Ust Miftah Fauzi Rakhmat
Apa kesamaan antara Muhammad Aboutrika dari Mesir, Abadi Pele yang orang Ghana, dan Kazuyoshi Miura dari Jepang? Kita mungkin belum dengan cepat dapat menjawabnya.
Apa kesamaan antara Eric Cantona orang Perancis itu, dan George Weah yang Liberia, dan Alberto Di Stefano yang berkebangsaan tiga? Semua bisa bahasa Perancis? Bukan, bukan itu.
Apa kesamaan antara Muhammad Aboutrika dari Mesir, Abadi Pele yang orang Ghana, dan Kazuyoshi Miura dari Jepang? Kita mungkin belum dengan cepat dapat menjawabnya.
Apa kesamaan antara Eric Cantona orang Perancis itu, dan George Weah yang Liberia, dan Alberto Di Stefano yang berkebangsaan tiga? Semua bisa bahasa Perancis? Bukan, bukan itu.
Tambahkan Ryan Giggs dari Wales, dan semuanya sedikit jelas karenanya.
Ketujuh orang itu adalah pemain-pemain hebat sepakbola dunia, para pemain legenda. Ada satu yang sama dari mereka seluruhnya: tak pernah main di ajang Piala Dunia.
Bagi setiap pencapaian selalu ada capaian yang lebih tinggi. Langit ternyata bukan batasnya. Rekor tersedia untuk dipecahkan, untuk ditaklukkan, untuk dikalahkan. Ada yang meraih pencetak gol terbanyak. Ada yang bermain di klubnya dalam jumlah terbanyak. Ada yang sering berganti-ganti tim teman bermain. Ada yang tercatat menyelamatkan gawangnya dari ragam 'serbuan'.
Semua terukir indah dalam prestasi sang olahragawan.
Tapi tetap, ada penyesalan yang tak tergantikan. Tak pernah bermain di ajang sebesar Piala Dunia menyisakan rasa penasaran yang tak pernah lepas dari kenangan. Barangkali.
Ibarat sebuah gua, di dalamnya gelap sekali. Ada dua kelompok yang akan memasukinya. Mereka bebas mengambil apa pun yang ada di dalamnya. Tak mengambil pun tak apa-apa. Dengan catatan, baik yang mengambil maupun tidak akan sama-sama menyesal setelahnya. Dan pintu gua akan tertutup begitu mereka keluar daripadanya.
Maka masuklah kedua kelompok itu. Yang satu mengambil apa yang bisa dirasakannya. Yang lain memilih tidak, toh akan menyesal juga nantinya. Dan melangkahlah mereka keluar. Pintu pun tertutup seketika. Keduanya terperangah. Yang dipegang intan permata. Perhiasan teramat berharganya. Kata yang tak mengambil, ia menyesal kenapa tak mengambilnya. Yang membawa pun menyesal dan berkata, "Andai aku mengambil lebih banyak daripadanya."
Gua itu ibarat kehidupan dunia. Sekelompok menyesal karena meninggalkannya dalam keadaan merugi. Kelompok yang lain menyesal pula karena tak cukup mengambil bekal yang berarti.
Apa yang kurang dari hidup di dalam gua itu? Apa yang bisa membuat sesal hilang dan berganti harap baru? Cahaya. Andai di gua itu ada cahaya, dan kita bisa melihat apa yang ada di dalamnya. Mengambil atau tidak, itu pilihan setelahnya. Tapi cahaya itu menuntun kita melaluinya.
Dalam kehidupan, cahaya itu cinta Tuhan. Karena cintaNya kita diciptakan. Karena cintaNya pula kitab suci diturunkan. Karena cintaNya para nabi dihadirkan sebagai penuntun jalan. Cahaya itu adalah kecintaan pada para kekasih Tuhan.
Mengapa itu semua jadi pelita? Karena sesal kita akan tergantikan teladan mereka. Derita kita tak berarti dibandingkan kisah juang mereka. Masalah kita tak bermakna bersanding kendala dan ujian mereka. Tanpa pelita, kita kesulitan melangkah. Tanpa cinta, gelap hidup mengarah. Tanpa para kekasih, hidup diliputi ragam gelisah.
Meski demikian, tetap saja sesal bertambah.
Karena, ada yang mengambil emas berlian dengan cahaya itu, dan mereka lupa akan nikmat sesungguhnya, yaitu cahaya itu sendiri. Di luar gua telah menanti cahaya begitu terangnya.
Semua peribadatan adalah batu berharga di gua yang gulita. Shalat, sedekah, dan setiap zikir kita. Mereka intan permata, yang kemudian terlihat bersinar begitu melangkah ke luar gua. Bila beruntung, kita hidup makmur setelahnya. Tapi masih saja ada sesal setelahnya.
Sesal itu setelah melihat cahaya. Indah berpendar teramat terangnya. Dalam hidup ini ada hakikat yang baru terlihat manakala mata batin bersinarkan cahayaNya.
Berkali-kali kitab suci mengingatkan bahwa segala yang ada di langit dan bumi adalah bertasbih memujaNya, beribadah kepadaNya dan kita tidak menyadari kehadirannya.
Seperti sebuah kisah yang masyhur, di antara para santri dan tersebar melalui lisan, tentang seorang perempuan, Banu Mujtahidah Abid, seorang shalihah dari Isfahan.
Ia biasa mengajar murid-muridnya di kelas, bertahun-tahun lamanya. Tak pernah sekalipun ia terlambat. Hingga satu saat, ia tak terlihat. Murid-muridnya bersabar menunggu, tapi tak kunjung juga ia tiba. Akhirnya mereka sepakat, mendatangi sang guru ke rumahnya.
Tak lama, baru saja hendak sampai ke depan pintu rumahnya, mereka terkesima. Sang guru tengah tersungkur bergetar, bersujud berguncang di atas tanah yang basah dengan airmatanya. Murid-murid itu setia menunggu, hingga ia bangkit dari sujudnya.
"Guru," tanya mereka, setelah ia mengetahui kehadiran mereka, "apa gerangan yang terjadi? Apa sebab sujudmu ini?" Ia menjawab, "Begitu aku hendak melangkah, untuk menemui kalian di madrasah. Aku melihat di sekitarku pepohonan bertasbih. Aku mendengar gemuruh makhluk bersenandung memuja Tuhan. Begitu indah, tak berhenti. Dan aku tersungkur, malu. Karena tak abadi dalam memuji, tak kekal dalam bersyukur, tak takluk dalam ibadah. Aku bersujud menggabungkan diriku dalam kepasrahan dan pujian pada Tuhanku."
Di atas pencapaian ada pencapaian lagi. Di atas langit masih ada langit lagi. Di atas cahaya, masih ada terang lagi.
Alkisah seorang saleh, mendiang putra mendiang seorang imam besar, rahmat Allah bagi para ulama nan tulus mengabdi. Satu saat, di pertengahan malam, ia terbangun dari tidurnya. Nafas tersengal, dan keringat mengalir membasahi janggutnya. Ia bergetar. Ia menahan tangisannya. Istrinya ikut terbangun dan menenangkannya. Lalu bertanya apa yang merisaukannya. Ia menjawab, "Baru saja aku bermimpi, melihat almarhum ayah. Dan sungguh, betapa bercahayanya ia. Ia tersenyum kepadaku. Tapi ia terlihat lelah. Seolah nafas yang terengah. Seakan berat ia melangkah. Aku bertanya, 'mengapa Abah? Mengapa lelah itu' Ia menjawab, 'Baru saja aku menyeberangi 'shirath' dan alangkah beratnya pertanggungjawaban itu.' Aku terbangun dari tidurku. Bila ayah saja, yang mewakafkan hidupnya untuk ilmu, yang berjuang seumur hidupnya untuk menegakkan agama yang benar itu, yang sudah mendirikan negeri di atas kecintaan itu…masih terengah-engah di hadapan pertanggungjawaban itu…apalagi aku. Bagaimana nanti nasibku?"
Perjalanan menuju surga senantiasa melalui jembatan itu.
Di atas langit masih ada langit. Di atas sesal masih ada sesal itu. Di atas kekhusyuan masih ada khusyu itu. Peribadatan setiap kita tak pernah sama, kecuali saat bulan suci menyapa kita. Kala perut menahan lapar yang sama. Jamuan yang dihidangkan Tuhan terbuka bagi semua. Siapa saja bisa meraihnya. Para kekasih hati dihadirkan untuk membimbing menikmati hidangan itu. Sesal kemudian bagi yang tak tahu, bahwa nikmat sesungguhnya adalah kehadiran penunjuk jalan itu.
Karena sebenarnya bekal sejati, bukanlah intan permata, tapi membimbing kawan untuk meraihnya. Modal berharga bukan amal pribadi, tapi titipan dari sahabat yang berkenan memikulnya. Syukur bukan sekadar mengabarkan nikmat. Syukur adalah membantu orang untuk juga ikut memperolehnya, untuk juga sampai dan merasakan kenikmatan yang sama.
Seperti kata Eric Cantona, pemain legendaris itu, yang tak pernah mencicipi hiruk pikuk Piala Dunia, sedang kawan-kawannya sesama klub hadir mewakili negara, "Hadiah terbesar dalam satu pertandingan bukanlah sebuah goal, tapi sebuah assist, sebuah umpan untuk membantu lahirnya gol itu."
Karena nikmat sejati bukanlah permata di dalam gua yang gelap itu, tapi membawakan cahaya agar orang dapat melihatnya.
Anugerah terindah adalah bergabung bersama para teladan itu, mengantarkan dan mengedarkan cahaya.
Agar sesal tak tertinggal, jadilah penjaja cahaya itu.
*) Catatan dari Majelis Dr. Muhaddits
Ketujuh orang itu adalah pemain-pemain hebat sepakbola dunia, para pemain legenda. Ada satu yang sama dari mereka seluruhnya: tak pernah main di ajang Piala Dunia.
Bagi setiap pencapaian selalu ada capaian yang lebih tinggi. Langit ternyata bukan batasnya. Rekor tersedia untuk dipecahkan, untuk ditaklukkan, untuk dikalahkan. Ada yang meraih pencetak gol terbanyak. Ada yang bermain di klubnya dalam jumlah terbanyak. Ada yang sering berganti-ganti tim teman bermain. Ada yang tercatat menyelamatkan gawangnya dari ragam 'serbuan'.
Semua terukir indah dalam prestasi sang olahragawan.
Tapi tetap, ada penyesalan yang tak tergantikan. Tak pernah bermain di ajang sebesar Piala Dunia menyisakan rasa penasaran yang tak pernah lepas dari kenangan. Barangkali.
Ibarat sebuah gua, di dalamnya gelap sekali. Ada dua kelompok yang akan memasukinya. Mereka bebas mengambil apa pun yang ada di dalamnya. Tak mengambil pun tak apa-apa. Dengan catatan, baik yang mengambil maupun tidak akan sama-sama menyesal setelahnya. Dan pintu gua akan tertutup begitu mereka keluar daripadanya.
Maka masuklah kedua kelompok itu. Yang satu mengambil apa yang bisa dirasakannya. Yang lain memilih tidak, toh akan menyesal juga nantinya. Dan melangkahlah mereka keluar. Pintu pun tertutup seketika. Keduanya terperangah. Yang dipegang intan permata. Perhiasan teramat berharganya. Kata yang tak mengambil, ia menyesal kenapa tak mengambilnya. Yang membawa pun menyesal dan berkata, "Andai aku mengambil lebih banyak daripadanya."
Gua itu ibarat kehidupan dunia. Sekelompok menyesal karena meninggalkannya dalam keadaan merugi. Kelompok yang lain menyesal pula karena tak cukup mengambil bekal yang berarti.
Apa yang kurang dari hidup di dalam gua itu? Apa yang bisa membuat sesal hilang dan berganti harap baru? Cahaya. Andai di gua itu ada cahaya, dan kita bisa melihat apa yang ada di dalamnya. Mengambil atau tidak, itu pilihan setelahnya. Tapi cahaya itu menuntun kita melaluinya.
Dalam kehidupan, cahaya itu cinta Tuhan. Karena cintaNya kita diciptakan. Karena cintaNya pula kitab suci diturunkan. Karena cintaNya para nabi dihadirkan sebagai penuntun jalan. Cahaya itu adalah kecintaan pada para kekasih Tuhan.
Mengapa itu semua jadi pelita? Karena sesal kita akan tergantikan teladan mereka. Derita kita tak berarti dibandingkan kisah juang mereka. Masalah kita tak bermakna bersanding kendala dan ujian mereka. Tanpa pelita, kita kesulitan melangkah. Tanpa cinta, gelap hidup mengarah. Tanpa para kekasih, hidup diliputi ragam gelisah.
Meski demikian, tetap saja sesal bertambah.
Karena, ada yang mengambil emas berlian dengan cahaya itu, dan mereka lupa akan nikmat sesungguhnya, yaitu cahaya itu sendiri. Di luar gua telah menanti cahaya begitu terangnya.
Semua peribadatan adalah batu berharga di gua yang gulita. Shalat, sedekah, dan setiap zikir kita. Mereka intan permata, yang kemudian terlihat bersinar begitu melangkah ke luar gua. Bila beruntung, kita hidup makmur setelahnya. Tapi masih saja ada sesal setelahnya.
Sesal itu setelah melihat cahaya. Indah berpendar teramat terangnya. Dalam hidup ini ada hakikat yang baru terlihat manakala mata batin bersinarkan cahayaNya.
Berkali-kali kitab suci mengingatkan bahwa segala yang ada di langit dan bumi adalah bertasbih memujaNya, beribadah kepadaNya dan kita tidak menyadari kehadirannya.
Seperti sebuah kisah yang masyhur, di antara para santri dan tersebar melalui lisan, tentang seorang perempuan, Banu Mujtahidah Abid, seorang shalihah dari Isfahan.
Ia biasa mengajar murid-muridnya di kelas, bertahun-tahun lamanya. Tak pernah sekalipun ia terlambat. Hingga satu saat, ia tak terlihat. Murid-muridnya bersabar menunggu, tapi tak kunjung juga ia tiba. Akhirnya mereka sepakat, mendatangi sang guru ke rumahnya.
Tak lama, baru saja hendak sampai ke depan pintu rumahnya, mereka terkesima. Sang guru tengah tersungkur bergetar, bersujud berguncang di atas tanah yang basah dengan airmatanya. Murid-murid itu setia menunggu, hingga ia bangkit dari sujudnya.
"Guru," tanya mereka, setelah ia mengetahui kehadiran mereka, "apa gerangan yang terjadi? Apa sebab sujudmu ini?" Ia menjawab, "Begitu aku hendak melangkah, untuk menemui kalian di madrasah. Aku melihat di sekitarku pepohonan bertasbih. Aku mendengar gemuruh makhluk bersenandung memuja Tuhan. Begitu indah, tak berhenti. Dan aku tersungkur, malu. Karena tak abadi dalam memuji, tak kekal dalam bersyukur, tak takluk dalam ibadah. Aku bersujud menggabungkan diriku dalam kepasrahan dan pujian pada Tuhanku."
Di atas pencapaian ada pencapaian lagi. Di atas langit masih ada langit lagi. Di atas cahaya, masih ada terang lagi.
Alkisah seorang saleh, mendiang putra mendiang seorang imam besar, rahmat Allah bagi para ulama nan tulus mengabdi. Satu saat, di pertengahan malam, ia terbangun dari tidurnya. Nafas tersengal, dan keringat mengalir membasahi janggutnya. Ia bergetar. Ia menahan tangisannya. Istrinya ikut terbangun dan menenangkannya. Lalu bertanya apa yang merisaukannya. Ia menjawab, "Baru saja aku bermimpi, melihat almarhum ayah. Dan sungguh, betapa bercahayanya ia. Ia tersenyum kepadaku. Tapi ia terlihat lelah. Seolah nafas yang terengah. Seakan berat ia melangkah. Aku bertanya, 'mengapa Abah? Mengapa lelah itu' Ia menjawab, 'Baru saja aku menyeberangi 'shirath' dan alangkah beratnya pertanggungjawaban itu.' Aku terbangun dari tidurku. Bila ayah saja, yang mewakafkan hidupnya untuk ilmu, yang berjuang seumur hidupnya untuk menegakkan agama yang benar itu, yang sudah mendirikan negeri di atas kecintaan itu…masih terengah-engah di hadapan pertanggungjawaban itu…apalagi aku. Bagaimana nanti nasibku?"
Perjalanan menuju surga senantiasa melalui jembatan itu.
Di atas langit masih ada langit. Di atas sesal masih ada sesal itu. Di atas kekhusyuan masih ada khusyu itu. Peribadatan setiap kita tak pernah sama, kecuali saat bulan suci menyapa kita. Kala perut menahan lapar yang sama. Jamuan yang dihidangkan Tuhan terbuka bagi semua. Siapa saja bisa meraihnya. Para kekasih hati dihadirkan untuk membimbing menikmati hidangan itu. Sesal kemudian bagi yang tak tahu, bahwa nikmat sesungguhnya adalah kehadiran penunjuk jalan itu.
Karena sebenarnya bekal sejati, bukanlah intan permata, tapi membimbing kawan untuk meraihnya. Modal berharga bukan amal pribadi, tapi titipan dari sahabat yang berkenan memikulnya. Syukur bukan sekadar mengabarkan nikmat. Syukur adalah membantu orang untuk juga ikut memperolehnya, untuk juga sampai dan merasakan kenikmatan yang sama.
Seperti kata Eric Cantona, pemain legendaris itu, yang tak pernah mencicipi hiruk pikuk Piala Dunia, sedang kawan-kawannya sesama klub hadir mewakili negara, "Hadiah terbesar dalam satu pertandingan bukanlah sebuah goal, tapi sebuah assist, sebuah umpan untuk membantu lahirnya gol itu."
Karena nikmat sejati bukanlah permata di dalam gua yang gelap itu, tapi membawakan cahaya agar orang dapat melihatnya.
Anugerah terindah adalah bergabung bersama para teladan itu, mengantarkan dan mengedarkan cahaya.
Agar sesal tak tertinggal, jadilah penjaja cahaya itu.
*) Catatan dari Majelis Dr. Muhaddits