Salah seorang ulama Indonesia yang paling banyak difitnah maupun dihujat, di belakang maupun di depan, adalah AGH Prof. Dr. Quraish Shihab. Dari sekian banyak hujatan itu, salah satu hal yang paling umum dijadikan alasan adalah pandangannya tentang jilbab. AGH Quraish Shihab dituduh tidak mewajibkan jilbab. Karenanya, jika tidak dituduh sebagai Syiah, minimal beliau akan dianggap anggota JIL yang tidak perduli syariat dan aturan agama.
Mungkin karena itu akhirnya beliau menulis khusus buku tentang jilbab. Saya sendiri membaca buku tersebut sudah cetakan keempat yang diterbitkan tahun 2009. Dalam berbagai diskusi di media sosial, saya selalu menyarankan agar mereka yang menuduh AGH Quraish Shihab tidak mewajibkan jilbab, hendaklah membaca buku kecil berukuran 20x10 cm dan hanya setebal 275 halaman ini. Tulisan ini akan memberikan rangkuman atas buku kecil tersebut untuk bisa menyajikan informasi yang benar atas apa yang disampaikan oleh AGH Quraish Shihab dalam persoalan jilbab ini.
Salah satu ciri AGH Quraish Shihab dalam menjelaskan persoalan agama adalah menyajikan aneka pendapat ulama-ulama terdahulu maupun kontemporer menyikapi persoalan yang sedang dibahas. Jika Anda membaca kitab al-Mishbah, salah satu tafsir Alquran yang ditulis oleh beliau, Anda akan sangat mudah menemukan karakteristik ini. Demikian pula ketika menjelaskan jilbab. Di pengantar buku ini AGH Quraish Shihab menulis,
“Dalam buku ini penulis berusaha membentangkan aneka pendapat, baik pandangan ulama-ulama terdahulu yang terkesan ketat, maupun cendekiawan kontemporer yang dinilai longgar. Penulis akan berusaha menghidangkan dalil, argumentasi atau dalih masing-masing masing-masing pendapat seobjektif mungkin serta sebagaimana adanya, sambal menunjuk kelemahan dan kekuatannya, tentu saja sesuai dengan nalar dan pertimbangan penulis. Bisa saja penulis dan pembaca berbeda pendapat dalam menanggapi dalil dan dalih itu, namun paling tidak, dengan membaca dan memikirkannya, masing-masing kita dapat memahami jalan pikiran semua pihak sehingga tidak timbul sikap saling kafir mengkafirkan atau saling menuduh antarkita sebagai orang-orang yang telah menyalahi prinsip ajaran agama. Kepada mereka yang telah mengenakan jilbab, penulis harapkan tidak menanggalkan jilbabnya setelah membaca pandangan yang lebih longgar – kendati menilai argumentasinya lebih kuat – karena betapapun, semua sepakat menghargai mereka yang berhati-hati dalam pelaksanaan ajaran agama, sedangkan mengenakan jilbab – paling tidak – merupakan sikap kehati-hatian.” (hal. xiv-xv)
Metode AGH Quraish Shihab di atas, sebagaimana yang diakui beliau, sering mendapatkan kecaman oleh “kawan” sendiri. Jika beliau menyajikan banyak pendapat ulama tanpa memberikan tarjih (menetapkan mana yang lebih kuat), hal itu justru bisa membingungkan masyarakat. Dalam hal ini AGH Quraish Shihab punya pandangan lain. Beliau mengatakan, menghidangkan satu pendapat saja disamping dapat mempersempit dan membatasi seseorang, juga pada kenyataannya hampir dalam setiap persoalan keagamaan, terdapat beda pendapat. Dengan menyajikan pendapat-pendapat yang ada, hal itu akan memberikan alternative-alternatif yang kesemuanya bisa ditampung oleh kebenaran dan memudahkan umat dalam melakukan aktifitas yang dibenarkan oleh agama.
Menurut AGH Quraish Shihab, buku tentang jilbab ini sempat disarankan oleh beberapa kawannya agar tidak diterbitkan. Alasan temannya adalah kekhawatiran munculnya caci maki atas beliau sebagaimana yang telah dialami oleh ulama lainnya. Contohnya adalah Nashiruddin Albani. Ulama ini telah dikecam karena menulis buku tentang jilbab dan mengatakan bahwa pendapat yang mengatakan seluruh tubuh perempuan adalah aurat adalah lemah.
Aurat Perempuan Menurut Alquran
Menurut AGH Quraish Shihab, kelompok ulama klasik ketika menjelaskan perihal aurat perempuan, terbagi dalam dua kelompok utama:
Dalam perbincangan mengenai aurat perempuan, ulama mendiskusikan beberapa ayat Alquran sebagai berikut:
Pertama, QS al-Ahzab:53. Di ayat ini Allah berfirman “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.
Pada ayat ini, Depag menerjemahkan kata hijab menjadi tabir. Kelompok ulama yang pertama memahami bahwa hijab yang dimaksud dalam ayat ini adalah tabir. Namun demikian, mereka mengatakan bahwa tabir yang dimaksud adalah untuk menutupi tubuh perempuan. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah ketentuan ini hanya berlaku istri-istri Nabi Saw? Sekali lagi, kelompok ulama yang pertama mempercayai bahwa ayat ini berlaku umum untuk seluruh muslimah.
Ayat yang kedua adalah QS al-Ahzab:59, “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Kelompok ulama yang pertama juga menjadikan ayat ini sebagai dalil. Dalam hal ini, kata jalaabihinna yang merupakan kata jamak dari jilbab, merupakan penutup tubuh yang menyerupai selimut. Demikian pula kata ‘alaihinna bermakna “ke seluruh tubuh mereka”.
Ayat ketiga, QS An-Nur:30-31, “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
Kelompok ulama yang kedua menggunakan ayat ini sebagai dalil untuk menolak pendapat ulama yang pertama. Alasannya, jika seluruh tubuh perempuan sudah tertutup, maka tidak diperlukan lagi perintah untuk menundukkan pandangan. Namun, ulama kelompok pertama berdalih bahwa pada saat turunnya ayat di atas, di Madinah saat itu masih banyak perempuan non muslim sehingga laki-laki tetap diperintahkan untuk menundukkan pandangan. Masih banyak isu lain dalam menafsirkan ayat ini, selengkapnya dijelaskan oleh AQH Quraish Shihab di buku ini.
Ayat keempat, QS al-Ahzab:32-33, “Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik, dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.
Kelompok ulama yang pertama menjadikan ayat ini sebagai penguat pendapat mereka, sebagaimana ayat 59 di surah yang sama. Walaupun ayat ini sekali lagi menunjuk istri-istri Nabi Saw, namun mereka menilai bahwa perintah itu berlaku untuk seluruh muslimah. Bahkan, untuk menegaskannya, mereka memperketat perintah agar perempuan tinggal di rumah.
Ayat kelima, QS An-Nur:60, “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Bijaksana.” Jika dipahami, ayat ini hanya merupakan pengecualian ayat 31 di surah yang sama.
Dengan melihat ayat-ayat Alquran yang menjadi rujukan utama dalam diskusi batasan aurat perempuan, AGH Quraish Shihab menyimpulkan bahwa tidak ada satu ayatpun di dalam Alquran yang secara tegas menetapkan batas-batas aurat perempuan (hal. 119). Artinya, pendapat ulama mengenai hal ini, ketika mengutip ayat Alquran sebagai dalil, tidak lebih dari penafsiran atas ayat-ayat tersebut. Namun demikian, menurut AGH Quraish Shihab, para ulama sejak dahulu sampai sekarang sepakat bahwa muslimah dilarang ber-tabarruj, yakni keluar rumah dengan pakaian terbuka.
Aurat Perempuan Menurut Sunnah
Hadis merupakan sumber teks kedua yang digunakan sebagai referensi dalam penarikan kesimpulan hukum di dalam Islam. Namun demikian, sebagaimana di dalam penafsiran Alquran dimana para mufassir berbeda pendapat, di dalam hadis perbedaan itu lebih lebar. Jika Alquran disepakati bulat mengenai ke-mutawatir-annya, hadis tidak demikian. Bahkan, bagi Anda yang menggeluti ilmu jarh wa ta’dil, kesimpulan bahwa hampir tidak ada hadis yang benar-benar mutawatir, bukan hal yang mengagetkan. Tapi hal itu bukan berarti bahwa hadis harus dikeluarkan dari salah satu sumber hukum. Perdebatan masalah ini bisa ditemukan di pembahasan yang terpisah.
Karena tidak adanya ketegasan batasan aurat perempuan menurut Alquran, maka ulama beralih ke hadis-hadis Nabi Saw untuk mencari penjelasan detail, ataupun mempelajari tradisi muslimah di zaman Nabi Saw. Namun sebelum menjelaskan masalah ini, AGH Quraish Shihab terlebih memberikan penegasan bahwa,
“Adapun hadis-hadis Nabi, maka redaksinya, tidaklah dapat dipastikan sesuai sepenuhnya dengan apa yang diucapkan oleh Nabi Muhammad Saw. Kemungkinan terjadinya perbedaan redaksi antara apa yang didengar dengan apa yang disampaikan para sahabat Nabi Muhammad Saw, atau generasi sesudah mereka, adalah suatu hakikat yang diakui oleh pakar-pakar hadis, khususnya pada ucapan-ucapan beliau Saw yang bukan bersifat doa, atau bacaan dalam salat, atau yang bukan jawami’ al-kalim, yakni kalimat singkat-singkat yang sarat makna. Namun demikian, apa yang mereka sampaikan dengan redaksi yang berbeda itu, tidaklah terlalu jauh dari redaksi yang diucapkan oleh Nabi Muhammad Saw.” (hal. 123)
Selanjutnya, AGH Quraish Shihab mengutip dan menjelaskan hadis-hadis yang digunakan sebagai dalil dalam menjelaskan batasan aurat perempuan. Menurutnya, kelompok ulama yang pertama menggunakan hadis-hadis berikut ini untuk mengukuhkan pendapat bahwa aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya.
Hadis pertama, “Dari Ibn Mas’ud, bahwa Nabi Saw bersabda ‘Wanita adalah aurat, maka apabila dia keluar (rumah), maka setan tampil membelalakkan matanya dan bermaksud buruk terhadapnya’” (HR At-Tirmidzi)
Hadis kedua, “Dari Ummul Mukminin Aisyah ra, beliau berkata, ‘para penunggang unta atau kuda melewati kami, sedang ketika itu kami bersama Rasulullah Saw dan kami dalam keadaan berihram, maka bila mereka lewat di hadapan kami, maka setiap kami mengulurkan kerudung dari kepalanya atas (untuk menutupi) wajah masing-masing, dan bila mereka telah melalui kami, kamipun membukanya (wajah kami) (Hadis Ahmad, Abu Daud, Ibn Majah, dan lainnya)
Hadis ketiga, “Dari Ibn Umar ra bahwa Nabi Saw bersabda, ‘tidak (dibenarkan) wanita yang sedang berihram memakai cadar (penutup wajah) dan tidak juga memakai kaus tangan” (HR Ahmad, Bukhari, Nasa’i)
Adapun kelompok yang kedua, yang menyatakan bahwa wajah dan tangan perempuan bukan aurat, menggunakan hadis-hadis berikut sebagai dalil.
Hadis pertama, “Dari Aisyah ra berkata bahwa “Asma putri Abu Bakar ra datang menemui Rasulullah Saw dengan mengenakan pakaian tipis (transparan), maka Rasulullah Saw berpaling enggan melihatnya dan bersabda, ‘Hai Asma, sesungguhnya perempuan jika telah haid, tidak lagi wajar terlihat darinya kecuali ini dan ini (sambal beliau Saw menunjuk ke wajah dan kedua telapak tangan beliau Saw)” (HR Abu Dawud al al-Baihaqi)
Hadis ini, walaupun dinilai mursal oleh Abu Dawud sendiri serta dikritik oleh beberapa ulama karena beberapa perawi, namun ada juga ulama yang membenarkannya dengan alasan adanya beberapa hadis shahih yang senada dengan hadis tersebut. Salah seorang ulama yang menguatkannya adalah Nashiruddin Albani. Salah satu riwayat senada adalah apa yang disebutkan olehAth-Thabari. Disebutkan bahwa Nabi Saw bersabda, “tidak halal bagi seorang perempuan yang percaya kepada Allah dan hari kemudian dan telah haid untuk menampakkan kecuali wajahnya dan tangannya sampai sini (lalu beliau memegang setengah tangan beliau).
Hadis kedua, “Rasulullah Saw membonceng al-Fadl putra Abbas pada hari an-Nahr (lebaran haji) di belakang kendaraan (unta) beliau. Al-Fadl adalah seorang pria yang berseri (gagah). Nabi Saw berdiri memberi fatwa kepada khalayak. Lalu datang seorang perempuan dari suku Khats’am yang cantik dan bertanya kepada Rasulullah Saw. Al-Fadl terus menerus memandangnya dan kecantikan perempuan itu menakjubkannya, maka Nabi Saw menoleh sedang al-Fadl melihat kepada perempuan itu. Lalu Nabi Saw memalingkan dengan tangan beliau dagu al-Fadl, maka beliau memalingkan wajah al-Fadl dari pandangan kepada perempuan itu. Lalu perempuan itu berkata, ‘sesungguhnya kewajiban yang ditetapkan Allah atas hamba-hambaNya adalah haji (tetapi) saya mendapatkan ayah saya dalam keadaan tua tidak mampu duduk di atas kendaraan maka apakah saya boleh menghajikan untuknya? Nabi menjawab, ‘ya’” (HR Bukhari, Muslim dan lain-lain)
Hadis ini tentu ditolak oleh kelompok pertama dengan alasan bahwa apa yang dilakukan Nabi Saw sudah menjadi indikasi bahwa al-Fadl tidak boleh memandang wajah perempuan itu. Namun kelompok kedua menjawab bahwa Nabi Saw memalingkan wajah al-Fadl itu bukan karena tidak boleh melihat perempuan tersebut, tetapi karena kekhawatiran atas gairah anak muda keduanya. Menurut mereka, keterangan bahwa perempuan itu cantik (wadhi’ah, artinya harfiahnya wajah berseri), cukup menjelaskan bahwa wajahnya bisa terlihat.
Hadis ketiga, “Jabir berkata, aku hadir bersama Rasul Saw melaksanakan salat Id. Beliau salat sebelum berkhutbah dan itu dilakukan tanpa azan dan iqamah, lalu beliau berdiri dengan bertumpu atas (bahu) Bilal. Beliau berpesan agar bertakwa kepada Allah dan mendorong untuk mematuhiNya. Beliau menasehati hadirin dan mengingatkan mereka. Kemudian beliau menuju ke (tempat) perempuan (berkumpul) lalu menasehati dan mengingatkan mereka. Beliau bersabda, ‘bersedekahlah karena kebanyakan kamu dalam (yakni perempuan) adalah kayu-kayu bakar neraka’. Maka tampil seorang perempuan yang duduk di tengah-tengah hadirin (dari perempuan-perempuan), pipinya hitam dan telah rusak, lalu bertanya, ‘Mengapa wahai Rasulullah Saw?’. Beliau Saw menjawab, ‘karena kalian banyak sekali mengeluh dan mengkufuri terhadap keluarga’. Mendengar itu kata perawi hadis ini, maka wanita-wanita bersedekah dari perhiasan mereka. Mereka melemparkan anting dan cincin-cincin mereka ke pakaian Bilal.” (HR Bukhari, Muslim, Nasa’i, dan lain-lain).
Hadis ini ditolak sebagai dalil tentang bolehnya perempuan menampakkan wajah oleh kelompok pertama. Alasannya adalah bisa jadi perempuan itu sudah tua, dan biasanya yang berani bertanya kepada Nabi Saw secara langsung adalah yang sudah tua.
Untuk penjelasan lebih lanjut, di dalam buku Jilbab ini, AGH Quraish Shihab menjelaskan perbincangan beberapa hadis lagi. Tak lupa dibahas pula perbincangan mengenai hadis-hadis tersebut dari kedua kelompok.
Jilbab dalam Pandangan Cendekiawan Kontemporer
Di buku ini AGH Quraish Shihab juga mengutipkan pendapat cendekiawan Islam kontemporer dan perbincangan mereka tentang jilbab dan batasan aurat perempuan. Dalam konteks ini, beliau menjelaskan bahwa ada dua kelompok cendekiawan secara garis besar. Pertama, mereka yang berpendapat tanpa dalil agama, ada kalaupun ada, tidak sesuai dengan disiplin dan kaidah ilmu agama yang umum. AGH Quraish Shihab buru-buru mengatakan bahwa metode kelompok ini tentu saja tidak bisa diterima. Kedua, mereka yang menggunakan disiplin dan kaidah ilmu agama secara umum, namun dalam penerapannya, pandangan dan interpretasi mereka berbeda dengan ulama terdahulu. Kelompok yang pertama adalah seperti Mahmud Syahrur yang menulis al-Kitab wa Al-Qur’an, Qira’ah Mu’ashirah dan Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami. Mahmud Syahrur berpendapat bahwa pakaian tertutup yang disebut hijab bukanlah kewajiban agama, tetapi tidak lebih merupakan tradisi dan kebiasaan masyarakat pada waktu dan tempat tertentu. Mahmud menjelaskan beberapa ayat Alquran yang disebutkan di atas untuk memperkuat pendapatnya, namun dalam pandangan ulama lainnya, termasuk AQH Quraish Shihab sendiri, hujjah Mahmud terlalu lemah untuk bisa dipertahankan.
Adapun kelompok cendekiawan yang kedua, mereka memiliki basis berikut dalam mengemukakan pendapatnya, termasuk dalam hal aurat dan jilbab:
Dengan beberapa basis pendapat di atas, beberapa ulama kontemporer memberikan pendapat mengenai persoalan jilbab dan batasan aurat perempuan. Al-Qurthubi misalnya di dalam kitabnya al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, ketika mengomentari pendapat Ibn ‘Athiyah tentang pengecualian yang bisa ditampakkan oleh perempuan, menjelaskan bahwa pendapat Ibn ‘Athiyah ini baik. Selanjutnya al-Qurthubi menambahkan bahwa karena wajah dan tangan sudah seringkali nampak, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam ibadah (salat dan haji), seharusnya ayat Alquran yang mengatakan ‘kecuali yang tampak darinya’ harus dipahami sebagai ‘kecuali wajah dan kedua telapak tangan yang biasa tampak itu’. Inilah pendapat yang lebih kuat atas dasar kehati-hatian dan mempertimbangkan kecenderungan manusia dalam pandangan al-Qurthubi.
Pendapat yang lebih longgar lagi bisa ditemukan dalam pandangan Imam Abu Hanifah. Diriwayatkan bahwa beliau berpendapat bahwa kedua kaki pun bukan aurat bagi perempuan. Tentu beliau memberikan alasan, di antaranya untuk memberikan kemudahan gerak bagi perempuan. Bahkan dalam pandangan beliau, kaki justru harus lebih dileluasakan dibandingkan tangan. Pendapat ini juga dianut oleh Muhammad Ali al-Hasan dan Abdurrahim Faris Abu ‘Auliyah, dua orang lulusan Fakultas Syariah di Riyadh dan Amman. Demikian juga bagi Abu Yusuf, salah seorang teman dan murid Imam Abu Hanifah. Bahkan menurut beliau, kedua tangan perempuan pun bukan aurat.
Semua pandangan ini muncul karena berkaitan dengan musyaqqah, bahwa Allah dan RasulNya tidak menghendaki adanya kesulitan bagi manusia. Di dalam buku Jilbab ini, AGH Quraish Shihab juga mengutip dan mengomentari pendapat-pendapat lain yang kadang lebih rawan seputar jilbab dan aurat perempuan. Bisa kita lihat bahwa diskusi yang dikutip memang lebih banyak diambil dari diskusi keagamaan di Mesir tempat AGH Quraish Shihab lama menuntut ilmu. Di bagian akhir bukunya, bahkan diuraikan panjang lebar polemik, penulis lebih senang menyebutnya diskusi, antara Muhammad Sa’id al-Asymawi yang pendapatnya agak longgar dengan Muhammad Sayyid Thantawi yang pernah menjadi mufti Mesir.
Penutup
Sebagaimana kebiasannya, AGH Quraish Shihab tidak memberikan “pendapat yang lebih tepat”, yang mana yang lebih hati-hati atau setidaknya pendapat yang mana yang beliau anut. Di awal tulisan di atas sudah disebutkan kecenderungan penulis tafsir al-Mishbah ini. Di bagian akhir buku ini justru beliau menyimpulkan, dan juga mungkin pesan penting beliau, bahwa “tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah batas aurat wanita merupakan salah satu masalah khilafiyyah, yang tidak harus menimbulkan tuduh-menuduh apalagi kafir-mengkafirkan.” (hal. 248).
Namun demikian, AGH Quraish Shihab memberikan ringkasan tentang kesepakatan umum ulama mengenai aurat dan pakaian perempuan berikut ini:
Sebagai penutup, AGH Quraish Shihab mengutip jawaban Imam Abu Hanifah ketika ditanya “apakah pendapat itu merupakan hak yang tidak diragukan lagi?”. Merespon pertanyaan ini Imam Abu Hanifah menjawab, “Demi Allah, saya tidak tahu, boleh jadi hal itu (pendapat yang dikemukakan) adalah batil yang tiada keraguan di dalamnya. Apa yang kami kemukakan itu adalah pendapat. Kami tidak memaksakannya kepada orang lain, kami juga tidak berkata bahwa seseorang harus menerimanya secara terpaksa. Siapa yang memiliki (pendapat yang) lebih baik daripada apa yang kami sampaikan, maka hendaklah dia menghidangkannya” (dalam riwayat lain, Imam Abu Hanifah berkata, “maka dia lebih wajar dinilai benar daripada kami”).
Salah satu ciri AGH Quraish Shihab dalam menjelaskan persoalan agama adalah menyajikan aneka pendapat ulama-ulama terdahulu maupun kontemporer menyikapi persoalan yang sedang dibahas. Jika Anda membaca kitab al-Mishbah, salah satu tafsir Alquran yang ditulis oleh beliau, Anda akan sangat mudah menemukan karakteristik ini. Demikian pula ketika menjelaskan jilbab. Di pengantar buku ini AGH Quraish Shihab menulis,
“Dalam buku ini penulis berusaha membentangkan aneka pendapat, baik pandangan ulama-ulama terdahulu yang terkesan ketat, maupun cendekiawan kontemporer yang dinilai longgar. Penulis akan berusaha menghidangkan dalil, argumentasi atau dalih masing-masing masing-masing pendapat seobjektif mungkin serta sebagaimana adanya, sambal menunjuk kelemahan dan kekuatannya, tentu saja sesuai dengan nalar dan pertimbangan penulis. Bisa saja penulis dan pembaca berbeda pendapat dalam menanggapi dalil dan dalih itu, namun paling tidak, dengan membaca dan memikirkannya, masing-masing kita dapat memahami jalan pikiran semua pihak sehingga tidak timbul sikap saling kafir mengkafirkan atau saling menuduh antarkita sebagai orang-orang yang telah menyalahi prinsip ajaran agama. Kepada mereka yang telah mengenakan jilbab, penulis harapkan tidak menanggalkan jilbabnya setelah membaca pandangan yang lebih longgar – kendati menilai argumentasinya lebih kuat – karena betapapun, semua sepakat menghargai mereka yang berhati-hati dalam pelaksanaan ajaran agama, sedangkan mengenakan jilbab – paling tidak – merupakan sikap kehati-hatian.” (hal. xiv-xv)
Metode AGH Quraish Shihab di atas, sebagaimana yang diakui beliau, sering mendapatkan kecaman oleh “kawan” sendiri. Jika beliau menyajikan banyak pendapat ulama tanpa memberikan tarjih (menetapkan mana yang lebih kuat), hal itu justru bisa membingungkan masyarakat. Dalam hal ini AGH Quraish Shihab punya pandangan lain. Beliau mengatakan, menghidangkan satu pendapat saja disamping dapat mempersempit dan membatasi seseorang, juga pada kenyataannya hampir dalam setiap persoalan keagamaan, terdapat beda pendapat. Dengan menyajikan pendapat-pendapat yang ada, hal itu akan memberikan alternative-alternatif yang kesemuanya bisa ditampung oleh kebenaran dan memudahkan umat dalam melakukan aktifitas yang dibenarkan oleh agama.
Menurut AGH Quraish Shihab, buku tentang jilbab ini sempat disarankan oleh beberapa kawannya agar tidak diterbitkan. Alasan temannya adalah kekhawatiran munculnya caci maki atas beliau sebagaimana yang telah dialami oleh ulama lainnya. Contohnya adalah Nashiruddin Albani. Ulama ini telah dikecam karena menulis buku tentang jilbab dan mengatakan bahwa pendapat yang mengatakan seluruh tubuh perempuan adalah aurat adalah lemah.
Aurat Perempuan Menurut Alquran
Menurut AGH Quraish Shihab, kelompok ulama klasik ketika menjelaskan perihal aurat perempuan, terbagi dalam dua kelompok utama:
- Mereka yang meyakini bahwa aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya
- Mereka yang mempercayai seperti kelompok pertama dengan mengecualikan wajah dan tangan
Dalam perbincangan mengenai aurat perempuan, ulama mendiskusikan beberapa ayat Alquran sebagai berikut:
Pertama, QS al-Ahzab:53. Di ayat ini Allah berfirman “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.
Pada ayat ini, Depag menerjemahkan kata hijab menjadi tabir. Kelompok ulama yang pertama memahami bahwa hijab yang dimaksud dalam ayat ini adalah tabir. Namun demikian, mereka mengatakan bahwa tabir yang dimaksud adalah untuk menutupi tubuh perempuan. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah ketentuan ini hanya berlaku istri-istri Nabi Saw? Sekali lagi, kelompok ulama yang pertama mempercayai bahwa ayat ini berlaku umum untuk seluruh muslimah.
Ayat yang kedua adalah QS al-Ahzab:59, “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Kelompok ulama yang pertama juga menjadikan ayat ini sebagai dalil. Dalam hal ini, kata jalaabihinna yang merupakan kata jamak dari jilbab, merupakan penutup tubuh yang menyerupai selimut. Demikian pula kata ‘alaihinna bermakna “ke seluruh tubuh mereka”.
Ayat ketiga, QS An-Nur:30-31, “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
Kelompok ulama yang kedua menggunakan ayat ini sebagai dalil untuk menolak pendapat ulama yang pertama. Alasannya, jika seluruh tubuh perempuan sudah tertutup, maka tidak diperlukan lagi perintah untuk menundukkan pandangan. Namun, ulama kelompok pertama berdalih bahwa pada saat turunnya ayat di atas, di Madinah saat itu masih banyak perempuan non muslim sehingga laki-laki tetap diperintahkan untuk menundukkan pandangan. Masih banyak isu lain dalam menafsirkan ayat ini, selengkapnya dijelaskan oleh AQH Quraish Shihab di buku ini.
Ayat keempat, QS al-Ahzab:32-33, “Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik, dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.
Kelompok ulama yang pertama menjadikan ayat ini sebagai penguat pendapat mereka, sebagaimana ayat 59 di surah yang sama. Walaupun ayat ini sekali lagi menunjuk istri-istri Nabi Saw, namun mereka menilai bahwa perintah itu berlaku untuk seluruh muslimah. Bahkan, untuk menegaskannya, mereka memperketat perintah agar perempuan tinggal di rumah.
Ayat kelima, QS An-Nur:60, “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Bijaksana.” Jika dipahami, ayat ini hanya merupakan pengecualian ayat 31 di surah yang sama.
Dengan melihat ayat-ayat Alquran yang menjadi rujukan utama dalam diskusi batasan aurat perempuan, AGH Quraish Shihab menyimpulkan bahwa tidak ada satu ayatpun di dalam Alquran yang secara tegas menetapkan batas-batas aurat perempuan (hal. 119). Artinya, pendapat ulama mengenai hal ini, ketika mengutip ayat Alquran sebagai dalil, tidak lebih dari penafsiran atas ayat-ayat tersebut. Namun demikian, menurut AGH Quraish Shihab, para ulama sejak dahulu sampai sekarang sepakat bahwa muslimah dilarang ber-tabarruj, yakni keluar rumah dengan pakaian terbuka.
Aurat Perempuan Menurut Sunnah
Hadis merupakan sumber teks kedua yang digunakan sebagai referensi dalam penarikan kesimpulan hukum di dalam Islam. Namun demikian, sebagaimana di dalam penafsiran Alquran dimana para mufassir berbeda pendapat, di dalam hadis perbedaan itu lebih lebar. Jika Alquran disepakati bulat mengenai ke-mutawatir-annya, hadis tidak demikian. Bahkan, bagi Anda yang menggeluti ilmu jarh wa ta’dil, kesimpulan bahwa hampir tidak ada hadis yang benar-benar mutawatir, bukan hal yang mengagetkan. Tapi hal itu bukan berarti bahwa hadis harus dikeluarkan dari salah satu sumber hukum. Perdebatan masalah ini bisa ditemukan di pembahasan yang terpisah.
Karena tidak adanya ketegasan batasan aurat perempuan menurut Alquran, maka ulama beralih ke hadis-hadis Nabi Saw untuk mencari penjelasan detail, ataupun mempelajari tradisi muslimah di zaman Nabi Saw. Namun sebelum menjelaskan masalah ini, AGH Quraish Shihab terlebih memberikan penegasan bahwa,
“Adapun hadis-hadis Nabi, maka redaksinya, tidaklah dapat dipastikan sesuai sepenuhnya dengan apa yang diucapkan oleh Nabi Muhammad Saw. Kemungkinan terjadinya perbedaan redaksi antara apa yang didengar dengan apa yang disampaikan para sahabat Nabi Muhammad Saw, atau generasi sesudah mereka, adalah suatu hakikat yang diakui oleh pakar-pakar hadis, khususnya pada ucapan-ucapan beliau Saw yang bukan bersifat doa, atau bacaan dalam salat, atau yang bukan jawami’ al-kalim, yakni kalimat singkat-singkat yang sarat makna. Namun demikian, apa yang mereka sampaikan dengan redaksi yang berbeda itu, tidaklah terlalu jauh dari redaksi yang diucapkan oleh Nabi Muhammad Saw.” (hal. 123)
Selanjutnya, AGH Quraish Shihab mengutip dan menjelaskan hadis-hadis yang digunakan sebagai dalil dalam menjelaskan batasan aurat perempuan. Menurutnya, kelompok ulama yang pertama menggunakan hadis-hadis berikut ini untuk mengukuhkan pendapat bahwa aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya.
Hadis pertama, “Dari Ibn Mas’ud, bahwa Nabi Saw bersabda ‘Wanita adalah aurat, maka apabila dia keluar (rumah), maka setan tampil membelalakkan matanya dan bermaksud buruk terhadapnya’” (HR At-Tirmidzi)
Hadis kedua, “Dari Ummul Mukminin Aisyah ra, beliau berkata, ‘para penunggang unta atau kuda melewati kami, sedang ketika itu kami bersama Rasulullah Saw dan kami dalam keadaan berihram, maka bila mereka lewat di hadapan kami, maka setiap kami mengulurkan kerudung dari kepalanya atas (untuk menutupi) wajah masing-masing, dan bila mereka telah melalui kami, kamipun membukanya (wajah kami) (Hadis Ahmad, Abu Daud, Ibn Majah, dan lainnya)
Hadis ketiga, “Dari Ibn Umar ra bahwa Nabi Saw bersabda, ‘tidak (dibenarkan) wanita yang sedang berihram memakai cadar (penutup wajah) dan tidak juga memakai kaus tangan” (HR Ahmad, Bukhari, Nasa’i)
Adapun kelompok yang kedua, yang menyatakan bahwa wajah dan tangan perempuan bukan aurat, menggunakan hadis-hadis berikut sebagai dalil.
Hadis pertama, “Dari Aisyah ra berkata bahwa “Asma putri Abu Bakar ra datang menemui Rasulullah Saw dengan mengenakan pakaian tipis (transparan), maka Rasulullah Saw berpaling enggan melihatnya dan bersabda, ‘Hai Asma, sesungguhnya perempuan jika telah haid, tidak lagi wajar terlihat darinya kecuali ini dan ini (sambal beliau Saw menunjuk ke wajah dan kedua telapak tangan beliau Saw)” (HR Abu Dawud al al-Baihaqi)
Hadis ini, walaupun dinilai mursal oleh Abu Dawud sendiri serta dikritik oleh beberapa ulama karena beberapa perawi, namun ada juga ulama yang membenarkannya dengan alasan adanya beberapa hadis shahih yang senada dengan hadis tersebut. Salah seorang ulama yang menguatkannya adalah Nashiruddin Albani. Salah satu riwayat senada adalah apa yang disebutkan olehAth-Thabari. Disebutkan bahwa Nabi Saw bersabda, “tidak halal bagi seorang perempuan yang percaya kepada Allah dan hari kemudian dan telah haid untuk menampakkan kecuali wajahnya dan tangannya sampai sini (lalu beliau memegang setengah tangan beliau).
Hadis kedua, “Rasulullah Saw membonceng al-Fadl putra Abbas pada hari an-Nahr (lebaran haji) di belakang kendaraan (unta) beliau. Al-Fadl adalah seorang pria yang berseri (gagah). Nabi Saw berdiri memberi fatwa kepada khalayak. Lalu datang seorang perempuan dari suku Khats’am yang cantik dan bertanya kepada Rasulullah Saw. Al-Fadl terus menerus memandangnya dan kecantikan perempuan itu menakjubkannya, maka Nabi Saw menoleh sedang al-Fadl melihat kepada perempuan itu. Lalu Nabi Saw memalingkan dengan tangan beliau dagu al-Fadl, maka beliau memalingkan wajah al-Fadl dari pandangan kepada perempuan itu. Lalu perempuan itu berkata, ‘sesungguhnya kewajiban yang ditetapkan Allah atas hamba-hambaNya adalah haji (tetapi) saya mendapatkan ayah saya dalam keadaan tua tidak mampu duduk di atas kendaraan maka apakah saya boleh menghajikan untuknya? Nabi menjawab, ‘ya’” (HR Bukhari, Muslim dan lain-lain)
Hadis ini tentu ditolak oleh kelompok pertama dengan alasan bahwa apa yang dilakukan Nabi Saw sudah menjadi indikasi bahwa al-Fadl tidak boleh memandang wajah perempuan itu. Namun kelompok kedua menjawab bahwa Nabi Saw memalingkan wajah al-Fadl itu bukan karena tidak boleh melihat perempuan tersebut, tetapi karena kekhawatiran atas gairah anak muda keduanya. Menurut mereka, keterangan bahwa perempuan itu cantik (wadhi’ah, artinya harfiahnya wajah berseri), cukup menjelaskan bahwa wajahnya bisa terlihat.
Hadis ketiga, “Jabir berkata, aku hadir bersama Rasul Saw melaksanakan salat Id. Beliau salat sebelum berkhutbah dan itu dilakukan tanpa azan dan iqamah, lalu beliau berdiri dengan bertumpu atas (bahu) Bilal. Beliau berpesan agar bertakwa kepada Allah dan mendorong untuk mematuhiNya. Beliau menasehati hadirin dan mengingatkan mereka. Kemudian beliau menuju ke (tempat) perempuan (berkumpul) lalu menasehati dan mengingatkan mereka. Beliau bersabda, ‘bersedekahlah karena kebanyakan kamu dalam (yakni perempuan) adalah kayu-kayu bakar neraka’. Maka tampil seorang perempuan yang duduk di tengah-tengah hadirin (dari perempuan-perempuan), pipinya hitam dan telah rusak, lalu bertanya, ‘Mengapa wahai Rasulullah Saw?’. Beliau Saw menjawab, ‘karena kalian banyak sekali mengeluh dan mengkufuri terhadap keluarga’. Mendengar itu kata perawi hadis ini, maka wanita-wanita bersedekah dari perhiasan mereka. Mereka melemparkan anting dan cincin-cincin mereka ke pakaian Bilal.” (HR Bukhari, Muslim, Nasa’i, dan lain-lain).
Hadis ini ditolak sebagai dalil tentang bolehnya perempuan menampakkan wajah oleh kelompok pertama. Alasannya adalah bisa jadi perempuan itu sudah tua, dan biasanya yang berani bertanya kepada Nabi Saw secara langsung adalah yang sudah tua.
Untuk penjelasan lebih lanjut, di dalam buku Jilbab ini, AGH Quraish Shihab menjelaskan perbincangan beberapa hadis lagi. Tak lupa dibahas pula perbincangan mengenai hadis-hadis tersebut dari kedua kelompok.
Jilbab dalam Pandangan Cendekiawan Kontemporer
Di buku ini AGH Quraish Shihab juga mengutipkan pendapat cendekiawan Islam kontemporer dan perbincangan mereka tentang jilbab dan batasan aurat perempuan. Dalam konteks ini, beliau menjelaskan bahwa ada dua kelompok cendekiawan secara garis besar. Pertama, mereka yang berpendapat tanpa dalil agama, ada kalaupun ada, tidak sesuai dengan disiplin dan kaidah ilmu agama yang umum. AGH Quraish Shihab buru-buru mengatakan bahwa metode kelompok ini tentu saja tidak bisa diterima. Kedua, mereka yang menggunakan disiplin dan kaidah ilmu agama secara umum, namun dalam penerapannya, pandangan dan interpretasi mereka berbeda dengan ulama terdahulu. Kelompok yang pertama adalah seperti Mahmud Syahrur yang menulis al-Kitab wa Al-Qur’an, Qira’ah Mu’ashirah dan Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami. Mahmud Syahrur berpendapat bahwa pakaian tertutup yang disebut hijab bukanlah kewajiban agama, tetapi tidak lebih merupakan tradisi dan kebiasaan masyarakat pada waktu dan tempat tertentu. Mahmud menjelaskan beberapa ayat Alquran yang disebutkan di atas untuk memperkuat pendapatnya, namun dalam pandangan ulama lainnya, termasuk AQH Quraish Shihab sendiri, hujjah Mahmud terlalu lemah untuk bisa dipertahankan.
Adapun kelompok cendekiawan yang kedua, mereka memiliki basis berikut dalam mengemukakan pendapatnya, termasuk dalam hal aurat dan jilbab:
- Allah dan RasulNya tidak menghendaki sesuatu yang berat (masyaqqah), seperti yang ada di dalam kaidah idzaa dhaaqa asy-syai’ ittasa’ (ketika sesuatu menjadi sulit, akan muncul kelapangan). Hal ini didasarkan pada firman Allah QS al-Baqarah:185, “…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” dan QS al-Maidah:6, “…Allah tidak hendak menyulitkan kamu…”
- Hadis bisa dijadikan sebagai rujukan yang kuat jika dinilai shahih oleh yang menggunakannya. Seperti yang disampaikan di atas, hampir setiap hadis tidak ada kesepakatan penuh atas ke-shahih-annya maupun kelemahannya. AGH Quraish Shihab mencontohkan bahwa Syaikh Muhammad Abduh sangat selektif dalam menerima hadis Nabi Saw dan riwayat sahabat walaupun sudah di-shahih-kan oleh mayoritas ulama. Seperti pula yang terlihat dalam perbincangan tentang batasan aurat oleh kelompok ulama klasik, kelompok pertama bersikukuh bahwa seluruh tubuh perempuan adalah aurat karena menguatkan hadis yang mendukung pendapatnya dan melemahkan hadis yang digunakan oleh kelompok kedua. Demikain pula sebaliknya.
- Kaidah ketetapan hukum yang berdasarkan ‘illat. Dalam hal ini, selama ada ‘illat maka hukumnya tetap berlaku dan ketiadaan ‘illat menggugurkan pula hukumnya. ‘Illat adalah sebab munculnya hukum. Masalahnya kemudian adalah, meskipun kaidah ini bisa diterima oleh semua ulama, namun mereka berbeda pendapat tentang ‘illat dan syarat-syarat hukum ini. Misalnya, Imam Syafi’i menilai bahwa ‘illat bukan untuk mengabaikan teks ayat dan hadis, tetapi untuk pengembangan hukum. Sementara bagi Imam Abu Hanifah, teks agama memang harus dipertahankan untuk hal-hal yang berhubungan dengan ibadah, tetapi tidak demikian untuk mu’amalah.
- Perintah dan larangan dari Allah Swt tidak melulu berarti wajib dan haram. Dalam hal ini, perintah bisa dimaknai sebagai anjuran, dan larangan bisa dipahami sebagai hal yang sebaiknya ditinggalkan. Contoh yang bisa diambil dalam hal ini adalah perintah mencatat utang piutang seperti yang disebutkan di QS al-Baqarah:283. Mengenai hal ini, mayoritas ulama berpendapat bahwa perintah ini hanya anjuran, bukan kewajiban.
- Adat dan tradisi juga punya peranan yang besar dalam ketetapan hukum. Hal ini juga berlaku di zaman Rasulullah Saw dan para sahabat. Oleh karena itu para ulama berpendapat bahwa hukum-hukum agama itu ada yang bersifat universal dan ada yang bersifat lokal dan kontemporer.
Dengan beberapa basis pendapat di atas, beberapa ulama kontemporer memberikan pendapat mengenai persoalan jilbab dan batasan aurat perempuan. Al-Qurthubi misalnya di dalam kitabnya al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, ketika mengomentari pendapat Ibn ‘Athiyah tentang pengecualian yang bisa ditampakkan oleh perempuan, menjelaskan bahwa pendapat Ibn ‘Athiyah ini baik. Selanjutnya al-Qurthubi menambahkan bahwa karena wajah dan tangan sudah seringkali nampak, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam ibadah (salat dan haji), seharusnya ayat Alquran yang mengatakan ‘kecuali yang tampak darinya’ harus dipahami sebagai ‘kecuali wajah dan kedua telapak tangan yang biasa tampak itu’. Inilah pendapat yang lebih kuat atas dasar kehati-hatian dan mempertimbangkan kecenderungan manusia dalam pandangan al-Qurthubi.
Pendapat yang lebih longgar lagi bisa ditemukan dalam pandangan Imam Abu Hanifah. Diriwayatkan bahwa beliau berpendapat bahwa kedua kaki pun bukan aurat bagi perempuan. Tentu beliau memberikan alasan, di antaranya untuk memberikan kemudahan gerak bagi perempuan. Bahkan dalam pandangan beliau, kaki justru harus lebih dileluasakan dibandingkan tangan. Pendapat ini juga dianut oleh Muhammad Ali al-Hasan dan Abdurrahim Faris Abu ‘Auliyah, dua orang lulusan Fakultas Syariah di Riyadh dan Amman. Demikian juga bagi Abu Yusuf, salah seorang teman dan murid Imam Abu Hanifah. Bahkan menurut beliau, kedua tangan perempuan pun bukan aurat.
Semua pandangan ini muncul karena berkaitan dengan musyaqqah, bahwa Allah dan RasulNya tidak menghendaki adanya kesulitan bagi manusia. Di dalam buku Jilbab ini, AGH Quraish Shihab juga mengutip dan mengomentari pendapat-pendapat lain yang kadang lebih rawan seputar jilbab dan aurat perempuan. Bisa kita lihat bahwa diskusi yang dikutip memang lebih banyak diambil dari diskusi keagamaan di Mesir tempat AGH Quraish Shihab lama menuntut ilmu. Di bagian akhir bukunya, bahkan diuraikan panjang lebar polemik, penulis lebih senang menyebutnya diskusi, antara Muhammad Sa’id al-Asymawi yang pendapatnya agak longgar dengan Muhammad Sayyid Thantawi yang pernah menjadi mufti Mesir.
Penutup
Sebagaimana kebiasannya, AGH Quraish Shihab tidak memberikan “pendapat yang lebih tepat”, yang mana yang lebih hati-hati atau setidaknya pendapat yang mana yang beliau anut. Di awal tulisan di atas sudah disebutkan kecenderungan penulis tafsir al-Mishbah ini. Di bagian akhir buku ini justru beliau menyimpulkan, dan juga mungkin pesan penting beliau, bahwa “tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah batas aurat wanita merupakan salah satu masalah khilafiyyah, yang tidak harus menimbulkan tuduh-menuduh apalagi kafir-mengkafirkan.” (hal. 248).
Namun demikian, AGH Quraish Shihab memberikan ringkasan tentang kesepakatan umum ulama mengenai aurat dan pakaian perempuan berikut ini:
- Tidak boleh ber-tabarruj, yakni berpakaian terbuka. Bahkan, hal ini juga dimaksudkan untuk tidak berhias berlebihan, berbicara dan berjalan dengan cara yang mengundang birahi, menampakkan yang biasanya atau seharusnya tidak ditampakkan, dan lainnya.
- Jangan mengundang perhatian laki-laki.
- Jangan memakai pakaian transparan
- Jangan memakai pakaian yang menyerupai pakaian laki-laki. Hal ini tidak bermaksud bahwa perempuan tidak bisa memakai pakaian yang bisa dibuat sebagai pakaian laki-laki, tetapi berpakaian dengan niat untuk menyerupai laki-laki.
Sebagai penutup, AGH Quraish Shihab mengutip jawaban Imam Abu Hanifah ketika ditanya “apakah pendapat itu merupakan hak yang tidak diragukan lagi?”. Merespon pertanyaan ini Imam Abu Hanifah menjawab, “Demi Allah, saya tidak tahu, boleh jadi hal itu (pendapat yang dikemukakan) adalah batil yang tiada keraguan di dalamnya. Apa yang kami kemukakan itu adalah pendapat. Kami tidak memaksakannya kepada orang lain, kami juga tidak berkata bahwa seseorang harus menerimanya secara terpaksa. Siapa yang memiliki (pendapat yang) lebih baik daripada apa yang kami sampaikan, maka hendaklah dia menghidangkannya” (dalam riwayat lain, Imam Abu Hanifah berkata, “maka dia lebih wajar dinilai benar daripada kami”).
Kunjungan