernah dibentuk sejak 65 tahun lalu, kini telah dihidupkan kembali. Namun, kali ini bukan untuk menyerang Israel, tapi untuk membendung pengaruh Syiah di Jazirah Arabia.
‘‘Negara-negara Arab Sunni yang menentang Arab Spring adalah mereka yang kini memimpin perang melawan pengaruh Syiah di Timur Tengah,’’ tulis The Jewish Press. The Arab Springatau al Rabi’ al ‘Arabyadalah revolusi rakyat Arab untuk menentang penguasa diktator otoriter yang berlangsung sejak empat tahun lalu.
Kolomnis dan wartawan senior Mesir, Fahmi Huwaidi, sepakat dengan pandangan The Jewish Press. Dalam media Aljazeera.net (08/04/2015) ia menyatakan kawasan Timur Tengah kini memang sedang berubah. Apalagi bila dibandingkan dengan tahun-tahun 1950-an hingga 1970-an. Tahun-tahun ketika Liga Arab dan Organisasi Konferensi Islam (OKI) didirikan.
Waktu itu salah satu tujuan utama dari pendirian kedua organisasi atau lembaga itu adalah membantu perjuangan bangsa Palestina memperoleh kemerdekaan dan kedaulatan di tanah airnya sendiri. Tanah air yang telah dighasab oleh Zionis Israel. Namun, kini nasib bangsa Palestina bukan lagi prioritas utama bagi bangsa-bangsa Arab dan umat Islam.
Mengutip Huwaidi, ada dua perubahan mendasar yang terjadi pada bangsa-bangsa Arab. Pertama, para pemimpin Arab kurang atau bahkan tidak peduli lagi pada nasib bangsa Palestina. Suasana politik, keamanan, dan bahkan kebatinan bangsa-bangsa Arab sekarang ini bahwa musuh utama mereka adalah pengaruh Syiah dan bukan lagi Zionis Israel.
Kedua, kekhawatiran terhadap pengaruh Syiah telah mengakibatkan konflik yang tadinya bernuansa politik kini berubah menjadi konflik antarmazhab atau paham keagamaan. Tepatnya antara Sunni dan Syiah. Konflik yang demikian bisa saja melampaui batas-batas negara Arab dan merembet ke negara-negara Islam (mayoritas berpenduduk Muslim) dan dapat berlangsung selama bertahun-tahun. ‘‘Hal inilah yang menenangkan Zionis Israel dan memunculkan rasa suka cita,’’ ujar Huwaidi.
Contoh lain mengenai perubahan negara-negara Arab yang menguntungkan Zionis Israel adalah dalam kasus Mesir. Menurut Mohammad al Minsyawi, pakar politik tentang Amerika dan direktur di Lembaga al Shuruq di Washington, selama puluhan tahun ‘akidah’ atau doktrin militer Angkatan Bersenjata Mesir adalah ‘musuh utama mereka adalah Zionis Israel’.
Namun, lanjut al Minsyawi, doktrin tersebut kini sudah tidak banyak dibicarakan lagi di kalangan militer Mesir. Hal ini bisa terjadi, katanya seperti dikutip Aljazeera.net, adalah bentuk dari pengaruh Gedung Putih dari satu presiden ke presiden lainnya. Pengaruh yang acap kali dibungkus dalam bentuk bantuan militer Washington ke Kairo.
Mesir hingga kini dianggap sebagai salah satu negara paling berpengaruh di Timur Tengah. Baik dari segi jumlah penduduk, politik, sosial/agama maupun militernya. Bahkan militer Mesir kini merupakan yang paling kuat di antara negara-negara Arab lainnya.
Ada empat rambu yang selalu digariskan AS dalam memberikan bantuan persenjataan/militer ke Mesir. Yaitu: untuk memerangi teroris, menjaga perbatasan, mengawal serta menjaga keamanan laut, dan terakhir memelihara keamanan Sinai.
Menurut al Minsyawi, senjata bantuan dari Amerika tidak mungkin dipergunakan untuk menghadapi lawan-lawan yang tidak didukung Gedung Putih. Artinya, peralatan militer AS, termasuk persenjataannya, tidak mungkin digunakan untuk membantu bangsa Palestina menyerang Israel.
Perubahan berikutnya yang juga disambut dengan suka cita oleh Zionis Israel adalah beralihnya peta kekuatan di negara-negara Arab. Terutama menyangkut kekuatan ekonomi, militer, dan kemudian politik. Pada era 1980-1990-an, kekuatan dibagi banyak negara. Ada Irak, Suriah, Libia, Mesir, dan Aljazair. Negara-negara Teluk pada saat itu bisa dikatakan hanyalah anak bawang. Kini negara-negara Teluk yang justeru menjelma menjadi kekuatan utama Liga Arab, selain Mesir.
Salah satu contoh pengaruh negara-negara Teluk, terutama Arab Saudi, adalah pembentukan koalisi militer untuk menyerang milisi al Khauthi di Yaman. Dengan pengaruh politik dan ekonominya, Arab Saudi telah berhasil menjadikan isu keamanan negaranya menjadi masalah keamanan Teluk dan bahkan Liga Arab.
Mengutip pandangan Fahmi al Huwaidi, Liga Arab sekarang ini sebenarnya adalah Liga Teluk (Dewan Kerja Sama Teluk/Majelis at Ta’awun li Duali al Khalij al ‘Arabiyah). Pengaruh negara-negara Teluk yang kuat tentu akan menguntungkan Israel. Sebab, negara-negara yang tergabung dengan Dewan Kerja Sama Teluk selama ini dikenal dekat dengan Barat/AS, sementara Barat adalah pendukung utama eksistensi Zionis Israel.
Semua perubahan yang terjadi di negara-negara Arab itulah yang kemudian disambut Zionis Israel dengan suka cita. Sebaliknya, ini menurut saya, kasihan pada nasib bangsa Palestina. Kapan mereka bisa merdeka dan berdaulat di tanah airnya sendiri seperti negara-negara lain di muka bumi. Wallahu a’lam.
Sumber: Republika Online