Muhammad Syarkawi Rauf
Dosen FEB Unhas/ Anggota Jaringan Peneliti Ekonomi Indonesia Timur (JAPEIT)
Debat capres dan cawapres telah membuka tirai pencitraan kedua pasangan. Debat tersebut memperlihatkan kontras antar keduanya, dimana paket reformasi ekonomi Jokowi lebih praktis dan operasional, sementara Prabowo menawarkan ide besar yang sangat makro sehigga terkesan tidak realistis.
Dosen FEB Unhas/ Anggota Jaringan Peneliti Ekonomi Indonesia Timur (JAPEIT)
Debat capres dan cawapres telah membuka tirai pencitraan kedua pasangan. Debat tersebut memperlihatkan kontras antar keduanya, dimana paket reformasi ekonomi Jokowi lebih praktis dan operasional, sementara Prabowo menawarkan ide besar yang sangat makro sehigga terkesan tidak realistis.
Paket reformasi ekonomi Jokowi yang selanjutnya disebut Jokowinomics lebih tepat menjawab permasalahan ekonomi nasional. Jokowinomics sejalan dengan Abenomics yang fokus pada isu mendasar pembangunan manusia, modernisasi infrastruktur dan reformasi birokrasi. Abenomics merujuk pada paket reformasi ekonomi perdana menteri Jepang terpilih, Shinzo Abe (The Japan Times, 14/06/2013).
Jokowinomics berorientasi pada peningkatan produktifitas angkatan kerja melalui penekanan pada pembangunan manusia. Hal ini sejalan dengan laporan Bank Dunia bertajuk “Kajian Kebijakan Pembangunan 2014: Indonesia Menghindari Perangkap” (Kompas, 24 Juni 2014).
Sehingga paket reformasi Jokowinomics lebih relevan mempercepat reformasi struktural dalam rangka transformasi ekonomi Indonesia keluar dari middle income trap (jebakan negara berpendapatan menengah) dan menjadi negara maju dengan pendapatan perkapita di atas 11.750 dollar AS per tahun sebelum tahun 2045.
Tidak hanya itu, Jokowinomics juga sejalan dengan kesimpulan dua ekonom terkemuka, Daron Acemoglu dari MIT dan James A. Robinson dari Universitas Harvard, terkait pertanyaan, Why Nations Fail? Permasalahan ekonomi di Afrika, Eropa Timur, Amerika Selatan dan Asia, khususnya Indonesia bukan karena faktor geografi atau budaya, tetapi karena pemimpinnya gagal membuat kebijakan yang tepat untuk memberdayakan ekonominya.
Fokus Jokowinomics
Paket kebijakan pembangunan manusia melalui program revolusi mental bertujuan mengubah secara fundamental manusia Indonesia sehingga dalam jangka panjang memiliki etos kerja tinggi, tertib, bersih, bermoral, menjunjung tinggi hukum, menghargai orang tua dan menerima keberagaman.
Gagasan di atas sejalan dengan restorasi Meiji 1866 – 1869 yang terbukti mampu mengantarkan Jepang menjadi negara maju. Reformasi struktural melalui program pembangunan manusia juga ampuh membawa Korsel keluar dari middle income trap yang ditandai oleh masyarakatnya yang memiliki etos kerja dan loyal terhadap produk dalam negerinya sendiri.
Program revolusi mental akan melahirkan manusia Indonesia yang tidak hanya memiliki pengetahuan, menguasai teknologi dan terampil tetapi juga memiliki mentalitas sebagai pekerja keras. Hal ini akan meningkatkan produktifitas sebagai fondasi pertumbuhan ekonomi tinggi secara berkelanjutan.
Jokowinomics juga fokus pada isu jangka pendek dan menengah melalui integrasi sistem logistik nasional mulai dari “tol darat” (tol darat sebagai gabungan antara jalur kereta double track dan jalan bebas hambatan) dengan “tol laut” dan “tol udara” (angkutan penumpang dan kargo udara).
Ide “tol laut” bertujuan memperkuat integrasi ekonomi nasional dari Sabang sampai Merauke. Sehingga “tol laut” bukan jalan tol di atas laut tetapi kapal besar yang menghubungkan pulau-pulau di Indonesia dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.
Mengatasi Disintegrasi
Saat ini, integrasi ekonomi nasional sangat buruk yang tercermin pada tingginya disparitas harga antar daerah karena mahalnya biaya logistik. Dimana harga semen di Papua bisa mencapai Rp. 500.000,- sampai Rp. 1.500.000,- per sak, sementara di Jawa hanya sekitar Rp. 50.000 per sak.
Data perdagangan antar pulau menunjukkan bahwa tidak ada hubungan dagang langsung antara Papua dan Maluku dengan Kalimantan dan Sumatera. Daerah-daerah di Papua dan Maluku hanya berhubungan dagang langsung dengan Surabaya, Jatim dan Makassar, Sulsel sebagai regional hub di KTI (Unhas, 2010).
Integrasi “tol laut, tol darat, dan tol udara” akan mengurangi persentase biaya logistik nasional terhadap Gross Domestic Product (GDP) dari 26 persen tahun 2013 menjadi hanya 10 – 15 persen dalam 10 tahun mendatang (Bank Dunia, 2013). Dimana “tol udara” akan membuka isolasi daerah-daerah di pedalaman Papua, Maluku, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera.
Dimana pengembangan “tol udara” di AS telah melipatgandakan jumlah pembeli tiket pesawat hingga mencapai 1,2 milyar dari penduduknya yang berjumlah 350 juta jiwa. Dimana satu orang penduduk AS membeli tiga kali tiket pesawat per tahun. Jika AS menjadi benchmark maka potensi pasar penerbangan nasional setara tiga kali 250 juta penduduk Indonesia sama dengan 750 juta pembeli tiket dari saat ini hanya 70 juta.
Akhirnya, sistem logistik yang terintegrasi dan murah akan memberi insentif terhadap percepatan proses industrialisasi di Kalimantan, Maluku, Sulawesi dan Papua. Harapannya terjadi pemerataan jumlah kawasan industri dari saat ini 55 terdapat di Jawa, 16 di Sumatera, dan hanya 3 di KTI (Kompas, 2014).
Sehingga dalam lima tahun ke depan, 30 persen kawasan industri ada di KTI dan 70 persen di KBI. Hal ini akan menggeser industri manufaktur berbasis SDA dari Jawa ke luar Jawa dan sekaligus mengoreksi proses deindustrialisasi yang terjadi secara nasional dalam lima tahun terakhir.
Sumber: Kompas cetak Jumat 4 Juli 2014. Dimuat disini atas izin dari penulis.
Jokowinomics berorientasi pada peningkatan produktifitas angkatan kerja melalui penekanan pada pembangunan manusia. Hal ini sejalan dengan laporan Bank Dunia bertajuk “Kajian Kebijakan Pembangunan 2014: Indonesia Menghindari Perangkap” (Kompas, 24 Juni 2014).
Sehingga paket reformasi Jokowinomics lebih relevan mempercepat reformasi struktural dalam rangka transformasi ekonomi Indonesia keluar dari middle income trap (jebakan negara berpendapatan menengah) dan menjadi negara maju dengan pendapatan perkapita di atas 11.750 dollar AS per tahun sebelum tahun 2045.
Tidak hanya itu, Jokowinomics juga sejalan dengan kesimpulan dua ekonom terkemuka, Daron Acemoglu dari MIT dan James A. Robinson dari Universitas Harvard, terkait pertanyaan, Why Nations Fail? Permasalahan ekonomi di Afrika, Eropa Timur, Amerika Selatan dan Asia, khususnya Indonesia bukan karena faktor geografi atau budaya, tetapi karena pemimpinnya gagal membuat kebijakan yang tepat untuk memberdayakan ekonominya.
Fokus Jokowinomics
Paket kebijakan pembangunan manusia melalui program revolusi mental bertujuan mengubah secara fundamental manusia Indonesia sehingga dalam jangka panjang memiliki etos kerja tinggi, tertib, bersih, bermoral, menjunjung tinggi hukum, menghargai orang tua dan menerima keberagaman.
Gagasan di atas sejalan dengan restorasi Meiji 1866 – 1869 yang terbukti mampu mengantarkan Jepang menjadi negara maju. Reformasi struktural melalui program pembangunan manusia juga ampuh membawa Korsel keluar dari middle income trap yang ditandai oleh masyarakatnya yang memiliki etos kerja dan loyal terhadap produk dalam negerinya sendiri.
Program revolusi mental akan melahirkan manusia Indonesia yang tidak hanya memiliki pengetahuan, menguasai teknologi dan terampil tetapi juga memiliki mentalitas sebagai pekerja keras. Hal ini akan meningkatkan produktifitas sebagai fondasi pertumbuhan ekonomi tinggi secara berkelanjutan.
Jokowinomics juga fokus pada isu jangka pendek dan menengah melalui integrasi sistem logistik nasional mulai dari “tol darat” (tol darat sebagai gabungan antara jalur kereta double track dan jalan bebas hambatan) dengan “tol laut” dan “tol udara” (angkutan penumpang dan kargo udara).
Ide “tol laut” bertujuan memperkuat integrasi ekonomi nasional dari Sabang sampai Merauke. Sehingga “tol laut” bukan jalan tol di atas laut tetapi kapal besar yang menghubungkan pulau-pulau di Indonesia dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.
Mengatasi Disintegrasi
Saat ini, integrasi ekonomi nasional sangat buruk yang tercermin pada tingginya disparitas harga antar daerah karena mahalnya biaya logistik. Dimana harga semen di Papua bisa mencapai Rp. 500.000,- sampai Rp. 1.500.000,- per sak, sementara di Jawa hanya sekitar Rp. 50.000 per sak.
Data perdagangan antar pulau menunjukkan bahwa tidak ada hubungan dagang langsung antara Papua dan Maluku dengan Kalimantan dan Sumatera. Daerah-daerah di Papua dan Maluku hanya berhubungan dagang langsung dengan Surabaya, Jatim dan Makassar, Sulsel sebagai regional hub di KTI (Unhas, 2010).
Integrasi “tol laut, tol darat, dan tol udara” akan mengurangi persentase biaya logistik nasional terhadap Gross Domestic Product (GDP) dari 26 persen tahun 2013 menjadi hanya 10 – 15 persen dalam 10 tahun mendatang (Bank Dunia, 2013). Dimana “tol udara” akan membuka isolasi daerah-daerah di pedalaman Papua, Maluku, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera.
Dimana pengembangan “tol udara” di AS telah melipatgandakan jumlah pembeli tiket pesawat hingga mencapai 1,2 milyar dari penduduknya yang berjumlah 350 juta jiwa. Dimana satu orang penduduk AS membeli tiga kali tiket pesawat per tahun. Jika AS menjadi benchmark maka potensi pasar penerbangan nasional setara tiga kali 250 juta penduduk Indonesia sama dengan 750 juta pembeli tiket dari saat ini hanya 70 juta.
Akhirnya, sistem logistik yang terintegrasi dan murah akan memberi insentif terhadap percepatan proses industrialisasi di Kalimantan, Maluku, Sulawesi dan Papua. Harapannya terjadi pemerataan jumlah kawasan industri dari saat ini 55 terdapat di Jawa, 16 di Sumatera, dan hanya 3 di KTI (Kompas, 2014).
Sehingga dalam lima tahun ke depan, 30 persen kawasan industri ada di KTI dan 70 persen di KBI. Hal ini akan menggeser industri manufaktur berbasis SDA dari Jawa ke luar Jawa dan sekaligus mengoreksi proses deindustrialisasi yang terjadi secara nasional dalam lima tahun terakhir.
Sumber: Kompas cetak Jumat 4 Juli 2014. Dimuat disini atas izin dari penulis.