Ust Miftah Fauzi Rakhmat
Alkisah di sebuah taman bunga, semerbaklah beraneka harum dan rona warna. Taman itu istimewa, karena 'Bunda Alam' sang pengaturnya. Taman yang tersembunyi dari riuh rendah aneka satwa. Tak ada angkara. Tak ada dosa. Yang ada hanya tatap kelopak bunga, pada sang surya yang memberikan mereka kehidupan. Setiap kali hangatnya terasa, setiap itu juga hidup mereka bermakna.
Alkisah di sebuah taman bunga, semerbaklah beraneka harum dan rona warna. Taman itu istimewa, karena 'Bunda Alam' sang pengaturnya. Taman yang tersembunyi dari riuh rendah aneka satwa. Tak ada angkara. Tak ada dosa. Yang ada hanya tatap kelopak bunga, pada sang surya yang memberikan mereka kehidupan. Setiap kali hangatnya terasa, setiap itu juga hidup mereka bermakna.
Bunda Alam sang pengatur. Ia juga sang penjaga. Semua nikmat tersedia di taman itu. Semua cukup berbahagia. Angin berhembus pelan. Tidak dingin dan tidak panas. Sempurna...
Ada berbagai bunga di sana: Gardenia, Magnolia. Dandellion dan Edelweiss. Aster, Anyelir, dan Akasia. Juga sekelompok bunga matahari, yang berdiri paling tinggi menjulang, dan berbagai bunga indah lainnya.
Di antara semua keindahan itu, ada sekelompok bunga violet, tumbuh merendah, jauh di bawah seluruh keagungan bunga-bunga yang lain. Hampir-hampir tak kelihatan, kalau saja Bunda Alam tak membuat warna violet mereka, begitu kentara di antara wangi bunga.
Maka begitulah taman itu, setiap bunga menjalankan peran yang telah ditetapkan Bunda Alam bagi mereka. Tumbuh dan berkembang, merunduk dan memandang, pada sang surya sumber kehidupan.
Hingga tiba-tiba, pada saat yang tak terduga...
Terdengar rintihan, seolah menahan isakan, lambat laun merambat pelan...
Seluruh penghuni gundah. Di taman ini tak boleh satu pun gelisah. Ini bukan tempat berkeluh kesah. Siapa gerangan si pemilik tangisan? Siapa putik yang berduka, berada di hadapan kehadiran Sang Ibunda?
Mereka mencari sumber suara. Tak terlihat. Lihat lagi lebih dekat. Tidak tampak juga. Kalau begitu, pejamkan penglihatan dan tajamkan pendengaran. Manakala satu indra tertutup, indra lain memainkan tugasnya lebih saksama.
Tahulah mereka, ke mana harus memandang. Bukan ke cakrawala yang tinggi. Bukan ke ufuk yang jauh. Mereka harus melihat ke bawah...tempat yang begitu dekat dengan mereka. Hanya karena mereka lebih sering menatap mentari, jeritan kecil terlupakan di samping diri.
Rintihan itu rintihan sekuntum bunga violet, di antara sekelompok violet yang lainnya. Adalah violet yang paling muda si empunya suara. Ia tampak sendu. Wajahnya murung pertanda iba. Ada bunga yang bertanya kepadanya: mengapa engkau berduka? Tidak tahukah gerangan engkau di mana? Di taman yang dirindukan setiap bunga. Bagaimana mungkin engkau merintih menderita...?
Bunga violet yang berduka, kemudian meninggikan suara: hadirkan bagiku sang Ibunda. Hanya dia penawar derita...sebelum dia datang, aku takkan berhenti mengerang...
Riuh rendahlah taman dibuatnya. Bunda Alam tak bisa datang kapan saja karena diminta. Ia hadir bila tiba masanya. Seluruh penghuni taman seakan berusaha menenangkan, tapi rintihan bunga violet muda makin menjadi. Baru kali itu, sepanjang sejarah para bunga, terjadi perkara dan muncul beragam tanya, 'lancang benar dia? Siapa dia pikir dirinya?' dan sebagainya riuh rendah memenuhi suasana.
Akhirnya, kegelisahan taman bunga sampai juga pada Sang Ibunda.
Sebaris cahaya memberkas di langit, berkelibat di atas taman bunga, pertanda Ibunda segera tiba.
Semua bunga berbaris rapi, bersiap menyambut kehadiran Sang Ratu. Kelopak tertunduk, terdiam bisu...kecamuk batin bertanya ragu. Akankah ibunda murka?
Tiada yang berani membuka suara, tapi sedu sedan itu masih menyimpan sisa. Bunda Alam mendekat, menghampiri bunga violet, menyapanya dengan lembut, "Ada apa putriku sayang? Mengapa teriak duka itu? Untuk apa tangis dan jerit itu...?"
Dalam parau suara di sela tahan isakan, bunga violet memberanikan diri menyampaikan pembelaan: "Maafkan aku Ibunda. Bukan maksudku lancang bicara. Tapi desak batin ini tak lagi mampu dibendung raga. Manakala rasa terbatas kata, sukma melengking tanpa kuasa..."
"...Bahagia rasanya Ibunda hadir menyapa. Bahagia kiranya Ibunda mendengar jerit di dada." Bunda Alam kembali bersabda...dan tak satu pun bunga berani bersuara...
"Apa yang kau inginkan anakku? Sampaikanlah. Lepaskan apa yang selama ini engkau pendam..."
"Bunda...teriring permohonan maaf yang paling dalam, inilah pintaku penuh kerendahan. Sentuhlah kelopakku dengan jarimu. Ubah diriku. Perkenankan aku untuk menjadi bunga matahari..."
Mendengar ini, seluruh taman bergemuruh. Suara bersahutan silih berganti 'Ini bunga tak tahu diri' 'ini bunga tak berterima kasih' 'ini bunga yang keterlaluan, meminta sesuatu yang lebih...' semua kecaman datang bertubi...
Bunda Alam menenangkan semuanya...isyarat jemarinya menghentikan semua kata. Lalu terdengar ia bersabda: "Katakan anakku, untuk apa pintamu itu...?"
Kali ini, bunga violet terdengar lebih tenang. Ia merasa Bunda Alam memberinya kesempatan. Peluang menjelaskan adalah pertanda, bahwa suaranya punya makna. Sebatas ini saja, pikirnya, damai sudah bersemayam di jiwa. Teratur, terarah, ia berkata:
"Ibunda, setiap hari engkau menyapa, engkau berada di atas sana. Hanya bunga matahari yang berada paling dekat denganmu. Setiap saat Sang Surya memberikan kehidupan, hanya bunga matahari yang paling tinggi mengarahkan pandangan. Aku ingin seperti mereka. Lebih dekat denganmu. Lebih dekat dengan Sang Pemberi Kehidupan..."
Kembali terdengar gerutuan, dari kawan sesama yang tak sepemahaman. Bunga violet dihakimi, wujud yang tak mensyukuri nikmat diri...
Tapi keinginan itu tak dapat ditahankan lagi. Bunda Alam pum bersabda: "Baik, akan aku ubah engkau menjadi bunga matahari. Tapi tidak untuk selamanya. Agar engkau tahu bagaiman rasanya. Waktumu sehari saja."
Maka Bunda Alam menjentikkan jemarinya, seketika bunga violet berubah, tinggi, tinggi menjulang. Jauh, jauh di atas bunga yang lainnya. Ia telah sampai pada dambanya.
Bunda Alam beranjak menjauh. Pandang sinis penuh cibir, dari kawan yang tak memahami rahasia di balik tabir. Bunga violet yang kini sudah menjadi bunga matahari, begitu menikmati saat istimewa ini. Ia tak dengar kecaman. Ia tak pedulikan gerutuan. Ia hadapkan wajahnya, sepenuh-penuhnya, pada Sang Surya. Ia kini bunga matahari. Namanya sama dengan nama Sang Pemberi Kehidupan.
Tapi tiba-tiba, terdengar gemuruh tak terduga...
Langit berubah mendung. Sang Surya bersembunyi di balik awan. Gelap menyelimuti. Angin kencang menderu. Taufan berkecamuk. Hujan dan halilintar memekakkan telinga. Semua bunga menjerit. Berteriak ketakutan. Satu demi satu terpelanting, tercerabut, lepas bak debu diterjang badai...
Taman yang asri dalam satu jam telah berganti. Padang itu kini menyisakan cerita pertanda amukan. Semua binasa...tanpa sisa, kecuali sekelompok bunga violet yang tumbuh merapat di dekat tanah. Akar mereka kuat mencengkeram. Selamat mereka dari prahara yang geram.
Apa kabar bunga violet yang telah berganti bunga matahari? Ia terpelanting, jatuh ke bumi. Patah, tapi tidak kalah. Nafasnya terengah-engah menahan kesakitan. Saudara-saudaranya sesama bunga violet dengan bangga berkata: Lihat, apa yang sudah kaulakukan? Permintaanmu telah mendatangkan murka dan amarah. Belajarlah bersyukur dengan keadaan dirimu. Lihat kami, selamat tidak kurang suatu apa. Kerendahan tidak selalu berarti kekurangan. Kerendahan kini menjadi kelebihan..."
Biasanya, cerita berakhir di sini. Begitu banyak legenda berkisah yang sama di berbagai negeri. Tak boleh katak hendak menjadi lembu. Tak bisa daun hendak menjadi angin. Tak bisa awan berubah menjadi gunung...
Tapi tidak bagi Gibran. Tidak bagi bunga violet yang kinj tumbang. Dengan sisa-sisa suaranya ia berkata: "Saudaraku yang kucinta... tak pernah sekalipun aku tak bersyukur pada Sang Pencipta...
Aku bersyukur pada Dia yang menjadikanku bunga violet yang rendah kuat mencengkeram bumi. Dan aku bersyukur pada Bunda yang mendengar jerit batinku. Aku bersyukur, bahwa selama sesaat dalam hidupku, walau hanya sesaat, aku telah lebih dekat dengan Sumber Kehidupanku. Walau sesaat, aku tegakkan wajahku, menghirup cahayanya lebih dekat...meski pedang kebinasaan kemudian merenggutku. Aku bersyukur untuk satu saat itu...
Kemudian bunga violet menggumamkan satu kalimat. Teriring senyum yang tersungging di bibirnya, "Ambition beyond existence is the essential purpose of creation. Ambisi di luar batas eksistensi, adalah tujuan hakiki dari penciptaan." Ia mengakhiri hidupnya dengan kalimat itu dan senyuman.
Senyum itu senyuman kebahagiaan. Sebuah senyuman kemenangan. Senyuman Tuhan...
Catatan:
Sebuah adaptasi bebas dari "Ambitious Violet" karya Gibran Khalil Gibran.
Untuk setiap yang rendah yang hendak merengkuh asa. Untuk setiap yang kecil yang ingin menaklukkan raksasa. Untuk setiap yang hina…yang hendak menjadi mulia.
Katak pun boleh menjadi lembu. Daun sekali-kali berganti menjadi angin yang menerbangkannya.
Doa tulus untuk negeri.
Sumber: Majulah-IJABI, diakses tanggal 6 Juli 2014
Ada berbagai bunga di sana: Gardenia, Magnolia. Dandellion dan Edelweiss. Aster, Anyelir, dan Akasia. Juga sekelompok bunga matahari, yang berdiri paling tinggi menjulang, dan berbagai bunga indah lainnya.
Di antara semua keindahan itu, ada sekelompok bunga violet, tumbuh merendah, jauh di bawah seluruh keagungan bunga-bunga yang lain. Hampir-hampir tak kelihatan, kalau saja Bunda Alam tak membuat warna violet mereka, begitu kentara di antara wangi bunga.
Maka begitulah taman itu, setiap bunga menjalankan peran yang telah ditetapkan Bunda Alam bagi mereka. Tumbuh dan berkembang, merunduk dan memandang, pada sang surya sumber kehidupan.
Hingga tiba-tiba, pada saat yang tak terduga...
Terdengar rintihan, seolah menahan isakan, lambat laun merambat pelan...
Seluruh penghuni gundah. Di taman ini tak boleh satu pun gelisah. Ini bukan tempat berkeluh kesah. Siapa gerangan si pemilik tangisan? Siapa putik yang berduka, berada di hadapan kehadiran Sang Ibunda?
Mereka mencari sumber suara. Tak terlihat. Lihat lagi lebih dekat. Tidak tampak juga. Kalau begitu, pejamkan penglihatan dan tajamkan pendengaran. Manakala satu indra tertutup, indra lain memainkan tugasnya lebih saksama.
Tahulah mereka, ke mana harus memandang. Bukan ke cakrawala yang tinggi. Bukan ke ufuk yang jauh. Mereka harus melihat ke bawah...tempat yang begitu dekat dengan mereka. Hanya karena mereka lebih sering menatap mentari, jeritan kecil terlupakan di samping diri.
Rintihan itu rintihan sekuntum bunga violet, di antara sekelompok violet yang lainnya. Adalah violet yang paling muda si empunya suara. Ia tampak sendu. Wajahnya murung pertanda iba. Ada bunga yang bertanya kepadanya: mengapa engkau berduka? Tidak tahukah gerangan engkau di mana? Di taman yang dirindukan setiap bunga. Bagaimana mungkin engkau merintih menderita...?
Bunga violet yang berduka, kemudian meninggikan suara: hadirkan bagiku sang Ibunda. Hanya dia penawar derita...sebelum dia datang, aku takkan berhenti mengerang...
Riuh rendahlah taman dibuatnya. Bunda Alam tak bisa datang kapan saja karena diminta. Ia hadir bila tiba masanya. Seluruh penghuni taman seakan berusaha menenangkan, tapi rintihan bunga violet muda makin menjadi. Baru kali itu, sepanjang sejarah para bunga, terjadi perkara dan muncul beragam tanya, 'lancang benar dia? Siapa dia pikir dirinya?' dan sebagainya riuh rendah memenuhi suasana.
Akhirnya, kegelisahan taman bunga sampai juga pada Sang Ibunda.
Sebaris cahaya memberkas di langit, berkelibat di atas taman bunga, pertanda Ibunda segera tiba.
Semua bunga berbaris rapi, bersiap menyambut kehadiran Sang Ratu. Kelopak tertunduk, terdiam bisu...kecamuk batin bertanya ragu. Akankah ibunda murka?
Tiada yang berani membuka suara, tapi sedu sedan itu masih menyimpan sisa. Bunda Alam mendekat, menghampiri bunga violet, menyapanya dengan lembut, "Ada apa putriku sayang? Mengapa teriak duka itu? Untuk apa tangis dan jerit itu...?"
Dalam parau suara di sela tahan isakan, bunga violet memberanikan diri menyampaikan pembelaan: "Maafkan aku Ibunda. Bukan maksudku lancang bicara. Tapi desak batin ini tak lagi mampu dibendung raga. Manakala rasa terbatas kata, sukma melengking tanpa kuasa..."
"...Bahagia rasanya Ibunda hadir menyapa. Bahagia kiranya Ibunda mendengar jerit di dada." Bunda Alam kembali bersabda...dan tak satu pun bunga berani bersuara...
"Apa yang kau inginkan anakku? Sampaikanlah. Lepaskan apa yang selama ini engkau pendam..."
"Bunda...teriring permohonan maaf yang paling dalam, inilah pintaku penuh kerendahan. Sentuhlah kelopakku dengan jarimu. Ubah diriku. Perkenankan aku untuk menjadi bunga matahari..."
Mendengar ini, seluruh taman bergemuruh. Suara bersahutan silih berganti 'Ini bunga tak tahu diri' 'ini bunga tak berterima kasih' 'ini bunga yang keterlaluan, meminta sesuatu yang lebih...' semua kecaman datang bertubi...
Bunda Alam menenangkan semuanya...isyarat jemarinya menghentikan semua kata. Lalu terdengar ia bersabda: "Katakan anakku, untuk apa pintamu itu...?"
Kali ini, bunga violet terdengar lebih tenang. Ia merasa Bunda Alam memberinya kesempatan. Peluang menjelaskan adalah pertanda, bahwa suaranya punya makna. Sebatas ini saja, pikirnya, damai sudah bersemayam di jiwa. Teratur, terarah, ia berkata:
"Ibunda, setiap hari engkau menyapa, engkau berada di atas sana. Hanya bunga matahari yang berada paling dekat denganmu. Setiap saat Sang Surya memberikan kehidupan, hanya bunga matahari yang paling tinggi mengarahkan pandangan. Aku ingin seperti mereka. Lebih dekat denganmu. Lebih dekat dengan Sang Pemberi Kehidupan..."
Kembali terdengar gerutuan, dari kawan sesama yang tak sepemahaman. Bunga violet dihakimi, wujud yang tak mensyukuri nikmat diri...
Tapi keinginan itu tak dapat ditahankan lagi. Bunda Alam pum bersabda: "Baik, akan aku ubah engkau menjadi bunga matahari. Tapi tidak untuk selamanya. Agar engkau tahu bagaiman rasanya. Waktumu sehari saja."
Maka Bunda Alam menjentikkan jemarinya, seketika bunga violet berubah, tinggi, tinggi menjulang. Jauh, jauh di atas bunga yang lainnya. Ia telah sampai pada dambanya.
Bunda Alam beranjak menjauh. Pandang sinis penuh cibir, dari kawan yang tak memahami rahasia di balik tabir. Bunga violet yang kini sudah menjadi bunga matahari, begitu menikmati saat istimewa ini. Ia tak dengar kecaman. Ia tak pedulikan gerutuan. Ia hadapkan wajahnya, sepenuh-penuhnya, pada Sang Surya. Ia kini bunga matahari. Namanya sama dengan nama Sang Pemberi Kehidupan.
Tapi tiba-tiba, terdengar gemuruh tak terduga...
Langit berubah mendung. Sang Surya bersembunyi di balik awan. Gelap menyelimuti. Angin kencang menderu. Taufan berkecamuk. Hujan dan halilintar memekakkan telinga. Semua bunga menjerit. Berteriak ketakutan. Satu demi satu terpelanting, tercerabut, lepas bak debu diterjang badai...
Taman yang asri dalam satu jam telah berganti. Padang itu kini menyisakan cerita pertanda amukan. Semua binasa...tanpa sisa, kecuali sekelompok bunga violet yang tumbuh merapat di dekat tanah. Akar mereka kuat mencengkeram. Selamat mereka dari prahara yang geram.
Apa kabar bunga violet yang telah berganti bunga matahari? Ia terpelanting, jatuh ke bumi. Patah, tapi tidak kalah. Nafasnya terengah-engah menahan kesakitan. Saudara-saudaranya sesama bunga violet dengan bangga berkata: Lihat, apa yang sudah kaulakukan? Permintaanmu telah mendatangkan murka dan amarah. Belajarlah bersyukur dengan keadaan dirimu. Lihat kami, selamat tidak kurang suatu apa. Kerendahan tidak selalu berarti kekurangan. Kerendahan kini menjadi kelebihan..."
Biasanya, cerita berakhir di sini. Begitu banyak legenda berkisah yang sama di berbagai negeri. Tak boleh katak hendak menjadi lembu. Tak bisa daun hendak menjadi angin. Tak bisa awan berubah menjadi gunung...
Tapi tidak bagi Gibran. Tidak bagi bunga violet yang kinj tumbang. Dengan sisa-sisa suaranya ia berkata: "Saudaraku yang kucinta... tak pernah sekalipun aku tak bersyukur pada Sang Pencipta...
Aku bersyukur pada Dia yang menjadikanku bunga violet yang rendah kuat mencengkeram bumi. Dan aku bersyukur pada Bunda yang mendengar jerit batinku. Aku bersyukur, bahwa selama sesaat dalam hidupku, walau hanya sesaat, aku telah lebih dekat dengan Sumber Kehidupanku. Walau sesaat, aku tegakkan wajahku, menghirup cahayanya lebih dekat...meski pedang kebinasaan kemudian merenggutku. Aku bersyukur untuk satu saat itu...
Kemudian bunga violet menggumamkan satu kalimat. Teriring senyum yang tersungging di bibirnya, "Ambition beyond existence is the essential purpose of creation. Ambisi di luar batas eksistensi, adalah tujuan hakiki dari penciptaan." Ia mengakhiri hidupnya dengan kalimat itu dan senyuman.
Senyum itu senyuman kebahagiaan. Sebuah senyuman kemenangan. Senyuman Tuhan...
Catatan:
Sebuah adaptasi bebas dari "Ambitious Violet" karya Gibran Khalil Gibran.
Untuk setiap yang rendah yang hendak merengkuh asa. Untuk setiap yang kecil yang ingin menaklukkan raksasa. Untuk setiap yang hina…yang hendak menjadi mulia.
Katak pun boleh menjadi lembu. Daun sekali-kali berganti menjadi angin yang menerbangkannya.
Doa tulus untuk negeri.
Sumber: Majulah-IJABI, diakses tanggal 6 Juli 2014