Salamun 'alaykum.
Adik Nayla, gimana kabarmu? Puasamu baik-baik saja kan? Jangan lupa mendoakan Kakak di malam Laylatul Qadr ya, biar Kakak dan keluarga diberikan kekuatan oleh Allah untuk menjadi lebih baik. Nayla, Kakak menulis surat ini karena semalam tiba-tiba Kakak merasa harus menuliskannya. Atau mungkin tepatnya Kakak merasa ingin menuliskannya. Biar jadi sejarah kan?
Adik Nayla, gimana kabarmu? Puasamu baik-baik saja kan? Jangan lupa mendoakan Kakak di malam Laylatul Qadr ya, biar Kakak dan keluarga diberikan kekuatan oleh Allah untuk menjadi lebih baik. Nayla, Kakak menulis surat ini karena semalam tiba-tiba Kakak merasa harus menuliskannya. Atau mungkin tepatnya Kakak merasa ingin menuliskannya. Biar jadi sejarah kan?
Pembicaraan kita kemarin perihal sekolahmu mungkin pembicaraan paling serius yang pernah Kakak ingat. Mungkin karena Kakak berfikir bahwa sekarang kamu berada di posisi injury time untuk bisa menyelesaikannya. Jangan sergah dulu apa yang disebut menyelesaikan itu! Kamu akan mengerti setelah membaca habis isi surat ini.
Kita sependapat bahwa pendidikan bukanlah hanya di kelas, bahwa ijazah bukan ukuran berpendidikan atau tidaknya seseorang. Bukankah banyak orang berpendidikan yang ternyata menipu, atau banyak orang yang memalsukan ijazahnya agar bisa menjadi anggota dewan? Sekali lagi, kita tidak menyelesaikan perbedaan pandangan masing-masing dalam hal itu, karena toh kita mempunyai pandangan yang nyaris sama.
Apa yang Kakak sampaikan kemarin itu hanyalah karena Kakak ingin berperan sebagai orang tua kita di kampung. Kakak merasa, Kakak mengerti perasaan kamu dalam hal ini, dan pada saat yang sama Kakak juga mengerti perasaan Ibu dan Ayah. Namun, itulah yang menjadi kecelakaan buat Kakak, karena kalian justru "berseberangan," setidaknya itu yang kelihatan.
Kamu pasti tahu sekali bahwa tidak ada yang paling diharapkan Ibu dan Ayah dari kamu selain menyelesaikan sekolahmu. Bagi mereka, kata selesai itu adalah kamu pulang membawa ijazah, bukan pulang membawa ilmu yang abstrak itu. Ibu tidak bisa melihat ilmumu, tetapi dengan gampang beliau bisa melihat ijazahmu. Kakak sudah pernah mencoba menjelaskan kepada Ibu dan Ayah perihal pendapatmu, yang juga pendapatku, tentang ilmu dan ijazah yang sering kita diskusikan itu, tetapi mereka hanya bisa mengerti jika kamu pulang dengan ijazah. Titik.
Kakak akhirnya berfikir, kalau mau membuat mereka senang, kamu tidak punya pilihan lain kecuali menyelesaikan sekolahmu secara formal. Tentu saja kamu punya pilihan lain untuk mengatakan "tidak perlu!", tetapi itu pasti akan mengecewakan mereka. Kakak pernah mendengar Ayah menyatakan kepasrahannya, bahwa kalaupun kamu pulang tanpa ijazah, beliau siap walaupun berat, bukankah Kayla juga pulang ke rumah tanpa menyelesaikan sekolahnya dan tanpa membawa ijazah?
Kakak mengingat kata-kata Ayah itu semalam. Ayah siap rupanya, walaupun berat; tetapi Ibu tidak. Kakak lalu membuat perumpamaan. Anggaplah ijazah itu seperti sesuatu, baju baru misalnya. Karena kamu lebih sederhana dalam berpakaian, kamu tidak ingin membeli baju baru untuk lebaran nanti, tapi kamu mengumpulkan uang untuk membelikan baju buat Ibu dan Ayah. Untuk apa kamu membelikan mereka baju? Tentu saja agar mereka senang karena mereka merindukan punya baju seperti itu sudah lama.
Jadi, ijazah itu bukan untuk kamu. Ijazah itu buat Ibu dan Ayah. Kamu, dan saya setuju itu, tidak butuh ijazah itu, tetapi Ibu dan Ayah membutuhkannya. Tidak inginkah kamu membahagiakan mereka sekali ini? Mereka cukup kecewa dulu ketika Kayla pulang dan memutuskan untuk tidak "menyelesaikan" sekolahnya. Apakah kamu ingin membuat mereka kecewa dua kali?
Kamu bilang kamu tidak bisa menyelesaikan sekolahmu hanya untuk pura-pura, atau hanya untuk bersandiwara seperti yang Kakak istilahkan dalam sms kepada kamu beberapa hari lalu. Istilah itu mungkin memang kurang tepat. Tapi Kakak pikir, tidak bisakah kita melakukan sesuatu yang sebenarnya kita tidak terlalu suka tetapi kita melakukannya demi membahagiakan orang yang sudah berkorban banyak buat kita? Apalagi itu orang tua kita sendiri?
Kakak yakin kamu bukan tidak bisa menyelesaikan sekolahmu. Kamu hanya tidak mau karena kamu tidak punya motivasi untuk itu, setidaknya kamu punya motivasi dengan arah yang lain, atau beda defenisi. Kamu bilang bahwa kamu tidak ingin melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan idemu. Mengapa kamu belajar jadi egois? Hanya satu driver yang selalu Kakak sebutkan, lakukanlah semuanya demi membahagiakan orang tua kita. Hanya itu. Belikanlah baju Ibu dan Ayah walaupun kamu sendiri tidak ingin memakai baju itu.
Atau mungkin Kakak bisa memberikan saran. Pulanglah ke rumah. Bicaralah baik-baik sama Ibu dan Ayah. Sampaikanlah apa yang kamu pikirkan. Mudah-mudahan mereka mau menerima. Terus terang, Kakak sudah pernah melakukan itu, tetapi Ibu tidak bisa mengerti, setidaknya waktu itu. Mungkin saat itu waktunya memang terlalu singkat.
Tapi ada satu hal yang Kakak fikir. Mungkin kamu sudah punya cita-cita sendiri bagaimana membahagiakan Ibu dan Ayah dengan caramu sendiri. Tapi yakinkah bahwa kamu pasti bisa mewujudkannya nanti? Kakak sendiri tidak pernah bisa memastikan masa depan. Yang Kakak bayangkan adalah, jika sekiranya caramu itu tidak berhasil, maka kamu gagal dua kali. Tetapi jika kamu membahagiakan Ibu dan Ayah sekarang dengan cara yang diinginkannya dan kamu berhasil, setidaknya kamu sudah berhasil sekali.
Mungkin itu saja dulu. Kakak mau melanjutkan pekerjaan lagi. Salam sama Enny kalau dia datang lagi.
Balikpapan, 1 Oktober 2007
Kita sependapat bahwa pendidikan bukanlah hanya di kelas, bahwa ijazah bukan ukuran berpendidikan atau tidaknya seseorang. Bukankah banyak orang berpendidikan yang ternyata menipu, atau banyak orang yang memalsukan ijazahnya agar bisa menjadi anggota dewan? Sekali lagi, kita tidak menyelesaikan perbedaan pandangan masing-masing dalam hal itu, karena toh kita mempunyai pandangan yang nyaris sama.
Apa yang Kakak sampaikan kemarin itu hanyalah karena Kakak ingin berperan sebagai orang tua kita di kampung. Kakak merasa, Kakak mengerti perasaan kamu dalam hal ini, dan pada saat yang sama Kakak juga mengerti perasaan Ibu dan Ayah. Namun, itulah yang menjadi kecelakaan buat Kakak, karena kalian justru "berseberangan," setidaknya itu yang kelihatan.
Kamu pasti tahu sekali bahwa tidak ada yang paling diharapkan Ibu dan Ayah dari kamu selain menyelesaikan sekolahmu. Bagi mereka, kata selesai itu adalah kamu pulang membawa ijazah, bukan pulang membawa ilmu yang abstrak itu. Ibu tidak bisa melihat ilmumu, tetapi dengan gampang beliau bisa melihat ijazahmu. Kakak sudah pernah mencoba menjelaskan kepada Ibu dan Ayah perihal pendapatmu, yang juga pendapatku, tentang ilmu dan ijazah yang sering kita diskusikan itu, tetapi mereka hanya bisa mengerti jika kamu pulang dengan ijazah. Titik.
Kakak akhirnya berfikir, kalau mau membuat mereka senang, kamu tidak punya pilihan lain kecuali menyelesaikan sekolahmu secara formal. Tentu saja kamu punya pilihan lain untuk mengatakan "tidak perlu!", tetapi itu pasti akan mengecewakan mereka. Kakak pernah mendengar Ayah menyatakan kepasrahannya, bahwa kalaupun kamu pulang tanpa ijazah, beliau siap walaupun berat, bukankah Kayla juga pulang ke rumah tanpa menyelesaikan sekolahnya dan tanpa membawa ijazah?
Kakak mengingat kata-kata Ayah itu semalam. Ayah siap rupanya, walaupun berat; tetapi Ibu tidak. Kakak lalu membuat perumpamaan. Anggaplah ijazah itu seperti sesuatu, baju baru misalnya. Karena kamu lebih sederhana dalam berpakaian, kamu tidak ingin membeli baju baru untuk lebaran nanti, tapi kamu mengumpulkan uang untuk membelikan baju buat Ibu dan Ayah. Untuk apa kamu membelikan mereka baju? Tentu saja agar mereka senang karena mereka merindukan punya baju seperti itu sudah lama.
Jadi, ijazah itu bukan untuk kamu. Ijazah itu buat Ibu dan Ayah. Kamu, dan saya setuju itu, tidak butuh ijazah itu, tetapi Ibu dan Ayah membutuhkannya. Tidak inginkah kamu membahagiakan mereka sekali ini? Mereka cukup kecewa dulu ketika Kayla pulang dan memutuskan untuk tidak "menyelesaikan" sekolahnya. Apakah kamu ingin membuat mereka kecewa dua kali?
Kamu bilang kamu tidak bisa menyelesaikan sekolahmu hanya untuk pura-pura, atau hanya untuk bersandiwara seperti yang Kakak istilahkan dalam sms kepada kamu beberapa hari lalu. Istilah itu mungkin memang kurang tepat. Tapi Kakak pikir, tidak bisakah kita melakukan sesuatu yang sebenarnya kita tidak terlalu suka tetapi kita melakukannya demi membahagiakan orang yang sudah berkorban banyak buat kita? Apalagi itu orang tua kita sendiri?
Kakak yakin kamu bukan tidak bisa menyelesaikan sekolahmu. Kamu hanya tidak mau karena kamu tidak punya motivasi untuk itu, setidaknya kamu punya motivasi dengan arah yang lain, atau beda defenisi. Kamu bilang bahwa kamu tidak ingin melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan idemu. Mengapa kamu belajar jadi egois? Hanya satu driver yang selalu Kakak sebutkan, lakukanlah semuanya demi membahagiakan orang tua kita. Hanya itu. Belikanlah baju Ibu dan Ayah walaupun kamu sendiri tidak ingin memakai baju itu.
Atau mungkin Kakak bisa memberikan saran. Pulanglah ke rumah. Bicaralah baik-baik sama Ibu dan Ayah. Sampaikanlah apa yang kamu pikirkan. Mudah-mudahan mereka mau menerima. Terus terang, Kakak sudah pernah melakukan itu, tetapi Ibu tidak bisa mengerti, setidaknya waktu itu. Mungkin saat itu waktunya memang terlalu singkat.
Tapi ada satu hal yang Kakak fikir. Mungkin kamu sudah punya cita-cita sendiri bagaimana membahagiakan Ibu dan Ayah dengan caramu sendiri. Tapi yakinkah bahwa kamu pasti bisa mewujudkannya nanti? Kakak sendiri tidak pernah bisa memastikan masa depan. Yang Kakak bayangkan adalah, jika sekiranya caramu itu tidak berhasil, maka kamu gagal dua kali. Tetapi jika kamu membahagiakan Ibu dan Ayah sekarang dengan cara yang diinginkannya dan kamu berhasil, setidaknya kamu sudah berhasil sekali.
Mungkin itu saja dulu. Kakak mau melanjutkan pekerjaan lagi. Salam sama Enny kalau dia datang lagi.
Balikpapan, 1 Oktober 2007