Made Supriatna
TIDAK ada orang yang dianggap paling bedebah dalam sejarah politik modern Amerika selain Harvey LeRoy ‘Lee’ Atwater. Dia adalah ahli strategi, tukang plintir (spin doctor) nomor wahid, jagoan dalam hal intrik, jenius dalam memanipulasi. Lee Atwater adalah seorang operator politik. Dia bukan politisi. Tapi dia mampu mendudukkan politisi pada satu jabatan tertentu. Atwater adalah ‘Darth Vader’-nya politik Amerika. Orang yang sangat tega dan ganas, yang mampu melakukan apa saja agar klien-nya terpilih.
TIDAK ada orang yang dianggap paling bedebah dalam sejarah politik modern Amerika selain Harvey LeRoy ‘Lee’ Atwater. Dia adalah ahli strategi, tukang plintir (spin doctor) nomor wahid, jagoan dalam hal intrik, jenius dalam memanipulasi. Lee Atwater adalah seorang operator politik. Dia bukan politisi. Tapi dia mampu mendudukkan politisi pada satu jabatan tertentu. Atwater adalah ‘Darth Vader’-nya politik Amerika. Orang yang sangat tega dan ganas, yang mampu melakukan apa saja agar klien-nya terpilih.
Lee Atwater memulai karirnya sebagai konsultan politik di selatan Amerika. Ini adalah daerah yang dalam sejarah perang saudara Amerika dikenal sebagai wilayah ‘Confederate.’ Penduduk wilayah ini anti-penghapusan perbudakan. Ini karena sebagian besar wilayahnya adalah wilayah pertanian. Salah satu warisan dari perbudakan ini adalah politik ras. Namun, sekalipun daerah-daerah ini sangat tersegregasi menurut warna kulit, politik ras tidak muncul ke permukaan hingga tahun 1960an. Sebelum itu, daerah-daerah ini adalah wilayah partai Demokrat. Karena orang kulit hitam tidak bisa memilih, maka pemilih kulit putih lebih mengutamakan kelas. Demokrat, yang progresif dan berorientasi pada kelas pekerja, selalu menjadi mayoritas di situ. Namun itu tidak berlaku di akhir tahun 1960an.
Adalah Richard Nixon yang mengubah peta politik di wilayah tersebut. Setelah UU Hak-hak Sipil (Civil Rights Act)disahkan Presiden Lyndon B. Johnson (Demokrat) tahun 1964, diskriminasi terhadap orang kulit hitam dihapuskan. Yang paling penting dari UU ini, selain penghapusan diskriminasi atas dasar ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, atau kebangsaan, adalah pemberian hak memilih untuk orang kulit hitam. UU ini mengubah semua dimensi politik di wilayah Selatan. Nixon memperhatikan ini dengan cermat. Dia memanipulasi politik di wilayah itu untuk menarik suara kaum kulit putih. Dan itu berhasil dengan baik.
Strategi untuk menggalang suara berdasarkan ras ini dikenal dengan nama ‘the Southern strategy.’ Karena diskriminasi atas nama apapun dilarang secara hukum, maka para operator politik bekerja dengan bahasa ‘kode.’ Mereka tidak mengungkapkan secara terbuka kebenciannya kepada orang kulit hitam, tetapi lewat kode-kode, seperti, misalnya, kerawanan sosial (artinya: orang kulit hitam itu kriminal); kupon makanan (orang kulit hitam itu pemalas dan jadi beban karena pajak yang Anda bayar dipakai untuk mensubsidi makanan mereka); rumah bersubsidi; jaminan sosial, dan lain sebagainya. Politik ini juga dikenal dengan nama politik ‘siulan anjing’ (dog whistle politics). Karena ada siulan anjing yang frekuensi suaranya hanya bisa didengar oleh anjing tapi tidak oleh manusia.
Inilah keahlian Lee Atwater. Dia memulai karirnya dengan menjadi operator politik senator Strom Thurmond dari negara bagian South Carolina. Senator ini terkenal sebagai pendukung politik segregasi dan penentang pemberian hak-hak sipil untuk kaum kulit hitam. Namun, beberapa bulan setelah dia meninggal, terungkap bahwa dia memiliki seorang putri dari seorang perempuan kulit hitam yang bekerja di rumahnya (sangat khas Amerika!). Saat bekerja untuk Senator Thurmond inilah Lee Atwater mengembangkan bakatnya sebagai bedebah politik. Dia membikin konferensi pers dengan menanam beberapa orang reporter palsu di antara reporter betulan. Reporter palsu ini mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan lawan politiknya. Dia juga mengirim surat-surat langsung ke pemilih (direct mail) yang memberikan informasi palsu tentang lawan politiknya. Lee juga ahli dalam memanipulasi media. Dia akan memberikan informasi off the record tentang lawan politiknya kepada media – dan karena dia memiliki kualitas kepribadian yang demikian meyakinkan maka si wartawan merasa tidak perlu melakukan cross-checking. Dia juga membikin survey-survey palsu yang menunjukkan keunggulan calonnya. Survey-survey ini diharapkan akan memunculkan ‘band-wagon effect’ yaitu efek seperti gerbong yang menarik gerbong lainnya.
Lee Atwater berjasa membantu kemenangan Ronald Reagan di wilayah Selatan, yang kemudian membawa Reagan ke tampuk kepresidenan pada 1980. Lee kemudian ikut ke Washington dan menjadi wakil direktur urusan politik Gedung Putih. Dia juga wakil manajer kampanye pemilihan kembali Reagan tahun 1984. Manajer kampanye Reagan saat itu, Ed Rollins, menyebut Atwater menjalankan ‘taktik-taktik kotor’ khususnya terhadap calon wakil presiden Geraldine Ferraro (perempuan pertama yang menjadi calon wakil presiden Amerika!). Atwater mengampanyekan bahwa orangtua Geraldin Ferraro pernah ditahan karena berjualan togel (toto gelap).
Prestasi utama Atwater adalah pada 1988 ketika dia menjalankan kampanye George H.W. Bush Sr. Ketika itu, kampanye Bush hancur berantakan. Opini publik pada musim panas menunjukkan posisi Bush pada angka -17 persen. Namun saat pemilihan bulan November, Lee Atwater menjungkirbalikkan keadaan itu. Lawan Bush, Gubernur negara bagian Massachusetts, Michael Dukakis, diserang dengan taktik paling kotor yang pernah dipakai dalam pemilu AS. Lee Atwater memproduksi sebuah video kampanye yang menggambarkan seorang terpidana yang bernama Willie Horton. Disana digambarkan Bush sebagai orang yang pro hukuman mati; sementara Dukakis adalah anti-hukuman mati. Tidak itu saja, Dukakis disebutkan mendukung program yang membolehkan tahanan keluar penjara saat akhir pekan. Di sinilah Willie Horton mengambil peranan. Pria kulit hitam ini dihukum seumur hidup, tetapi boleh menikmati ‘liburan’ akhir pekan keluar penjara. Semasa ‘liburan’ itulah Horton menyerang dua orang yang berpasangan, membacok, dan memperkosa yang perempuan.
Iklan ini jelas adalah sebuah ‘kode.’ Dalam konteks rasial masyarakat Amerika, ini adalah kode lunaknya Dukakis terhadap orang kulit hitam. Tidak itu saja. Penekanan rasial dalam video kampanye ini mengirimkan sinyal kepada ras kulit putih, yang menjadi mayoritas pemilih: keamanan Anda menjadi taruhan kalau Anda memilih Dukakis! Para kriminal itu (baca: kulit hitam) akan bebas berkeliaran untuk merampok, membunuh, dan memperkosa.
Iklan Willie Horton itu menjadi sangat fenomenal. Bukan karena keberhasilannya dalam menjungkirbalikan posisi politik Bush sehingga membuat dia terpilih sebagai presiden, tetapi karena unsur rasialnya. Iklan ini memainkan emosi dan ketakutan tidak beralasan orang kulit putih terhadap kulit hitam. Ia menguatkan semua prasangka yang memang sudah ada dan menyuburkannya. Ia mampu menghimpunorang kulit putih berbondong-bondong mencoblos (pemilihan bukan suatu kewajiban di Amerika).
Kampanye model ini tidak terjadi sekali dua kali saja. Hampir setiap periode pemilihan pasti diwarnai oleh kampanye hitam ini. Ada yang ditempuh dengan bisik-bisik, ada juga lewat bombardir iklan TV yang menyesatkan. Ambillah contoh kampanye Senator John McCain pada tahun 2000. Saat kampanye penyisihan (primary campaign) untuk menjadi calon Partai Republik, McCain harus menghadapi tuduhan bahwa dia memiliki anak kulit hitam hasil hubungan gelapnya. McCain memang memiliki putri angkat yang berasal dari Bangladesh. Pahlawan perang Vietnam ini memang sedang memperoleh momentum karena kemenangannya di New Hampsire. Lawannya adalah George W. Bush Jr, yang kemudian menjadi presiden. Ketika pemilihan di South Carolina, McCain harus menghadapi tuduhan ini, yang disebarkan lewat selebaran dari rumah ke rumah. Inilah yang membuatnya terjungkal dan George Bush menjadi calon presiden dari Partai Republik.
Hal yang sama juga dialami John Kerry pada tahun 2004. Kerry, seorang veteran perang Vietnam, menerima medalithe purple heart karena terluka di Vietnam. Pada kampanye pemilihan presiden melawan George Bush, Kerry diserang lewat iklan kampanye oleh kelompok yang menamakan dirinya Swift Boat Veterans for Truth. Kelompok ini mempertanyakan medali yang diterima Kerry, terutama karena Kerry pernah bersaksi di depan Kongres tentang kekejaman tentara Amerika di Vietnam. Para veteran, yang terluka atau yang pernah ditawan itu bertanya, ‘Jika Kerry tidak loyal terhadap kawan seperjuangannya, bagaimana dia bisa loyal terhadap negara?’
Ada satu hal yang juga penting digarisbawahi baik pada kampanye hitam ataupun kampanye negatif. Yang diserang bukan bagian yang lemah dari lawan politiknya. Namun, justru yang paling kuat. Dukakis diserang karena kebijakannya yang ingin memperbaiki sistem ‘pemasyarakatan.’ Dia justru ingin sistem yang lebih manusiawi. McCain diserang karena integritasnya, baik sebagai mantan tawanan perang Vietnam, maupun karena sikapnya yang terus terang. Tuduhan memiliki anak dari hasil hubungan gelap adalah serangan yang paling fatal atas integritas dan kejujurannya. Kerry diserang, persis karena statusnya sebagai penerima medali purple heart. Dia menjadi pengritik perang Vietnam. Posisi ini sebenarnya sangat populer di kalangan masyarakat Amerika. Namun, para ahli strategi di pihak Bush dengan buas mengeskploitasinya menjadi titik lemahKerry, yakni dengan menghubungkannya dengan loyalitas terhadap kawan seperjuangan. Bush berhasil mengeksploitasi sentimen nasionalisme.
‘Jokowi! Jokowi! Orangnya belum sunat!’ Demikianlah celoteh anak-anak kecil yang didengar oleh sastrawan AS Laksana di dekat rumahnya. Tentu saja ini diucapkan sambil bermain. Namun ada sesuatu yang serius di sini. Permainan anak-anak itu menjadi sebuah pertanda bahwa smear campaign (kampanye fitnah) yang dilancarkan oleh kubu lawan Jokowi itu bekerja dengan baik. Dia sudah sampai ke tingkat anak-anak. Jika para orangtua hanya mendengarnya lewat bisik-bisik, anak-anak meneruskannya menjadi pengumuman.
Yang jelas, kampanye hitam hadir dalam pemilihan presiden Indonesia 2014. Bahkan, dia hadir dalam skala yang tidak pernah terlihat sebelumnya. Kampanye hitam lebih banyak ditujukan kepada kandidat Joko Widodo (Jokowi) ketimbang Prabowo Subianto. Mengapa? Ini karena problem berbeda yang dihadapi oleh kedua calon. Masalah utama yang harus dihadapi oleh Prabowo Subianto adalah data, terutama data sejarah yang berupa rekam jejaknya pada masa lalu. Sementara, tantangan utama Joko Widodo adalah kampanye hitam baik dalam bentuk disinformasi, tuduhan rasial dan agama, maupun rekam jejak dalam kehidupan publiknya sebagai politisi.
Prabowo Subianto memiliki beban ‘data masa lalu’ yang cukup berat, yang mungkin tidak akan berhenti dipertanyakan, bahkan kalau dia terpilih menjadi presiden. Namun, di balik semua itu, Prabowo jelas figur yang lebih dikenal oleh publik Indonesia ketimbang Jokowi. Jika Prabowo bagaikan sebuah buku novel, maka Jokowi bagaikan buku kosong yang perlu ditulis. Semua orang tahu akan sepak terjang Prabowo, mulai dari kakeknya, ayahnya, dan mertuanya (Suharto). Juga rekam jejaknya sebagai perwira militer, tingkah lakunya dalam banyak kasus pelanggaran HAM, dan kehidupannya sesudah dipecat dari dinas militer. Terlebih lagi, setelah ‘dipecat dengan hormat’ dari dinas militer, Prabowo menghabiskan hampir seluruh karirnya untuk berkampanye menjadi Presiden Republik Indonesia.
Sebaliknya, Jokowi adalah figur yang baru melejit ke publik selama dua tahun terakhir ini. Sebelum itu dia hanya dikenal di lingkup Surakarta, Jawa Tengah, dimana dia menjadi walikota. Dia mulai mendapat perhatian luas dari publik saat dia mencalonkan diri untuk gubernur DKI Jakarta. Sejak saat itu, karir politiknya menanjak tajam. Namun, tidak banyak orang kenal siapa dia. Pengetahuan publik hanya terbatas pada apa yang dia kerjakan sebagai walikota Surakarta dan sebentar menjadi gubernur DKI Jakarta. Itulah sebabnya, Jokowi itu bagaikan buku kosong yang butuh untuk diisi tulisan. Di sinilah lawan dan sekutu politiknya berusaha untuk mengisi halaman-halaman buku itu. Lawan dan kawan politik Jokowi berusaha memberikan definisi tentang siapa Jokowi sebenarnya.
Persis di titik itu kampanye hitam bekerja. Lawan-lawan Jokowi segera masuk mengisi ruang kosong ini. Persis seperti Lee Atwater memberikan kode rasial kepada pemilih Amerika tahun 1988, bahwa memilih Dukakis berarti memihak pada orang kulit hitam. Implikasinya adalah kriminalitas akan menanjak, dominasi orang kulit putih akan melemah, dan secara otomatis akan mengubah tatanan rasial yang sudah ada. Kampanye Lee Atwater memainkan ketakutan orang-orang kulit putih.
Hal yang sama berlaku untuk Jokowi. Lawan-lawan politiknya berusaha mendefinisikan Jokowi sebagai Kristen dan keturunan Cina. Dia dituduh menyembunyikan identitas kekeristenan dan kecinaannya. Dalam kampanye fitnah tersebut, nama asli Jokowi adalah Herbertus Handoko Joko Widodo bin Oey Hong Liong (Noto Mihardjo). Foto Jokowi saat menikah beredar yang mengungkapkan bahwa dia adalah keturunan Cina yang menyembunyikan identitas sukunya (a closet Chinese). Sementara itu juga beredar iklan dukacita, lengkap dengan aksara Cina. Iklan itu juga menginsinuasi bahwa Jokowi adalah Kristen keturunan Cina.
Kampanye hitam ini adalah fitnah (smear campaign) secara membabi buta. Jika kampanye hitam di Amerika pada umumnya ditujukan kepada orang kulit putih dan memainkan ketakutan rasial mereka, maka di Indonesia kampanye ini secara khusus ditujukan kepada kalangan Muslim. Kampanye ini memainkan perasaan kalangan Muslim Indonesia, terutama ketakutan akan dikuasai oleh Kristen. Setelah Suharto tumbang, sektarianisme berdasarkan agama memang menguat di Indonesia. Ini menyumbang pada ketakutan bahwa umat Islam akan diperintah oleh orang beragama Kristen. Sementara, sentimen anti-Cina pun masih kuat di bawah permukaan. Sekalipun setelah Suharto jatuh kerusuhan rasial anti-Cina sangat berkurang drastis namun prasangka rasial terhadap orang Cina masih sangat kuat. Prasangka rasial ini memang tidak muncul ke permukaan. Tapi dia menjadi semacam ‘hidden transcript’ di kalangan masyarakat Indonesia. Dia dibicarakan di ruang-ruang keluarga, di dalam suasana yang akrab, dan jarang muncul ke publik. Namun ia ada.
Seiring dengan berjalannya kampanye pemilihan presiden, tekanan kampanye hitam ini makin menghebat. Serangan terhadap Jokowi tidak saja berlangsung dari mulut ke mulut dan lewat media sosial. Ia kemudian ditingkatkan ke dalam bentuk tabloid yakni Obor Rakyat. Tabloid ini secara samar-sama memiliki kaitan dengan kampanye Prabowo-Hatta. Tabloid ini pun diedarkan dengan target yang jelas, yakni kalangan Islam khususnya basis-basis Islam tradisional, Nahdlatul Ulama (NU). Isinya sebagian besar memperkuat apa yang sudah didengar sebelumnya. Obor Rakyat agaknya akan menjadi cara baru kampanye di Indonesia. Dia menyamarkan diri sebagai karya jurnalistik, walaupun sesungguhnya dia menunggangi dunia jurnalisme untuk melancarkan kampanye hitam.
Setelah beberapa minggu mengamati kampanye pemilihan presiden di Indonesia, saya mendapati betapa mirip pola-pola kampanye ini dilakukan menurut ‘political campaign playbook’ yang dijalankan dalam politik Amerika. Ini secara khusus tampak di kubu Prabowo Subianto. Serangan-serangan, baik yang dibawah tanah dalam bentuk kampanye hitam maupun di atas permukaan dalam serangan politik formal, terlihat sangat biasa untuk mereka yang biasa mengamati politik Amerika.
Di atas permukaan, serangan paling awal terhadap Jokowi adalah sebagai presiden ‘boneka.’ Uniknya, dia tidak dituduh sebagai boneka asing (baru kemudian tuduhan itu muncul) tetapi sebagai boneka Megawati Sukarnoputri, ketua PDIP, partai yang mencalonkan Jokowi. Kubu Prabowo-Hatta tahu persis bahwa kekuatan Jokowi bukan karena dukungan PDIP terhadap dirinya. Kekuatan utamanya adalah populisme yang melintasi garis partai. Jokowi maju bertarung untuk kursi kepresidenan karena ‘diwajibkan’ (conscripted) oleh kalangan independen.
Para ahli strategi di kubu Prabowo berusaha mementahkan ini dengan ‘mengembalikan’ Jokowi kepada Megawati yang popularitasnya memang sangat rendah di kalangan pemilih Indonesia. Menyerang kekuatan lawan, dan bukan kelemahannya, adalah sesuatu yang sangat umum terjadi di dalam poltik Amerika.
Namun serangan yang paling berhasil adalah dalam bentuk kampanye hitam (atau lebih tepatnya smear campaign – kampanye fitnah). Kampanye ini dilakukan oleh kelompok-kelompok di luar tim kampanye resmi. Serangannya pun sangat frontal dan mematikan. Dia menusuk langsung ke psyche masyarakat Indonesia, memainkan ketakutan-ketakutan sektarian dan rasial. Kampanye model ini dipakai karena hasilnya luar biasa bagus. Kampanye hitam, selain memberikan definisi tentang siapa Jokowi itu juga berfungsi untuk mobilisasi.[1] Orang-orang yang ketakutan akan berbondong-bondong memenuhi bilik-bilik suara.
Sedemikian miripnya serangan-serangan dan organisasi kampanye Prabowo-Hatta dengan pola-pola kampanye di Amerika, tentu membuat kita bertanya-tanya: Adakah campur tangan operator politik yang berpengalaman dalam politik Amerika dalam mengelola kampanye Prabowo? Selama ini, pers Indonesia meributkan bahwa kubu Prabowo Subianto mendapatkan bantuan dari konsultan politik Amerika dari Partai Republik yang bernama, Rob Allyn. Kubu Prabowo membantah bahwa Allyn memberikan konsultasi. Namun mereka tidak membantah kalau Allyn bekerja untuk perusahan yang dikontrak oleh tim kampanye kubu Prabowo.[2]
Rob Allyn mungkin bukan figur yang penting dalam politik Amerika. Satu-satunya prestasi paling penting Allyn adalah membuat Gubernur George W. Bush terpilih kembali di Texas tahun 1994. Allyn lebih banyak menangani politisi lokal di AS. Namun, Allyn dan perusahan konsultannya memiliki nama besar di luar AS. Dia berhasil menaikkan Vincente Fox menjadi presiden Meksiko tahun 2000.[3] Sejak itu, Allyn mengembangkan usahanya di luar AS. Dia mulai bergerak di Indonesia diperkirakan sekitar tahun 2004, dengan menjadi konsultan politik untuk Partai Golkar.[4] Saat ini, Allyn mengaku kepada Dallas Observer bahwa dia hidup selama sembilan bulan dalam setahun di Indonesia.
Mungkin ada tangan Rob Allyn dalam membangun strategi kampanye di kubu Prabowo. Mungkin juga tidak. Akan tetapi warna Amerika sangat kuat tercermin dalam kampanye Presiden Indonesia 2014.
Terakhir, apa konsekuensi kampanye hitam terhadap politisi yang berhasil terpilih ke tampuk kekuasaan? Saya melihat dua konsekuensi penting. Pertama, terhadap lawan politiknya. Seorang politisi yang terpilih menduduki satu jabatan, tetap memerlukan lawannya ketika dia memerintah. Jika kampanye adalah persoalan memecah-belah dan berusaha mencari suara yang terbanyak, memerintah (governing) adalah persoalan mempersatukan. Politisi yang dikalahkan dengan kampanye hitam akan sulit menghilangkan ‘rasa getir’ kekalahannya itu. Demikian pula pendukung-pendukungnya. Jika ini terjadi, persoalan memerintah menjadi makin sulit; oposisi semakin sulit untuk diajak bekerja sama; dan pada akhirnya akan menentukan berhasil tidaknya pemerintah yang berkuasa. Kedua,adalah ke dalam koalisi pihak yang memerintah itu sendiri. Kebanyakan kampanye hitam dilakukan secara rahasia, oleh kelompok rahasia, dan disokong oleh dana-dana gelap. Setelah berkuasa, maka penguasa harus berurusan dengan kelompok-kelompok rahasia yang membantunya menaikkan dirinya ke kekuasaan. Sangat lumrah kelompok-kelompok ini tidak puas, dan akhirnya membuka semua aib pihak yang berkuasa dan menjadikannya skandal. Kerahasian (secretiveness) selalu memiliki harga mahal yang harus dibayar.
Pemerintahan yang dihasilkan lewat kampanye hitam berlebihan akan terus menerus berada dalam mode kampanye dan tidak sempat memerintah. Untuk itu, presiden terpilih harus tetap dikelilingi oleh konsultan-konsultan politik. Jika dia menang dalam pemilihan 9 Juli nanti, Presiden Prabowo Subianto mungkin juga harus mencari konsultan politik yang baru, yakni konsultan yang menangani cara memerintah. Kali ini, mungkin konsultan tersebut harus datang dari Russia, mengingat betapa kuatnya Presiden Putin berkuasa di sana.***
Penulis adalah peneliti masalah-masalah politik militer dan jurnalis lepas (freelance). Tulisannya pernah muncul di Prisma, Jurnal Indonesia, dan Inside Indonesia.
Sumber: Indoprogress (diakses tanggal 28 Juni 2014)
Catatan Kaki:
Adalah Richard Nixon yang mengubah peta politik di wilayah tersebut. Setelah UU Hak-hak Sipil (Civil Rights Act)disahkan Presiden Lyndon B. Johnson (Demokrat) tahun 1964, diskriminasi terhadap orang kulit hitam dihapuskan. Yang paling penting dari UU ini, selain penghapusan diskriminasi atas dasar ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, atau kebangsaan, adalah pemberian hak memilih untuk orang kulit hitam. UU ini mengubah semua dimensi politik di wilayah Selatan. Nixon memperhatikan ini dengan cermat. Dia memanipulasi politik di wilayah itu untuk menarik suara kaum kulit putih. Dan itu berhasil dengan baik.
Strategi untuk menggalang suara berdasarkan ras ini dikenal dengan nama ‘the Southern strategy.’ Karena diskriminasi atas nama apapun dilarang secara hukum, maka para operator politik bekerja dengan bahasa ‘kode.’ Mereka tidak mengungkapkan secara terbuka kebenciannya kepada orang kulit hitam, tetapi lewat kode-kode, seperti, misalnya, kerawanan sosial (artinya: orang kulit hitam itu kriminal); kupon makanan (orang kulit hitam itu pemalas dan jadi beban karena pajak yang Anda bayar dipakai untuk mensubsidi makanan mereka); rumah bersubsidi; jaminan sosial, dan lain sebagainya. Politik ini juga dikenal dengan nama politik ‘siulan anjing’ (dog whistle politics). Karena ada siulan anjing yang frekuensi suaranya hanya bisa didengar oleh anjing tapi tidak oleh manusia.
Inilah keahlian Lee Atwater. Dia memulai karirnya dengan menjadi operator politik senator Strom Thurmond dari negara bagian South Carolina. Senator ini terkenal sebagai pendukung politik segregasi dan penentang pemberian hak-hak sipil untuk kaum kulit hitam. Namun, beberapa bulan setelah dia meninggal, terungkap bahwa dia memiliki seorang putri dari seorang perempuan kulit hitam yang bekerja di rumahnya (sangat khas Amerika!). Saat bekerja untuk Senator Thurmond inilah Lee Atwater mengembangkan bakatnya sebagai bedebah politik. Dia membikin konferensi pers dengan menanam beberapa orang reporter palsu di antara reporter betulan. Reporter palsu ini mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan lawan politiknya. Dia juga mengirim surat-surat langsung ke pemilih (direct mail) yang memberikan informasi palsu tentang lawan politiknya. Lee juga ahli dalam memanipulasi media. Dia akan memberikan informasi off the record tentang lawan politiknya kepada media – dan karena dia memiliki kualitas kepribadian yang demikian meyakinkan maka si wartawan merasa tidak perlu melakukan cross-checking. Dia juga membikin survey-survey palsu yang menunjukkan keunggulan calonnya. Survey-survey ini diharapkan akan memunculkan ‘band-wagon effect’ yaitu efek seperti gerbong yang menarik gerbong lainnya.
Lee Atwater berjasa membantu kemenangan Ronald Reagan di wilayah Selatan, yang kemudian membawa Reagan ke tampuk kepresidenan pada 1980. Lee kemudian ikut ke Washington dan menjadi wakil direktur urusan politik Gedung Putih. Dia juga wakil manajer kampanye pemilihan kembali Reagan tahun 1984. Manajer kampanye Reagan saat itu, Ed Rollins, menyebut Atwater menjalankan ‘taktik-taktik kotor’ khususnya terhadap calon wakil presiden Geraldine Ferraro (perempuan pertama yang menjadi calon wakil presiden Amerika!). Atwater mengampanyekan bahwa orangtua Geraldin Ferraro pernah ditahan karena berjualan togel (toto gelap).
Prestasi utama Atwater adalah pada 1988 ketika dia menjalankan kampanye George H.W. Bush Sr. Ketika itu, kampanye Bush hancur berantakan. Opini publik pada musim panas menunjukkan posisi Bush pada angka -17 persen. Namun saat pemilihan bulan November, Lee Atwater menjungkirbalikkan keadaan itu. Lawan Bush, Gubernur negara bagian Massachusetts, Michael Dukakis, diserang dengan taktik paling kotor yang pernah dipakai dalam pemilu AS. Lee Atwater memproduksi sebuah video kampanye yang menggambarkan seorang terpidana yang bernama Willie Horton. Disana digambarkan Bush sebagai orang yang pro hukuman mati; sementara Dukakis adalah anti-hukuman mati. Tidak itu saja, Dukakis disebutkan mendukung program yang membolehkan tahanan keluar penjara saat akhir pekan. Di sinilah Willie Horton mengambil peranan. Pria kulit hitam ini dihukum seumur hidup, tetapi boleh menikmati ‘liburan’ akhir pekan keluar penjara. Semasa ‘liburan’ itulah Horton menyerang dua orang yang berpasangan, membacok, dan memperkosa yang perempuan.
Iklan ini jelas adalah sebuah ‘kode.’ Dalam konteks rasial masyarakat Amerika, ini adalah kode lunaknya Dukakis terhadap orang kulit hitam. Tidak itu saja. Penekanan rasial dalam video kampanye ini mengirimkan sinyal kepada ras kulit putih, yang menjadi mayoritas pemilih: keamanan Anda menjadi taruhan kalau Anda memilih Dukakis! Para kriminal itu (baca: kulit hitam) akan bebas berkeliaran untuk merampok, membunuh, dan memperkosa.
Iklan Willie Horton itu menjadi sangat fenomenal. Bukan karena keberhasilannya dalam menjungkirbalikan posisi politik Bush sehingga membuat dia terpilih sebagai presiden, tetapi karena unsur rasialnya. Iklan ini memainkan emosi dan ketakutan tidak beralasan orang kulit putih terhadap kulit hitam. Ia menguatkan semua prasangka yang memang sudah ada dan menyuburkannya. Ia mampu menghimpunorang kulit putih berbondong-bondong mencoblos (pemilihan bukan suatu kewajiban di Amerika).
Kampanye model ini tidak terjadi sekali dua kali saja. Hampir setiap periode pemilihan pasti diwarnai oleh kampanye hitam ini. Ada yang ditempuh dengan bisik-bisik, ada juga lewat bombardir iklan TV yang menyesatkan. Ambillah contoh kampanye Senator John McCain pada tahun 2000. Saat kampanye penyisihan (primary campaign) untuk menjadi calon Partai Republik, McCain harus menghadapi tuduhan bahwa dia memiliki anak kulit hitam hasil hubungan gelapnya. McCain memang memiliki putri angkat yang berasal dari Bangladesh. Pahlawan perang Vietnam ini memang sedang memperoleh momentum karena kemenangannya di New Hampsire. Lawannya adalah George W. Bush Jr, yang kemudian menjadi presiden. Ketika pemilihan di South Carolina, McCain harus menghadapi tuduhan ini, yang disebarkan lewat selebaran dari rumah ke rumah. Inilah yang membuatnya terjungkal dan George Bush menjadi calon presiden dari Partai Republik.
Hal yang sama juga dialami John Kerry pada tahun 2004. Kerry, seorang veteran perang Vietnam, menerima medalithe purple heart karena terluka di Vietnam. Pada kampanye pemilihan presiden melawan George Bush, Kerry diserang lewat iklan kampanye oleh kelompok yang menamakan dirinya Swift Boat Veterans for Truth. Kelompok ini mempertanyakan medali yang diterima Kerry, terutama karena Kerry pernah bersaksi di depan Kongres tentang kekejaman tentara Amerika di Vietnam. Para veteran, yang terluka atau yang pernah ditawan itu bertanya, ‘Jika Kerry tidak loyal terhadap kawan seperjuangannya, bagaimana dia bisa loyal terhadap negara?’
Ada satu hal yang juga penting digarisbawahi baik pada kampanye hitam ataupun kampanye negatif. Yang diserang bukan bagian yang lemah dari lawan politiknya. Namun, justru yang paling kuat. Dukakis diserang karena kebijakannya yang ingin memperbaiki sistem ‘pemasyarakatan.’ Dia justru ingin sistem yang lebih manusiawi. McCain diserang karena integritasnya, baik sebagai mantan tawanan perang Vietnam, maupun karena sikapnya yang terus terang. Tuduhan memiliki anak dari hasil hubungan gelap adalah serangan yang paling fatal atas integritas dan kejujurannya. Kerry diserang, persis karena statusnya sebagai penerima medali purple heart. Dia menjadi pengritik perang Vietnam. Posisi ini sebenarnya sangat populer di kalangan masyarakat Amerika. Namun, para ahli strategi di pihak Bush dengan buas mengeskploitasinya menjadi titik lemahKerry, yakni dengan menghubungkannya dengan loyalitas terhadap kawan seperjuangan. Bush berhasil mengeksploitasi sentimen nasionalisme.
‘Jokowi! Jokowi! Orangnya belum sunat!’ Demikianlah celoteh anak-anak kecil yang didengar oleh sastrawan AS Laksana di dekat rumahnya. Tentu saja ini diucapkan sambil bermain. Namun ada sesuatu yang serius di sini. Permainan anak-anak itu menjadi sebuah pertanda bahwa smear campaign (kampanye fitnah) yang dilancarkan oleh kubu lawan Jokowi itu bekerja dengan baik. Dia sudah sampai ke tingkat anak-anak. Jika para orangtua hanya mendengarnya lewat bisik-bisik, anak-anak meneruskannya menjadi pengumuman.
Yang jelas, kampanye hitam hadir dalam pemilihan presiden Indonesia 2014. Bahkan, dia hadir dalam skala yang tidak pernah terlihat sebelumnya. Kampanye hitam lebih banyak ditujukan kepada kandidat Joko Widodo (Jokowi) ketimbang Prabowo Subianto. Mengapa? Ini karena problem berbeda yang dihadapi oleh kedua calon. Masalah utama yang harus dihadapi oleh Prabowo Subianto adalah data, terutama data sejarah yang berupa rekam jejaknya pada masa lalu. Sementara, tantangan utama Joko Widodo adalah kampanye hitam baik dalam bentuk disinformasi, tuduhan rasial dan agama, maupun rekam jejak dalam kehidupan publiknya sebagai politisi.
Prabowo Subianto memiliki beban ‘data masa lalu’ yang cukup berat, yang mungkin tidak akan berhenti dipertanyakan, bahkan kalau dia terpilih menjadi presiden. Namun, di balik semua itu, Prabowo jelas figur yang lebih dikenal oleh publik Indonesia ketimbang Jokowi. Jika Prabowo bagaikan sebuah buku novel, maka Jokowi bagaikan buku kosong yang perlu ditulis. Semua orang tahu akan sepak terjang Prabowo, mulai dari kakeknya, ayahnya, dan mertuanya (Suharto). Juga rekam jejaknya sebagai perwira militer, tingkah lakunya dalam banyak kasus pelanggaran HAM, dan kehidupannya sesudah dipecat dari dinas militer. Terlebih lagi, setelah ‘dipecat dengan hormat’ dari dinas militer, Prabowo menghabiskan hampir seluruh karirnya untuk berkampanye menjadi Presiden Republik Indonesia.
Sebaliknya, Jokowi adalah figur yang baru melejit ke publik selama dua tahun terakhir ini. Sebelum itu dia hanya dikenal di lingkup Surakarta, Jawa Tengah, dimana dia menjadi walikota. Dia mulai mendapat perhatian luas dari publik saat dia mencalonkan diri untuk gubernur DKI Jakarta. Sejak saat itu, karir politiknya menanjak tajam. Namun, tidak banyak orang kenal siapa dia. Pengetahuan publik hanya terbatas pada apa yang dia kerjakan sebagai walikota Surakarta dan sebentar menjadi gubernur DKI Jakarta. Itulah sebabnya, Jokowi itu bagaikan buku kosong yang butuh untuk diisi tulisan. Di sinilah lawan dan sekutu politiknya berusaha untuk mengisi halaman-halaman buku itu. Lawan dan kawan politik Jokowi berusaha memberikan definisi tentang siapa Jokowi sebenarnya.
Persis di titik itu kampanye hitam bekerja. Lawan-lawan Jokowi segera masuk mengisi ruang kosong ini. Persis seperti Lee Atwater memberikan kode rasial kepada pemilih Amerika tahun 1988, bahwa memilih Dukakis berarti memihak pada orang kulit hitam. Implikasinya adalah kriminalitas akan menanjak, dominasi orang kulit putih akan melemah, dan secara otomatis akan mengubah tatanan rasial yang sudah ada. Kampanye Lee Atwater memainkan ketakutan orang-orang kulit putih.
Hal yang sama berlaku untuk Jokowi. Lawan-lawan politiknya berusaha mendefinisikan Jokowi sebagai Kristen dan keturunan Cina. Dia dituduh menyembunyikan identitas kekeristenan dan kecinaannya. Dalam kampanye fitnah tersebut, nama asli Jokowi adalah Herbertus Handoko Joko Widodo bin Oey Hong Liong (Noto Mihardjo). Foto Jokowi saat menikah beredar yang mengungkapkan bahwa dia adalah keturunan Cina yang menyembunyikan identitas sukunya (a closet Chinese). Sementara itu juga beredar iklan dukacita, lengkap dengan aksara Cina. Iklan itu juga menginsinuasi bahwa Jokowi adalah Kristen keturunan Cina.
Kampanye hitam ini adalah fitnah (smear campaign) secara membabi buta. Jika kampanye hitam di Amerika pada umumnya ditujukan kepada orang kulit putih dan memainkan ketakutan rasial mereka, maka di Indonesia kampanye ini secara khusus ditujukan kepada kalangan Muslim. Kampanye ini memainkan perasaan kalangan Muslim Indonesia, terutama ketakutan akan dikuasai oleh Kristen. Setelah Suharto tumbang, sektarianisme berdasarkan agama memang menguat di Indonesia. Ini menyumbang pada ketakutan bahwa umat Islam akan diperintah oleh orang beragama Kristen. Sementara, sentimen anti-Cina pun masih kuat di bawah permukaan. Sekalipun setelah Suharto jatuh kerusuhan rasial anti-Cina sangat berkurang drastis namun prasangka rasial terhadap orang Cina masih sangat kuat. Prasangka rasial ini memang tidak muncul ke permukaan. Tapi dia menjadi semacam ‘hidden transcript’ di kalangan masyarakat Indonesia. Dia dibicarakan di ruang-ruang keluarga, di dalam suasana yang akrab, dan jarang muncul ke publik. Namun ia ada.
Seiring dengan berjalannya kampanye pemilihan presiden, tekanan kampanye hitam ini makin menghebat. Serangan terhadap Jokowi tidak saja berlangsung dari mulut ke mulut dan lewat media sosial. Ia kemudian ditingkatkan ke dalam bentuk tabloid yakni Obor Rakyat. Tabloid ini secara samar-sama memiliki kaitan dengan kampanye Prabowo-Hatta. Tabloid ini pun diedarkan dengan target yang jelas, yakni kalangan Islam khususnya basis-basis Islam tradisional, Nahdlatul Ulama (NU). Isinya sebagian besar memperkuat apa yang sudah didengar sebelumnya. Obor Rakyat agaknya akan menjadi cara baru kampanye di Indonesia. Dia menyamarkan diri sebagai karya jurnalistik, walaupun sesungguhnya dia menunggangi dunia jurnalisme untuk melancarkan kampanye hitam.
Setelah beberapa minggu mengamati kampanye pemilihan presiden di Indonesia, saya mendapati betapa mirip pola-pola kampanye ini dilakukan menurut ‘political campaign playbook’ yang dijalankan dalam politik Amerika. Ini secara khusus tampak di kubu Prabowo Subianto. Serangan-serangan, baik yang dibawah tanah dalam bentuk kampanye hitam maupun di atas permukaan dalam serangan politik formal, terlihat sangat biasa untuk mereka yang biasa mengamati politik Amerika.
Di atas permukaan, serangan paling awal terhadap Jokowi adalah sebagai presiden ‘boneka.’ Uniknya, dia tidak dituduh sebagai boneka asing (baru kemudian tuduhan itu muncul) tetapi sebagai boneka Megawati Sukarnoputri, ketua PDIP, partai yang mencalonkan Jokowi. Kubu Prabowo-Hatta tahu persis bahwa kekuatan Jokowi bukan karena dukungan PDIP terhadap dirinya. Kekuatan utamanya adalah populisme yang melintasi garis partai. Jokowi maju bertarung untuk kursi kepresidenan karena ‘diwajibkan’ (conscripted) oleh kalangan independen.
Para ahli strategi di kubu Prabowo berusaha mementahkan ini dengan ‘mengembalikan’ Jokowi kepada Megawati yang popularitasnya memang sangat rendah di kalangan pemilih Indonesia. Menyerang kekuatan lawan, dan bukan kelemahannya, adalah sesuatu yang sangat umum terjadi di dalam poltik Amerika.
Namun serangan yang paling berhasil adalah dalam bentuk kampanye hitam (atau lebih tepatnya smear campaign – kampanye fitnah). Kampanye ini dilakukan oleh kelompok-kelompok di luar tim kampanye resmi. Serangannya pun sangat frontal dan mematikan. Dia menusuk langsung ke psyche masyarakat Indonesia, memainkan ketakutan-ketakutan sektarian dan rasial. Kampanye model ini dipakai karena hasilnya luar biasa bagus. Kampanye hitam, selain memberikan definisi tentang siapa Jokowi itu juga berfungsi untuk mobilisasi.[1] Orang-orang yang ketakutan akan berbondong-bondong memenuhi bilik-bilik suara.
Sedemikian miripnya serangan-serangan dan organisasi kampanye Prabowo-Hatta dengan pola-pola kampanye di Amerika, tentu membuat kita bertanya-tanya: Adakah campur tangan operator politik yang berpengalaman dalam politik Amerika dalam mengelola kampanye Prabowo? Selama ini, pers Indonesia meributkan bahwa kubu Prabowo Subianto mendapatkan bantuan dari konsultan politik Amerika dari Partai Republik yang bernama, Rob Allyn. Kubu Prabowo membantah bahwa Allyn memberikan konsultasi. Namun mereka tidak membantah kalau Allyn bekerja untuk perusahan yang dikontrak oleh tim kampanye kubu Prabowo.[2]
Rob Allyn mungkin bukan figur yang penting dalam politik Amerika. Satu-satunya prestasi paling penting Allyn adalah membuat Gubernur George W. Bush terpilih kembali di Texas tahun 1994. Allyn lebih banyak menangani politisi lokal di AS. Namun, Allyn dan perusahan konsultannya memiliki nama besar di luar AS. Dia berhasil menaikkan Vincente Fox menjadi presiden Meksiko tahun 2000.[3] Sejak itu, Allyn mengembangkan usahanya di luar AS. Dia mulai bergerak di Indonesia diperkirakan sekitar tahun 2004, dengan menjadi konsultan politik untuk Partai Golkar.[4] Saat ini, Allyn mengaku kepada Dallas Observer bahwa dia hidup selama sembilan bulan dalam setahun di Indonesia.
Mungkin ada tangan Rob Allyn dalam membangun strategi kampanye di kubu Prabowo. Mungkin juga tidak. Akan tetapi warna Amerika sangat kuat tercermin dalam kampanye Presiden Indonesia 2014.
Terakhir, apa konsekuensi kampanye hitam terhadap politisi yang berhasil terpilih ke tampuk kekuasaan? Saya melihat dua konsekuensi penting. Pertama, terhadap lawan politiknya. Seorang politisi yang terpilih menduduki satu jabatan, tetap memerlukan lawannya ketika dia memerintah. Jika kampanye adalah persoalan memecah-belah dan berusaha mencari suara yang terbanyak, memerintah (governing) adalah persoalan mempersatukan. Politisi yang dikalahkan dengan kampanye hitam akan sulit menghilangkan ‘rasa getir’ kekalahannya itu. Demikian pula pendukung-pendukungnya. Jika ini terjadi, persoalan memerintah menjadi makin sulit; oposisi semakin sulit untuk diajak bekerja sama; dan pada akhirnya akan menentukan berhasil tidaknya pemerintah yang berkuasa. Kedua,adalah ke dalam koalisi pihak yang memerintah itu sendiri. Kebanyakan kampanye hitam dilakukan secara rahasia, oleh kelompok rahasia, dan disokong oleh dana-dana gelap. Setelah berkuasa, maka penguasa harus berurusan dengan kelompok-kelompok rahasia yang membantunya menaikkan dirinya ke kekuasaan. Sangat lumrah kelompok-kelompok ini tidak puas, dan akhirnya membuka semua aib pihak yang berkuasa dan menjadikannya skandal. Kerahasian (secretiveness) selalu memiliki harga mahal yang harus dibayar.
Pemerintahan yang dihasilkan lewat kampanye hitam berlebihan akan terus menerus berada dalam mode kampanye dan tidak sempat memerintah. Untuk itu, presiden terpilih harus tetap dikelilingi oleh konsultan-konsultan politik. Jika dia menang dalam pemilihan 9 Juli nanti, Presiden Prabowo Subianto mungkin juga harus mencari konsultan politik yang baru, yakni konsultan yang menangani cara memerintah. Kali ini, mungkin konsultan tersebut harus datang dari Russia, mengingat betapa kuatnya Presiden Putin berkuasa di sana.***
Penulis adalah peneliti masalah-masalah politik militer dan jurnalis lepas (freelance). Tulisannya pernah muncul di Prisma, Jurnal Indonesia, dan Inside Indonesia.
Sumber: Indoprogress (diakses tanggal 28 Juni 2014)
Catatan Kaki:
- Lihat, misalnya, Paul S. Martin, ‘Inside the Black Box of Negative Campaign Effects: Three Reasons Why Negative Campaigns Mobilize,’ Political Psychology, Vol. 25, No. 4, Symposium on Campaigns and Elections (Aug., 2004), pp. 545-562
- Lihat keterangan Haryanto Taslam, http://nasional.inilah.com/read/detail/108985/prabowo-sewa-konsultan-bush#.U6u38ZRdXHQ
- Lihat http://www.dmagazine.com/publications/d-magazine/2001/march/mr-mexico
- Lihat http://www.nytimes.com/2005/12/28/business/media/28adco.html Harian The New York Times, 28 Desember 2006 menyebutkan bahwa Allyn bekerja untuk Partai Golkar. Ada kemungkinan bahwa Allyn membantu Prabowo untuk memenangkan konvensi Partai Golkar saat itu dan tidak secara langsung membantu Partai Golkar.